Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Solo
Kasus: bullying
Kekerasan Digital dan Pornografi Ganggu Perkembangan Otak Anak
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO – Anak-anak semakin rentan terpapar kekerasan di ruang digital, mulai perundungan siber atau cyber bullying dan konten yang tidak pantas seperti pornografi. Paparan tersebut memengaruhi perkembangan otak dan emosi anak secara signifikan.
Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Aisya Fikritama Aditya, mengatakan otak anak memiliki sistem penghargaan alami yang bekerja melalui hormon dopamin atau rasa senang.
Hormon itu bisa terangsang dalam jumlah besar ketika anak-anak terpapar konten negatif di ruang digital seperti kekerasan, pornografi, dan bullying.
Hal ini tidak lepas dari karakter konten negatif yang cepat menimbulkan kejutan emosional, cepat, intens, dan memicu rasa penasaran. Berbeda dengan konten edukatif atau positif yang cenderung tenang atau lambat.
“Itulah mengapa sering kali konten kekerasan tampak lebih menarik secara neurologis dan otak anak ingin selalu mencari lagi dan lagi atau menjadi kecanduan,” kata dia kepada Espos, Rabu (23/7/2025).
Ganggu Perkembangan Otak
Aisya menjelaskan bila paparan konten negatif menimpa anak-anak secara berlebihan bisa mengganggu perkembangan otak.
Mengingat, pada usia di bawah 18 tahun otak tengah berkembang mulai dari bagian pengatur emosi atau amigdala, pengatur logika atau korteks prefrontal, dan kontrol impulsif atau lobus frontal.
Otak bagian amigdala atau pusat emosi akan menjadi mudah stres dan emosi ketika sering terpapar konten ujaran kebencian, kata-kata kotor, dan hingga pornografi.
Selain itu, otak anak bisa menjadi sulit mengontrol emosi, sensitif berlebihan atau sebaliknya desensitif (kurang memiliki rasa sensitif).
Sama halnya dengan bagian korteks prefrontal bisa saja terganggu karena paparan konten kekerasan berlebihan. Dampaknya otak anak susah untuk membedakan mana yang benar dan salah.
“Jadi saat anak terbiasa melihat konten kekerasan, ambang batas atau standar ‘kekejaman’ itu akan naik. Sehingga tindakan-tindakan kekerasan yang menurut dia tidak berada di level seperti yang ia lihat di internet tidak dianggap sebagai sebuah kekerasan.” ungkap Aisya.
Selain itu, konten kekerasan juga bisa mengubah struktur jaringan otak. Dosen di Fakultas Kedokteran UNS itu menyebut ada sejumlah tanda bahwa anak telah kecanduan konten kekerasan. Di antaranya kesulitan mengatur fokus, agresif atau mudah marah, selalu ingin dekat dengan gawai, dan menjadi pribadi yang ekslusif.
“Contoh paling gampang yang bisa jadi indikasi kecanduan adalah anak mudah depresi atau cemas saat tidak bermain gawai, mudah merengek-rengek dan tantrum jika konten yang ia konsumsi dilihat orang lain. Selain itu juga sudah tidak mau srawung [bersosialisasi],” jelas Aisya.
Konten Pornografi
Salah satu siswa SMPN 9 Solo, Nataneila Rasendri Wibowo, 14, mengatakan tidak tertarik terhadap konten digital yang mengarah ke tindakan kekerasan karena tujuan utamanya mengakses internet murni untuk kebutuhanbelajar dan hiburan. Sementara, jika menemukan konten itu, ia segera mengalihkan konten tersebut.
Konten negatif yang kerap muncul di reels Instagram atau short Youtube Nataneila yakni konten yang mengarah ke pornografi. Dia tidak pernah mengakses konten seperti itu namun konten tersebut muncul secara tiba-tiba.
“Yang paling sering itu muncul yang berbau pornografi. Kadang itu bikin saya sedikit takut kalau konten serupa muncul terus padahal kita tidak pernah akses sebelumnya,” kata dia.
Dia mengaku beruntung kedua orang tuanya selama ini sudah melakukan pendampingan terhadap aktivitas di dunia digital. Bahkan penggunaan gawai sudah dibatasi, yakni maksimal dua jam/hari, yakni 1 jam pada siang hari dan 1 jam pada sore hari.
“Dari orang tua juga pesannya kalau menemukan konten negatif di internet agar segera ditutup atau dialihkan. Sama tidak boleh lebih dari dua jam. Jadi memang cukup ketat pengawasan mereka [orang tua],” kata dia.
PP Tunas
Oleh karena itu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi anak-anak dari konten negatif seperti kekerasan maupun pornografi di ruang digital yakni pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS).
Regulasi yang ditetapkan pada 28 Maret 2025 dan mulai berlaku pada 1 April 2025 itu merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam rangka melindungi anak dari dampak buruk paparan konten negatif di dunia digital.
Selanjutnya, masyarakat juga bisa aktif melapor bila menemukan konten negatif di dunia digital. Bagi dia hal itu merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam melindungi generasi muda dan memberi dorongan ke negara agar terus bergerak melawan konten negatif.
Masyarakat bisa melaporkan konten negatif melalui layanan laporan di platform medsos masing-masing. Laporan soal konten bisa juga dilakukan langsung ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dengan alamat aduankonten.id, atau email [email protected].
Melalui kanal aduan tersebut, masyarakat diajak berperan langsung dalam menjaga keamanan dan ketertiban di ruang digital, serta memastikan teknologi informasi dan komunikasi digunakan untuk hal-hal yang positif dan produktif.
Sentimen: neutral (0%)