Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Cipinang, Pasar Minggu, Petukangan Selatan
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Jalan Sunyi Sastrawan
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Sebuah koran terpopuler di Indonesia belum lama ini menerbitkan laporan bertajuk melankolis Sastrawan Tidak Bisa Hidup dari Sastra.
Adakah yang salah? Jawabannya: tidak ada! Itu kan segendang sepengiringan dengan wacana: petani tak bisa hidup dari pertanian, penjahit tak bisa hidup dengan jahitan, pelukis tidak bisa hidup dari lukisan, dan seterusnya.
Pertanyaannya, sejak kapan sastra punya kewajiban menghidupi sastrawan? Semuanya menjadi sangat relatif. Bisa mengapung-apung di ruang hampa, tinggal dilihat dari mana sudut pandangnya.
Dalam buku klasik Theory of Literature karya Rene Wellek dan Austin Warren (1963) dibahas soal literature and society, tentang hubungan sastra dan masyarakat.
Di situ disebutkan bahwa sastrawan mau tak mau harus mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. A writer inevitably expresses his experience and total conception of life.
Catatannya, itu bukan tentang hidupnya sendiri, apalagi tentang penghasilan sebagai sastrawan. Maklumlah, buku tersebut memang sarat dengan pelbagai pernik sastra dipandang dari sisi teoretis.
Jika hendak menengok kehidupan sastrawan terkait sumber rezekinya lebih pas dengan menelisik buku karya Diana Laurenson dan Alan Swingewood, The Sociology of Literature (1972).
Dalam buku tersebut didongengkan betapa sastrawan menemukan masa emas, terutama di Inggris, pada abad ke-19.
Para sastrawan cukup ongkang-ongkang kaki menulis di rumah, tanpa harus bekerja rangkap di bidang lain, atau mencari kerja sambilan.
Profesi sastrawan begitu dihormati, seiring dengan meningkatnya statistik ekonomi. Pada tahun 1880-an para novelis berhasil meraih kekayaan yang luar biasa.
Misalnya, Charles Dickens sampai bisa mewariskan harta kekayaan senilai 93.000 pound sterling saat wafat.
Charles Dickens, Robert Browning, William Thackeray, George Eliot mendapat tempat istimewa di hati masyarakat.
Masuk ke abad ke-20, Laurenson mencatat ada penurunan pada status sastrawan, namun masih lumayan karena lahirnya penerbitan paperback pada tahun 1935.
Berpuluh-puluh penerbit paperback menjamur, terpusat di Amerika Serikat dan Inggris. Sebut misalnya Penguin, Signet, Bantam, Pan, Panther, Fontana, Corgi, yang semua bersaing untuk membeli hak cipta buku-buku sastra.
Ada karya sastra yang terjual lebih dari satu juta eksemplar, misalnya Doctor Zhivago karya Boris Pasternak, Lady Chatterley’s Lover karya D.H. Lawrence, Odysseus karya Homerus.
Baagaimana dengan kondisi sastrawan di Indonesia? Pasang surut juga mereka alami.
Dahulu sastrawan Indonesia, Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan 1966, mendapat kehormatan dalam masyarakat.
Sastrawan seperti Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, hingga Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer menjadi hafalan anak sekolah hingga sekarang.
Tak ada yang spesifik membicarakan seberapa penghasilan dari cipta sastra mereka. Sesudah itu gelar sastrawan bisa diambil oleh siapa saja.
Artinya, siapapun bisa disebut atau menyebut dirinya sastrawan. Suka-suka. Toh, tidak minta gaji dari pemerintah dan tak merugikan siapapun.
Bahkan, sendainya mau ditulis dalam kartu tanda penduduk atau KTP, ya boleh-boleh saja. Yang tidak boleh ialah jika dalam KTP menulis status sebagai anggota TNI, polisi, pegawai negeri sipil, padahal bukan.
Sastrawan paling banter akan diberi status swasta oleh Pak Lurah. Sebuah simplifikasi yang nyata-nyata bisa bias dan rancu.
Tak jelas jika hendak membedakan antara sastrawan dan bakul kerupuk atau tukang martabak, misalnya, padahal tidaklah gampang menjadi sastrawan.
Setiap saat harus bekerja dengan otak, dituntut selalu kratif, inovatif. Tak jarang yang harus belajar ilmu sastra di perguruan tinggi.
Toh, pada akhirnya jika kelak disebut sastrawan tak ada yang menjamin kelangsungan hidupnya. Seorang dokter bisa diterima bekerja di dinas kesehatan kabupaten/kota/provinsi atau di Kementerian Kesehatan.
Sastrawan tidak bisa melamar bekerja di dinas kesastrawanan manapun karena memang nggak pernah ada dinas itu (dalam mimpi sekalipun).
Sekadar Hobi
Kembali pada persoalan awal, akan halnya sastrawan, makhluk apa sebenarnya? Apakah dunia sastra bisa menjadi lapangan pekerjaan atau sekadar hobi?
Perbincangan yang menggemuruh di ruang publik (media sosial) dua bulan terakhir ini menurut hemat saya sudah tak lagi proporsional.
Ketika media cetak dan digital menampilkan nama-nama sastrawan papan atas seperti Martin Aleida (81), Putu Wijaya (81), Seno Gumira Ajidarma (66), yang tampil adalah suara kejujuran mengenai keterlibatan, galang-gulung dengan sastra.
Bang Martin Aleida yang saya kenal (dan membeli hampir semua bukunya) dengan jujur mengungkapkan kegelisahannya. Betapa menjadi sastrawan ibarat menyusuri jalan sunyi di padang gersang sendirian.
Honorarium dan royalty buku-bukunya tak kunjung memberikan–alih-alih–kemakmuran, bahkan sekadar membersamai hari tua dengan satu kaki (salah satunya diamputasi) di rumahnya, kawasan Pasar Minggu, Jakarta sudah ngos-ngosan.
Seno Gumira Ajidarma dan Putu Wijaya serempak berpendapat tak mungkin mengandalkan hidup hanya dari mengarang.
Harus ada pekerjaan lain yang lebih jelas. Itulah sebabnya kebanyakan sastrawan memilih berbagai pekerjaan yang menjamin penghasilan dengan jelas, sebagaimana pegawai yang menerima gaji bulanan.
Tahun 1995 saat menyambangi Arswendo Atmowiloto, sekeluar dari “Kampus Cipinang”, sempat saya tanyakan, ”Apakah setelah ini akan fokus mengarang, menjadi sastrawan?”
Langsung dia jawab dengan gelengan tegas. “Aku ora wani ngendelke urip mung karo karangan,” kata dia. ”Saya tidak berani mengandalkan hidup dari mengarang.”
Saat saya tidur di rumahnya, Petukangan Selatan, di perpustakan pribadi lantai atas, saya temukan secarik kuitansi dengan nilai Rp25 juta sebagai pembayaran royalty atas buku-bukunya.
Ketika saya tanyakan, Arswendo hanya menggoyang kepalanya lirih,”Ah, cuma uang segitu.”
Uang dua puluh lima juta rupiah pada tahun itu dia nilai terlalu kecil, padahal jika untuk bikin minuman dhawet bisa untuk ciblon orang satu kampung.
Itulah sebabnya, Arswendo tetap memilih pekerjaan lain yang lebih memberikan penghasilan yang lebih mapan.
Alhasil, kehidupan sastrawan memang relatif. Ada yang sudah merasa bersyukur dengan imbalan kecil atas kerja-kerja sastranya.
Ada yang merasa kurang dan tak layak (ini yang dirasakan oleh banyak sastrawan). Memang ada yang sejak semula sudah berangkat dengan pemahaman bahwa menjadi sastrawan sekadar hobi: dibayar maupun tidak bukan masalah.
Yang penting hati senang dan bisa mengibur orang. Terlepas mau dianggap kerja profesional atau sekadar hobi, sebaiknya perlu didengar juga ungkapan Samuel Johnson (1709-1784).
Sebagaimana dikutip oleh Herman Holtz untuk pengantar bukunya, How to Start a Writing & Editing Business (2000), penulis Inggris itu mengatakan, tak seorang pun, selain si bebal, menulis kecuali demi uang.
Holtz sendiri berpendapat hanya sebagian kecil dari penulis lepas yang sanggup menulis secara penuh waktu dan menghidupi diri dari tulisan; mayoritas penulis bekerja pada pagi hari dan hanya menulis sewaktu senggang atau bergulat dalam pekerjaan untuk sesuap nasi.
Bagi mereka yang menulis sebagai hobi atau untuk tambahan bagi karier mereka, imbalan uang (atau kurangnya imbalan uang) barangkali tidak menjadi persoalan.
Itu kata Herman Holtz, bukan sastrawan, tapi penulis lepas Amerika Serikat yang telah menginspirasi banyak orang, antara lain, lewat buku karangannya The Direct Marketer’s Workbook.
Kini terserah kepada Anda, mau pure jadi sastrawan penuh waktu, sebagai sambilan, atau sekadar hobi. Jangan tanyakan kepada saya, tanyakan saja kepada pinggul…. eh, rumput, yang bergoyang.
Sentimen: neutral (0%)