Sentimen
Undefined (0%)
5 Agu 2025 : 13.55
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Institusi: Universitas Indonesia

Kab/Kota: Tokyo

Partai Terkait

Bekerja yang Bermakna

5 Agu 2025 : 13.55 Views 10

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Bekerja yang Bermakna

Quiet quitting adalah fenomena baru yang tengah melanda kalangan generasi milenial dan generasi Z. Gejala ini adalah kondisi ketika mereka menjadi seorang karyawan atau pekerja yang nirambisi di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan. 

Meskipun mereka tetap bekerja dan mereka tidak mengundurkan diri, mereka bekerja hanya sebatas yang tertulis di kontrak. Tidak ada lagi lembur. Mereka bekerja dengan beban kerja minimum, tanpa tekanan dan ambisi.  

Mengutip platform Investopedia, quiet quitting adalah istilah baru yang mengacu pada sifat atau tindakan seseorang, utamanya karyawan suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan. 

Istilah ini tidak berarti bahwa seseorang benar-benar berhenti dari pekerjaan, melainkan hanya melakukan apa yang diperlukan dan kemudian melanjutkan hidup. 

Menurut Zaid Khan, seorang insinyur perangkat lunak, tujuan mereka melakukan ini untuk mencapai lebih banyak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. 

Mereka mulai menyadari bahwa hidup memiliki makna mendalam yang harus dinikmati, tidak semata-mata diisi dengan bekerja.  Tidak ada lagi bekerja dengan ambisi semata-mata mengejar promosi jabatan yang penuh tekanan. 

Mereka bekerja seperlunya, kemudian pulang ke rumah. Mereka bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan sembari menikmati hasil yang telah mereka dapatkan. 

Mereka juga fokus pada kehidupan di luar pekerjaan, seperti hobi dan olahraga, bukan sekadar menjalani roda yang terus berputar dalam mesin korporasi.

Berdasarkan hasil riset terbaru, fenomena ini kali pertama populer di Amerika Serikat pada tahun 2022. Tren serupa juga mulai menyebar ke berbagai negara lain, termasuk Indonesia. 

Survei oleh Mynavi, misalnya, mencatat bahwa 45% pekerja di Jepang, terutama generasi milenial dan generasi Z, hanya menyelesaikan pekerjaan sesuai kebutuhan minimum mereka. 

Mereka tidak lagi menginginkan naik jabatan jika harus mengorbankan banyak waktu pribadi. Mereka lebih memilih menikmati hobi dengan bermain musik, berolahraga, atau berkarya seni.

Mereka lebih memilih menikmati hasil kerja mereka, berkumpul dengan keluarga, atau sekadar beristirahat dengan bersantai dan berlibur.

Dalam survei itu juga dijelaskan alasan utama mereka melakukan itu karena banyak pekerjaan yang merasa tidak dihargai. Gaji yang stagnan, beban kerja berat, dan penghargaan yang minim membuat mereka lelah secara mental. 

Terlebih lagi, hilangnya jaminan kerja seumur hidup, pemotongan tunjangan, serta bonus yang tidak lagi sebanding dengan pengorbanan membuat loyalitas mereka terhadap pekerjaan menjadi semakin menurun.

Izumi Tsuji dari Universitas Tokyo menyebut bahwa tren ini bukan semata-mata bentuk kemalasan bekerja, tapi merupakan sebuah respons alami terhadap sistem kerja yang terlalu menekan. 

Ia menyebut generasi muda di Jepang, misalnya, cenderung lebih rasional. Mereka tahu bahwa pengorbanan besar tidak selalu harus dibayar setimpal tanpa memperhatikan kualitas hidup. 

Mereka yang melakukan quiet quitting tetap profesional. Mereka juga tidak membolos kerja, tidak menyabotase tugas, tidak lalai dalam tanggung jawab. 

Mereka hanya memilih tidak memberi energi ekstra pada pekerjaan yang tidak memberi mereka makna atau imbalan yang sepadan secara mental. 

Mereka mencoba menarik batas sebagai bentuk perlindungan diri pada mental untuk dapat menjaga kewarasan. Menurut penelitian Gallup, hanya 15% pekerja di seluruh dunia yang benar-benar terlibat secara aktif dalam pekerjaan mereka. 

Sisanya lebih banyak yang berada dalam zona abu-abu, bekerja karena harus dan bukan bekerja karena cinta. Mereka yang dilanda quiet quitting muncul dari kelompok yang lelah, tapi belum benar-benar ingin menyerah. 

Mereka bekerja, tapi dengan kadar secukupnya, bahkan bisa dikatakan dengan kadar yang paling minimal.

Hidup Bermakna

Meski belum ada survei yang dilakukan secara nasional dan khusus, tanda-tanda quiet quitting di Indonesia juga mulai terasa. Di media sosial seperti X atau Twitter dan Tiktok, misalnya, istilah “kerja buat hidup, bukan hidup buat kerja” akhir-akhir ini semakin populer. 

Banyak anak muda, terutama generasi milenial dan generasi Z, berani menolak lembur, menolak komunikasi pekerjaan di luar jam kantor, dan mulai mencari makna hidup lain di luar pencapaian karier.

Salah satu bukti tren ini adalah meningkatnya minat pada pekerjaan remote dan freelance. Hal ini didasarkan pada laporan Jobstreet Indonesia pada 2024, bahwa sekitar 43% pencari kerja dari kalangan generasi Z dan generasi milenial menyatakan fleksibilitas dan worklife balance lebih penting daripada gaji besar. 

Hal ini bukan berarti mereka adalah pemalas, tapi mereka hanya ingin hidup yang lebih utuh dan bermakna. Sumei Kawakami, seorang jurnalis Jepang yang aktif memantau tren ketenagakerjaan, menyebut bahwa quiet quitting adalah gejala dari perubahan budaya kerja. 

Sat kita hidup pada era pascapandemi, banyak orang menyadari bahwa waktu bersama keluarga, memperhatikan kesehatan mental-spiritual, dan kehidupan pribadi tidak bisa ditukar dengan lembur atau target yang tidak pernah ada habisnya.

Hal ini sejalan dengan pandangan kacamata psikologi modern tentang bekerja yang lebih menekankan pada kesejahteraan dan tidak hanya semata keberlanjutan karier. 

Seorang psikolog industri organisasi di Universitas Indonesia, Ratna Mulyani, mengatakan bahwa jika perusahaan tidak segera menyesuaikan diri, mereka bisa kehilangan talenta terbaik. 

Sebagian besar anak muda sekarang lebih peka terhadap nilai-nilai kehidupan. Mereka tidak hanya bekerja untuk uang, tapi mereka bekerja juga untuk menggali makna dan kebebasan dalam hidup. 

Perusahaan harus beradaptasi karena tidak semua orang termotivasi oleh promosi atau bonus. Bagi generasi Z dan generasi milenial, fleksibilitas, penghargaan, dan makna jauh lebih penting. 

Perusahaan perlu membangun budaya kerja yang mendengarkan, bukan hanya menuntut. Karyawan juga berhak menetapkan batas. Fenomena quiet quitting ini mengajarkan bahwa menjaga diri adalah bentuk kedewasaan. 

Menolak lembur atau menjaga waktu pribadi bukanlah dosa atau aib, tapi bentuk kesadaran diri atas hidup yang bermakna. Maka dari itu, worklife balance bukan lagi mitos yang menghantui. 

Kini semakin banyak bukti bahwa pekerja yang bahagia justru akan lebih produktif. Menjaga keseimbangan bukan hanya untuk karyawan, tapi juga demi keberlangsungan bisnis atau organisasi.

Ini juga dapat menjadi refleksi untuk generasi muda di Indonesia. Dengan bonus demografi yang besar, kita harus bersiap menyambut pola pikir kerja baru ini. Sistem kerja yang lentur, peran diri yang lebih humanis, dan pemimpin yang empatik adalah kata kunci.

Fenomena ini bukan soal tentang berhenti bekerja atau malas bekerja. Ini tentang bagaimana seseorang memilih menyeimbangkan hidup, tidak menjadikan pekerjaan satu-satunya sumber identitas. 

Kita juga tidak harus ikut-ikutan dengan tren ini, tapi setidaknya bisa menjadi cermin atas diri kita. Apakah paradigma hidup kita masih mengejar pangkat tanpa sempat menikmati hidup? Atau kita juga dapat bertanya apa makna hidup yang sebenarnya selain bekerja dan terus bekerja?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Agustus 2025. Penulis adalah dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Sentimen: neutral (0%)