Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Solo
Kasus: pengangguran, PHK
Klaim Tingkat Pengangguran Turun Versus Berlanjutnya PHK
Espos.id
Jenis Media: Cek Fakta

Espos.id, SOLO—Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pengangguran dan kemiskinan hasil pengukuran terbaru tahun ini. Lembaga itu menyebut tingkat pengangguran dan kemiskinan turun dibandingkan periode sebelumnya.
Publikasi ini memantik pertanyaan apakah statistik tersebut mencerminkan realitas ekonomi masyarakat yang sebenarnya. Menurut BPS, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, tingkat kemiskinan sebesar 8,47% atau lebih rendah daripada September 2024 (8,57%). Jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan pentingnya pemahaman publik terhadap makna dan proses di balik angka-angka kemiskinan. Pada Maret 2025, rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Artinya, katanya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga yang pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.
“Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun nonmakanan,” kata Ateng.
Pada 5 Mei 2025, Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyebut tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2025 tercatat 4,76%. Angka pengangguran itu, kata dia, lebih rendah daripada Februari 2024 sebesar 4,82%.
“Terjadi penurunan TPT. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa jumlah penganggur secara absolut meningkat dari 7,20 juta menjadi 7,28 juta orang, atau jumlah penganggur meningkat sebesar 80.000 orang. Hal ini terjadi karena jumlah angkatan kerja bertambah lebih cepat daripada penyerapannya,” ujar Amalia. “Proporsi pekerja informal tercatat juga meningkat dari 59,17% pada Februari 2024 menjadi 59,40% pada Februari 2025.”
Dalam setahun terakhir, kata dia, terdapat tambahan 3,59 juta orang yang masuk ke pasar kerja. BPS mengklaim menggunakan definisi penduduk bekerja International Labour Organization (ILO). Berdasarkan definisi yang digunakan BPS, seseorang yang bekerja setidaknya satu jam dalam sepekan termasuk dalam kategori penduduk bekerja.
Tren PHK
Klaim berkurangnya tingkat pengangguran tidak sejalan dengan tren jumlah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 2023. Berdasarkan data PHK yang dipublikasikan pada laman satudata.kemnaker.go.id milik Kementerian Ketenagakerjaan, tren PHK cenderung naik selama 2023 yang berlanjut pada 2024 dan awal 2025.
Menurut data tersebut, tren jumlah PHK setiap bulan berfluktuasi dan mencapai puncak pada bulan-bulan tertentu. Beberapa puncak tersebut antara lain pada Maret 2023 sebanyak 9.742 orang terkena PHK, November 2023 sebanyak 12.347 orang terkena PHK, Juli 2024 sebanyak 10.799 orang, dan tertinggi pada Februari 2025 sebanyak 17.796.
Meski fluktuatif, jumlah orang yang terkena PHK cenderung naik sepanjang periode tersebut. Jika data tersebut diakumulasikan ke setiap triwulan, tren kenaikan jumlah PHK semakin tajam. Pada 2023, kenaikan berturut-turut pada triwulan III dan IV.
Selama 2024, tren jumlah PHK juga cenderung stabil naik. Sempat turun pada triwulan I (total 12.395 orang), jumlah pekerja yang mengalami PHK terus naik pada triwulan-triwulan berikutnya hingga mencapai puncaknya pada triwulan I 2025. Pada triwulan I 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 32.280 orang.
Pada triwulan IV 2024 atau periode puncak terjadinya PHK, jumlah PHK didominasi Jakarta (17.074 orang), Jawa Tengah (13.119), Banten (13.032), Jawa Barat (10.654), dan Jawa Timur (3,774). Kelima provinsi ini merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan memiliki banyak kawasan industri.
Tidak Sejalan
Gap tren tingkat pengangguran yang tidak sejalan dengan kenaikan jumlah pekerja yang terkena PHK disebabkan perbedaan kriteria dalam penghitungan tingkat pengangguran dan PHK. Angka PHK dihitung berdasarkan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan formal karena PHK.
Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) didapatkan melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Angka tersebut diperoleh dengan menghitung orang yang benar-benar tidak punya pekerjaan dalam sepekan. Artinya, sesuai definisi orang bekerja BPS, orang yang hanya bekerja satu jam dalam sepekan tidak dianggap pengangguran.
Dengan demikian, angka pengangguran juga tidak menyertakan orang yang bekerja serabutan dan orang yang bekerja di sektor informal. Orang yang baru saja terkena PHK kemudian bekerja serabutan hanya satu jam sepekan tidak dihitung sebagai pengangguran.
Akademikus dan peneliti ketenagakerjaan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Qisha Quarina, menilai penurunan angka TPT tidak menandakan bahwa kondisi pasar tenaga kerja benar-benar membaik.
“Meskipun data menunjukkan tingkat pengangguran terbuka menurun, tetapi jumlah pengangguran secara absolut justru mengalami peningkatan,” kata dia di FEB UGM, Senin (28/7/2025), yang dikutip melalui laman ugm.ac.id.
Fenomena ini bisa terjadi karena penambahan jumlah penduduk yang bekerja lebih cepat daripada jumlah penganggur. Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka memang turun, tetapi total jumlah orang yang menganggur terus bertambah.
Dia juga mengingatkan persoalan ketenagakerjaan bukan sekadar statistik orang yang bekerja dan yang tidak bekerja. Masalah yang tak kalah penting diperhatikan adalah kelayakan pekerjaan dan bukan sekadar bekerja. “Masalah utama kita bukan hanya soal ada kerja atau tidak, tetapi juga soal pekerjaan yang layak,” kata Qisha.
Kelayakan pekerjaan sebagian besar masyarakat menjadi isu yang belum terselesaikan. Selama ini mayoritas masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal. Data BPS menunjukkan pada survei Februari 2025 masyarakat yang bekerja di sektor informal mencapai 59,4% atau lebih tinggi daripada Februari 2024 (59,17%).
Pekerjaan sektor informal ditandai tidak adanya perlindungan melalui jaminan kesehatan, keselamatan kerja, pensiun, dan jaminan kesejahteraan lainnya. Pekerja sektor informal juga tidak memiliki ikatan kontrak yang jelas sehingga tidak ada jaminan mendapatkan penghasilan tetap dan bisa kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu.
Sentimen: neutral (0%)