Memetakan Kemiskinan dengan Teliti
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir pekan lalu menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia turun. BPS mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10% terhadap September 2024 menjadi 8,47%.
Jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode itu, kini jumlahnya mencapai 23,85 juta orang. Meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun, BPS menyebut penduduk miskin di kota justru bertambah sekitar 220.000 orang.
Angka kemiskinan yang menurun secara keseluruhan belum bisa ditafsirkan menggambarkan peningkatan kesejahteraan. Peningkatan kemiskinan di perkotaan dipengaruhi jumlah pengangguran dan kenaikan harga pangan.
Pertama, terjadi kenaikan jumlah setengah penganggur sekitar 460.000 orang selama periode Agustus 2024 sampai Februari 2025. Setengah penganggur adalah orang-orang yang bekerja kurang dari 35 jam dalam sehari, tetapi mereka masih mencari pekerjaan.
Kedua, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada laki-laki di perkotaan juga naik 0,19% dalam periode yang sama. Ketiga, kenaikan harga pangan yang memengaruhi daya beli. Publikasi BPS tentang angka kemiskinan yang menurun memang harus ditelaah secara kritis.
Penurunan itu sangat mungkin karena metode pengukuran kemiskinan yang memang perlu diperbarui karena garis kemiskinan yang digunakan belum berubah, masih menggunakan garis kemiskinan yang lama.
Garis kemiskinan Rp609.160 per kapita per bulan pada masa kini layak disebut "terlalu rendah". Perbedaannya terlalu jauh dengan upah minimum di tiap provinsi (UMP).
Dalam data itu ada garis kemiskinan yang dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan. Pada Maret 2025, rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan.
Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga pengeluarannya di bawah Rp2.875.235 per bulan. Bank Dunia menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194 juta orang. BPS mencatat 23,85 juta orang per Maret 2025.
Perbedaan itu muncul karena metode pengukuran yang berbeda. Bank Dunia menghitung garis kemiskinan berdasarkan purchasing power parity (PPP) untuk keperluan pemeringkatan antarnegara, bukan untuk menggambarkan kondisi riil di dalam suatu negara.
Tingkat kemiskinan oleh BPS diperoleh dari pendekatan yang memperhitungkan pola konsumsi lokal, variasi harga regional, dan realitas sosial-ekonomi.
Aspek-aspek tersebut dianggap lebih merefleksikan kondisi perekonomian nasional dan bisa mewakili kebutuhan spesifik masyarakat Indonesia.
Menelaah secara kritis data BPS itu menjadi keniscayaan. Pemerintah tak perlu menjadikan ”narasi angka kemiskinan turun” sebagai satu-satunya pembacaan atas data BPS itu. Jangan lengah. Ada banyak kemungkinan pada data itu.
Secara teknis, data kemiskinan harus diterjemahkan secara detail sehingga ketahuan di mana saja kantong-kantong kemiskinan, penyebab, dan solusi pemberdayaan mereka yang paling mungkin dengan sistem dan program yang berkelanjutan.
Glorifikasi ”narasi angka kemiskinan turun” tak akan bermakna sama sekali dan justru akan membutakan para penyusun rencana kebijakan mengatasi kemiskinan.
Sentimen: neutral (0%)