Sentimen
Undefined (0%)
17 Jul 2025 : 13.45
Informasi Tambahan

Event: Rezim Orde Baru

Institusi: UIN

Tokoh Terkait

Pendidikan yang Membingungkan

17 Jul 2025 : 13.45 Views 24

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Pendidikan yang Membingungkan

Paulo Freire pada tahun 1960-an menyebut ”pendidikan yang membebaskan” untuk menjawab masalah pendidikan yang tertindas. Darmaningtyas pada masa Orde Baru menyebut ”pendidikan yang memiskinkan” karena pendidikan justru memiskinkan secara ekonomis, jiwa, bahkan pikiran. 

Barangkali hari ini kita perlu menambahkan sebutan baru, yakni ”pendidikan yang membingungkan”. Tampaknya pendidikan masih terasa jauh dari kenyataan cita-cita bangsa. Pendidikan kita seakan-akan tak banyak mengalami perubahan yang signifikan.

Semakin ke sini, arah pendidikan justru semakin membingungkan. Dalam pendidikan hari ini, peserta didik sebagai fokus utama banyak yang merasa kebingungan. Mereka tidak tahu untuk apa belajar sesuatu karena nyatanya muatan belajar di sekolah dan kampus banyak yang tak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. 

Banyak murid dan mahasiswa yang kehilangan arah dalam proses pendidikan. Pendidikan menghasilkan banyak lulusan yang tak siap menghadapai realitas kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun dunia kerja.

Dalam pendidikan yang membingungkan ini, tampaknya pemerintah telah menyadarinya, tapi alih-alih menemukan solusi untuk mengatasi masalah dengan tepat pemerintah menambahkan kebingungan di masyarakat. Kiranya, itulah yang dirasakan banyak pihak akhir-akhir ini.

Munculnya berbagai kebijakan yang sering berganti-ganti dan tidak konsisten menjadi keluhan banyak pihak. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mewacanakan pengembalian sistem ujian nasional (UN) lalu diikuti wacana pengembalian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA dan muncul konsep sekolah unggul, sekolah rakyat, serta banyak lagi kebijakan bersifat makro yang berubah. 

Perubahan kebijakan tersebut muncul dengan begitu cepat dan seakan-akan tanpa analisis yang mendalam. Perubahan kebijakan semacam ini, dengan harapan meningkatkan kualiatas, masih saja bersifat utopis. 

Sampai hari ini pendidikan kita yang sering berganti-ganti kebijakan belum menuai hasil, malah sebaliknya kebijakan tadi menambah masalah. Seringnya pergantian kebijakan menjadi salah satu indikator bahwa pendidikan kita membingungkan. 

Kita masih bingung menemukan arah pendidikan. Kita masih bingung tentang sistem pendidikan yang tepat. Masih banyak kebingungan lainnya. Pendidikan hari ini dapat diibaratkan seseorang yang menginginkan suatu barang terbaik di antara yang terbaik.

Di tengah-tengah pencarian mengalami kebingungan dengan berganti-gantinya pilihan. Alih-alih membuat keputusan yang bijak, ia justru tak pernah benar-benar mendapatkan apa pun. Di situlah posisi pendidikan kita hari ini. 

Bagaimana jalan keluar di tengah kebingungan ini, apakah akan terus-menerus berganti-ganti kebijakan yang menganggap telah menemukan pilihan yang terbaik dengan analisis yang dangkal atau kita membiarkan kebijakan yang dianggap kurang relevan dan percaya pada pengembangan basis pendidikan belaka?

Kebingungan ini tampaknya berkaitan dengan masalah hubungan antara budaya dan politik dalam kajian Daniel Patrick Maoynihan (2000). Terdapat perbedaan kelompok dalam menanggapi masalah tersebut. 

Kelompok yang pertama menyebut bahwa budayalah yang pertama, bukan politik. Kelompok yang kedua menyatakan politiklah yang pertama, bukan budaya. Di antara ketegangan tersebut, Yudi Latif (2020) dalam Pendidikan yang Berkebudayaan menawarkan jalan tengah untuk menyintesiskan keduanya. 

Budaya bisa memengaruhi politik dan sebaliknya politik bisa memengaruhi budaya. Artinya kedua variabel tersebut saling berkaitan, walaupun ada ketegangan antara mana yang lebih dominan. 

Jika kita kembali pada perdebatan sebelumnya, yakni untuk mencari jalan keluar dari kebingungan pendidikan, kita perlu memahami kedua variabel tersebut karena masing-masing variabel dapat saling memengaruhi dan memperkuat. 

Pertama, dari segi politik atau kebijakan pendidikan, kita perlu melakukan analisis yang mendalam dan melibatkan banyak pihak. Keputusan kebijakan merupakan sintesis atas yang terbaik di antara banyak pilihan dengan patisipasi banyak pihak. 

Kebijakan ini tidak melulu soal produk, tapi juga dapat berupa kerangka yang bersifat filosofis dan fleksibel untuk menjawab kebutuhan zaman yang akan datang sehingga tidak ada lagi yang namanya ganti-ganti kebijakan pendidikan, terutama kebijakan yang bersifat makro. 

Kedua, segi budaya atau basis pendidikan seperti penguatan literasi, peningkatan sarana dan prasana, dan lain-lain juga perlu menjadi perhatian. Sebaik apa pun sebuah kebijakan yang bersifat makro akan sulit diterapkan jika tidak didukung dengan budaya yang kuat. 

Ketiga, di tengah kebijakan yang mungkin dianggap kurang relevan, jika budaya pendidikan kuat maka akan tetap dapat berkembang, walaupun kurang maksimal. Budaya penting untuk memperkuat/memengaruhi kebijakan yang berlaku.

Kedua aspek ini penting untuk diperhatikan. Kita tidak dapat meninggalkan salah satu, apalagi tumpang tindih di antara keduanya.  Dengan memahami keduanya secara berimbang, kita tidak lagi terjebak pada dikotomi mana yang lebih dulu, politik atau budaya. 

Sebagaimana disintesiskan oleh Yudi Latif (2020), keduanya saling terhubung dan bisa saling memperkuat. Dari gejala ”pendidikan yang membingungkan” kita tidak perlu menghadapi dengan tergesa-gesa layaknya ketika kebingungan dalam makna sebenarnya.

Kita perlu sedikit tenang untuk dapat berpikir secara matang sebelum akhirnya mengambil keputusan dengan segala pertimbangan dan mengakhiri dengan doa. Itulah yang seharusya dilakukan pemerintahan di tengah ”pendidikan yang membingungkan”. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juli 2025. Penulis adalah pegiat di UKM Lembaga Penelitian Mahasiswa Dinamika UIN Raden Mas Said Surakarta)

Sentimen: neutral (0%)