Sentimen
Undefined (0%)
19 Jul 2025 : 07.30
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Bata

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Solo

Mencari Cara Berdusta

19 Jul 2025 : 07.30 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Mencari Cara Berdusta

Malam itu, ibu sedang menelepon seseorang. Di tengah pembicaraan, ia sedikit berdeham dan kemudian bergumam. Sepertinya ibu mendengar kabar yang kurang menyenangkan.

Ketika ia sempat menyebut ”Mas” dengan sedikit penekanan, aku menebak itu telepon dari bapak. Lebih dari itu, aku tidak bisa menangkap utuh percakapan mereka karena suaranya semakin sayup-sayup seperti tertelan dinding kamar.

Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku baru menyelesaikan satu bab panjang dari buku Rumah Kecil di Padang Rumput yang ditulis orang Amerika bernama Laura Ingalls Wilder. Satu jam sebelumnya, ibu mengingatkan agar aku lekas tidur.

Ibu mengingatkan perihal pelajaran pertama besok pagi adalah Ilmu Pengetahuan Alam yang gurunya terkenal angker. Karena itu, aku harus cepat tidur dan bangun pagi-pagi agar esok hari tidak terlambat sampai di sekolah.

Guru yang mengajar mata pelajaran IPA berkumis tebal, bermata lebar, dan terkenal ringan tangan kepada murid-muridnya yang bengal. Ibu tahu mendetail soal itu; ibu tahu tentang guru-guruku dan mata pelajaran apa saja yang mereka ampu; ibu juga selalu memeriksa jadwal sekolahku. Ibu bahkan seringkali  membantuku mengerjakan pekerjaan rumah karena aku sering tidak peduli dengan itu.

Buku itu aku letakkan di samping bantal, tapi isi kepalaku masih membayangkan kakak perempuan Laura Wilder yang sama sekali tidak bisa melihat. Sebelumnya, aku sempat membaca buku tentang Taha Husain, seorang profesor di Mesir yang juga mengalami kebutaan. Buku yang kata penjaga perpustakaan berjenis memoar itu aku temukan di samping buku puisi seorang penyair yang namanya sering muncul di soal bahasa Indonesia untuk latihan ujian akhir nasional, Chairil Anwar.

Sehabis membaca buku itu, aku heran dan terus bergumam, bagaimana bisa seorang buta mampu menghafal kitab suci beserta berbagai kitab tafsirnya yang sudah pasti tebal-tebal itu. Meskipun membuatku tercengang, tetap saja aku tak mau menjadi seorang buta sehingga tak bisa membaca dan tak bisa melihat wajah teman sekelasku yang jelita. Menjadi buta tentu juga akan sulit membuatku bermain bola.

Sebelum terlelap, aku memanjatkan doa agar aku terus diberi kesehatan, terutama pada mata. Azan Subuh mengudara diikuti omelan ibu di depan pintu kamar. Aku tak tahu persis apa kata-katanya, tapi aku mengerti omelan ibu pada pagi hari biasanya perintah untuk mengambil air wudu dan Salat Subuh.

Kalau bukan, itu terkadang gerutuan karena adik sudah terbangun dan rewel hingga menangis tanpa sebab pasti. Namun, aku seringkali mengambil air wudu saja dan tidak melanjutkannya menjadi salat. Dalam hati, aku paham itu sebuah dosa, tapi aku berusaha mengabaikannya.

Aku punya siasat ampuh agar tidak perlu mengerjakan salat. Kalau sudah selesai berwudu, segera saja aku masuk ke kamar dan menutup pintu, lalu membuat suara gemerisik antara kaki dan karpet berulang kali. Setelah itu, kulipat kembali sajadah dan sarung yang sudah dibuka. Kemudian kutaruh keduanya ke tempat yang berbeda dari semula.

Nantinya, ketika ibu memeriksa kamarku, ia mengerti bahwa aku sudah selesai menunaikan salat. Setelah itu, aku bisa lega menonton kartun pagi di televisi. 

Kebiasaan ini aku lakukan saat itu juga. Benar saja, ibu masuk kamarku dan mengamati semua sudut kamar. Aku lega setelah ia berlalu tanpa melontarkan omelan.

Dari belakang rumah, riuh dapur terdengar sampai ke ruang tengah di mana aku telah bersandar di kursi sofa dan menonton televisi. Terdengar, Mbak Santi, pekerja rumah tangga kami, sedang memasak sesuatu sambil bersenandung. Hidungku mencium aroma gorengan telur dadar. Aku menduga itu nasi goreng untuk sarapanku.

Sekitar sepuluh menit setelah aroma itu tercium di seluruh penjuru rumah, dugaanku terbukti benar. Mbak Santi menghidangkan nasi goreng di piring lonjong berukuran panjang yang berada di meja makan dekat ruang tengah-tempat biasa kami menonton televisi.

Aku beranjak dari kursi panjang di depan televisi dan berpindah ke meja makan. Ibu menemani dan ikut menyiapkan tas sekolahku di dekat kursi.

Bel rumah terdengar berdering dua kali. Aku sempat terkejut dan sejenak menghentikan makan. Bel rumah yang berbunyi dua kali berturut-turut dalam jeda singkat bukanlah kebiasaan tamu yang datang ke rumah. Biasanya itu pertanda kedatangan bapak yang jika sudah tiba di depan rumah seperti orang dengan kesabaran setipis kertas. Tapi, ini baru minggu pertama bulan Juni, sedangkan bapak biasanya datang sebulan sekali pada akhir bulan.

Ibu keluar menuju halaman depan untuk memastikan apakah itu benar bapak. Aku berjalan dan mengintip dari balik punggungnya. Wajah bapak pun muncul di dekat pagar. Aku terkejut bahwa itu benar bapak karena ini sebenarnya belum jadwal dia pulang.

Terdegar suara ibu membukakan pagar dan bapak kemudian masuk halaman rumah. Ibu mencium pipi bapak dan mencium tangannya. Tangan kiriku masih memegang ujung daster ibu dan tangan kananku menuju tangan bapak. Setelah aku mencium tangannya, ia segera menodongku dengan sebuah pertanyaan, ”Sudah Salat Subuh?”

Aku terbata-bata menjawab pertanyaan itu dan menukas dengan sahutan sekenanya, ”Sudah Pak.” 

Bapak mengamatiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu ia berlalu, melepas sepatu, dan masuk rumah. Bapak meninggalkan aku yang masih diliputi perasaan kikuk dan canggung. Ibu lalu mengusap kepalaku dan mengikuti bapak masuk rumah. Tentu aku tergerak begitu saja mengikuti mereka berdua.

Setelah melepas jaket hitam yang biasa ia kenakan tiap bepergian, bapak bergegas menuju meja makan. Ibu belum menyiapkan tiga piring, baru ada dua piring di sana. Aku menduga itu untuk aku dan bapak.

Bapak pun mengambil secentong nasi goreng dari piring besar dan menaruhnya di salah satu piring yang lebih kecil. Kami juga sudah ada di sana, di meja makan, mengikuti bahasa tubuh bapak yang tampak kelaparan dan ingin segera makan. 

”Nasi goreng pagi-pagi begini?”

”Ini yang paling mudah dimasak dan cepat dimakan, terutama untuk Ifan.”

”Kau selalu menuruti kemauannya?”

”Mas, kau belum makan di kereta?”

”Belum, kau tahu kan makanan di kereta biasanya seperti apa. Terkadang perutku terasa tidak beres setelah menyantapnya.”

”Tentang yang kemarin malam kita bahas itu, apa benar-benar kau akan melakukannya, Mas?”

”Tentu saja. Aku sudah bicara denganmu tentang ini sebulan lalu. Aku sudah bilang ke Mas Eka akan membantunya mulai akhir Juni nanti.”

”Kau selalu mengatakan itu setiap pulang ke Solo. Jadi aku tidak menyeriusinya.”

”Aku hanya tidak cocok saja dengan orang-orang kantor yang sekarang. Dan aku sudah kenal lama dan tahu seperti apa Mas Eka, jadi aku akan menerima tawarannya.”

”Jakarta memang dari dulu selalu sama seperti itu kan?”

”Itu yang aku tidak tahan.”

”Jadi kau akan tetap melanjutkan rencana itu, membantu perusahaan Mas Eka?”

”Ya. Tapi aku akan beristirahat dulu selama dua bulan di Solo, mungkin. Ini masih bulan pertengahan Maret dan April nanti aku baru akan benar-benar keluar dari tempat kerja.”

Ibu hanya mendesah pelan sambil menopang dagu. Sepanjang percakapan, aku menyaksikan mereka berdua berbicara sambil mengunyah nasi goreng. Mataku berpindah-pindah dari ibu ke bapak, dari bapak ke ibu, mengikuti sumber suara. Perkataan terakhir dari bapak tadi tidak disahut lagi oleh ibu. Bapak benar-benar kelaparan, seolah belum makan sehari penuh.

”Bagaimana dengan sekolahmu, Fan?”

”Kemarin aku baru saja baca buku biografi Taha Husain di perpus, Pak. Orangnya buta, tapi dia bisa hafal berbagai kitab kuno ulama Mesir,” kataku antusias. 

”Kau tahu Taha Husain itu seorang muktazilah? Ia hanya mengandalkan pikiran untuk beragama. Kau tahu muktazilah? Kau akan tahu nanti, tapi tidak sekarang. Sekarang kau tidak perlu ke perpustakaan untuk membaca buku itu lagi. Jangan sampai nanti kau bertemu buku-buku yang merusak imanmu. Fokus saja ke pelajaran-pelajaranmu, Nak. Sekarang aku bertanya sekali lagi, kau sudah Salat Subuh?”

”Sss..ss..sudah Pak.” 

Bapak tidak tersenyum mendengar jawabanku. Tangannya tidak lagi memegang sendok. Kedua tangannya terlipat ke dalam dan memandangiku seolah aku baru saja melakukan dosa besar. Ia pun melihat ibu sebentar lalu beranjak dari kursi dan menuju ke kamar mandi.

Melihat bapak beranjak dari ruang makan, ibu lalu membisikkan sesuatu padaku. Wajahnya mendekat padaku, napasnya sedikit hangat dan terhirup di hidungku.

”Sekarang kau tidak bisa lagi berbohong mengatakan sudah salat. Bapak akan tidur di kamarmu. Cukup lama ibu berharap kau bisa memperbaiki perilakumu.” Dadaku menjadi mengap-megap tak beraturan mendengar hal itu.

Aku tak pernah suka berbagi tempat tidur dengan bapak. Selain membuat kasur jadi sempit, dengkurnya sering membuat aku sulit tidur. Kekhawatiranku bertambah setelah ia melarang aku membaca buku Taha Husain.

Bertahun-tahun silam, ia pernah membetot sabuk pinggangnya ke pantatku berkali-kali setelah aku memilih membaca komik Tintin daripada membaca Al-Qur’an. Kejadian itu tak akan pernah aku lupakan sampai sekarang.

Makanya, aku harus mencari cara mengelabui bapak tentang Salat Subuh maupun tentang buku-bukuku. Aku sangat khawatir nanti sulit mendapat kesempatan membaca buku-bukuku lagi. Mengingat, buku-buku yang sering aku baca kebanyakan ditulis oleh orang yang tidak satu kepercayaan denganku dan bapak,  yang tentunya bapak tidak suka, seperti Laura Wilder; John Steinbeck; Karl May; Enid Blyton; Dan Brown; J.K. Rowlings; Stephen King; Roald Dahl, dan lain-lainnya. 

Sekalipun ada yang keyakinannya sama seperti Taha Husain misal, itu juga masih salah di mata bapak. Bapak berdalil, dia terlalu mengandalkan pikiran untuk beragama sehingga bila membaca karangannya terlalu sering akan dapat memengaruhi ketaatanku.

Dan aku belum mengerti tepatnya. Maksudku, aapakah taat dalam beragama tidak boleh berpikir? Maka, pekerjaan rumah terbesar bagiku bukanlah dari guru IPA yang angker itu, tapi dari sikap-sikap bapak pada masa dia akan tidur sekamar denganku setelah ini. Huh!

 

Muhammad Taufik Nandito. Tinggal di Kota Surakarta. Periset dan kolektor buku lawas.

 

Pengumuman Penerimaan Cerpen

Redaksi menerima kiriman cerpen dari para penulis dengan ketentuan sebagai berikut:

Naskah dikirim dalam bentuk file attachment (lampiran), bukan ditulis langsung di badan surel.
Kirim ke alamat surel [email protected].
Panjang naskah 1.200 hingga 1.700 kata.
Kirim satu naskah saja dalam satu kali Kami tidak menerima kiriman beberapa cerpen dalam satu kali kiriman lewat surel.
Pastikan naskah belum pernah dimuat di media lain.
Sertakandata-data sebagai berikut:
-Nama lengkap

-Alamat surel aktif

-Alamat media sosial

-Nomor rekening (beserta nama pemilik rekening) dan NPWP

 

 

 

 

Sentimen: neutral (0%)