Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: ICJR
Kab/Kota: Palu, Senayan
Kasus: kekerasan seksual, korupsi, Tipikor
Tokoh Terkait

Amzulian Rifai
DPR Buka Masukan Revisi KUHAP sebelum Disahkan, Ini Deretan Pasal Kontroversial
Espos.id
Jenis Media: News

Esposin, JAKARTA — Komisi III DPR RI memastikan untuk terus membuka masukan untuk revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hingga sebelum disahkan di tingkat Rapat Paripurna DPR RI.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan biasanya jika pembahasan revisi di tingkat panitia kerja (Panja) selesai, maka tidak ada lagi perubahan hingga rapat paripurna. Namun, dia memastikan bahwa Komisi III DPR akan terus mengevaluasi pasal-pasal yang ada.
"Sangat mungkin kalau sudah disetujui di tingkat pertama, pada paripurna kalau ada usulan perubahan ya masih bisa (diubah) secara faktanya," kata Habiburokhman saat menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah organisasi dan lembaga bantuan hukum di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (14/7/2025), dilansir Antara.
Dia mengatakan bahwa evaluasi berlapis itu bakal dilakukan agar tidak ada kebobolan pasal-pasal yang tidak pas.
Dengan begitu, menurut dia, masyarakat hingga berbagai lembaga, masih terus bisa memberikan masukan sebelum palu sidang rapat paripurna diketuk.
"Selama teman-teman bisa meyakinkan anggota DPR, pimpinan fraksi, masih bisa merubah apa yang sudah diputuskan," kata dia.
Sejauh ini, menurut dia, Komisi III DPR RI tidak pernah menolak kunjungan dari berbagai organisasi atau lembaga untuk memberikan masukan terhadap revisi KUHAP. Dia pun ingin agar pembahasan revisi tersebut dilakukan secara terbuka dan transparan.
"Ada yang sudah pernah mengajukan RDPU (rapat dengar pendapat umum) lalu ditolak? Tidak ada. Tadi pagi saya cek lagi, ada lagi nggak yang mengajukan RDPU, tidak ada ya, belum ada. Silakan selama proses ini belum paripurna, kita akan terbuka menerima masukan masyarakat," kata dia.
Sejauh ini Komisi III DPR RI sudah mulai menggulirkan revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana alias KUHAP.
Adapun Komisi III DPR sudah menyelesaikan tahapan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebanyak 1.676 poin pada Kamis (10/7/2025).
Kini Komisi III DPR sudah memasuki tahapan pembahasan revisi tersebut di tingkat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk memproses perubahan-perubahan yang sudah dilakukan dari tahap pembahasan DIM tersebut.
Pasal Kontroversial
Sebagai informasi ada sejumlah pasal yang dianggap menambah superioritas penegak hukum, salah satunya wewenang penyadapan yang diatur dalam pasal 124 hingga 129.
Pada pasal 124 ayat (1), KUHAP mengatur bahwa penyidik, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) atau penyidik tertentu dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan.
Kemudian, pada ayat (2), penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri (PN). Sebelumnya pula, Komisi Yudisial mengusulkan adanya sinkronisasi dalam revisi UU KUHAP berkenaan aturan penyadapan di luar penegakan hukum pidana.
Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai mengatakan hingga kini materi penyadapan masih belum diatur dalam KUHAP tetapi tersebar di Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Merujuk ketentuan dua beleid tersebut, Amzulian berujar upaya penyadapan dimungkinkan dalam rangka penyelidikan ataupun penyidikan dalam penegakan hukum pidana.
“Selain untuk kepentingan penegakan hukum, rupanya penyadapan juga mendapatkan peluang penggunaannya untuk kepentingan penegakan disiplin dan pelanggaran etik,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).
Sorotan Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP turut memantau perkembangan pembahasan RKUHAP. Walaupun, menurut mereka, masyarakat dibuat bingung dengan ketidakjelasan naskah mana yang menjadi rujukan utama.
Organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR), PBHI Nasional, KontraS, AJI Indonesia, dan berbagai organisasi lainnya.
Koalisi tersebut menilai setidaknya ada sembilan masalah yang tertuang dalam beberapa pasal RKUHAP yang perlu dipantau oleh masyarakat. Koalisi mengacu pada draf RKUHAP tertanggal 24 Maret 2025 yang sudah beredar di publik.
“Dari beberapa pantauan kami, ada setidaknya 9 pasal bermasalah dalam RKUHAP yang perlu kita pantau bersama,” kata koalisi itu dalam keterangannya, dikutip pada Jumat (20/6/2025).
1. Tak Ada Jaminan Akuntabilitas Pelaporan
Pasal yang bermasalah: Pasal 23
Penjelasan: Koalisi menilai pasal ini tidak memberikan perlindungan hukum dan mekanisme akuntabilitas yang memadai.
Akibatnya, tidak adanya kejelasan mengenai tindak lanjut penanganan kasus, terutama pada kasus kekerasan seksual. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengawasan berjenjang dalam sistem peradilan pidana.
2. Minim Pengawasan Yudisial
Pasal bermasalah: Pasal 149, 152 ayat (2), 153, dan 154
Penjelasan: Berbagai pasal ini menunjukkan RKUHAP belum secara memadai mengatur mekanisme pengawasan oleh pengadilan atau judicial scrutiny. Oleh karena itu, ada kewenangan berlebih pada penyidik tanpa adanya pengawasan oleh pengadilan.
3. Upaya Paksa tanpa Ukuran yang Jelas
Pasal bermasalah: Pasal 85 ayat (1), 88, 89, 90 ayat (2) dan (3), 93 ayat (5), 105 huruf e, 106 ayat (4), 112 ayat (2)
Penjelasan: Koalisi berpendapat pasal-pasal upaya paksa dalam RKUHAP tidak memiliki ukuran yang jelas, tidak mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia, serta tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya.
Ada kekhawatiran potensi kesewenang-wenangan di dalam penerapan upaya paksa serta eksploitasi dari aparat penegak hukum.
4. Sidang Elektronik tanpa Mekanisme Akuntabel
Pasal bermasalah: Pasal 138 ayat (2) huruf d, 191 ayat (2), dan 223 ayat (2) dan (3)
Penjelasan: Hingga saat ini, belum ada sistem yang dapat memberikan informasi kepada publik tentang keterbukaan akses menyaksikan jalannya persidangan daring.
Menurut koalisi, RKUHAP perlu mengatur secara tegas dan jelas seluruh mekanisme dan akuntabilitas persidangan secara elektronik.
5. Investigasi Khusus tanpa Kontrol
Pasal bermasalah: Pasal 16
Penjelasan: Teknik investigasi khusus seperti penyadapan dan penggeledahan tak diatur dengan batasan dan syarat yang jelas dalam RKUHAP.
Koalisi berpandangan ada risiko terjadinya penjebakan jika kewenangan tersebut berlangsung tanpa pengawasan di tahap penyelidikan.
6. Hak Korban dan Kelompok Rentan Belum Operasional
Pasal bermasalah: Pasal 134-139, 168, 169, dan 175 ayat (7)
Penjelasan: Jika pasal-pasal ini disahkan, koalisi menilai hak-hak korban, saksi, dan terdakwa berpotensi terabaikan. Lembaga bisa jadi saling lempar tanggung jawab, dan ada kemungkinan restitusi korban diabaikan.
7. Standar Pembuktian yang Tidak Jelas
Pasal bermasalah: Pasal 85-88, 222, 224-225
Penjelasan: Belum ada penyelesaian masalah standar pembuktian yang tidak jelas dalam RKUHAP. Selain itu juga belum ada prosedur pengelolaan bukti.
Ketidakjelasan definisi “bukti yang cukup” dan standar beban pembuktian dinilai dapat membuka ruang multitafsir dan ketidakadilan dalam putusan.
8. Ketidakberimbangan dalam Proses Peradilan Pidana
Pasal bermasalah: Pasal 33, 197 ayat (10), 142 ayat (3) huruf b, 146 ayat (4) dan (5), Pasal 1 angka 20 dan angka 21.
Penjelasan: Pasal-pasal ini dinilai melemahkan dan membatasi peran advokat, meniadakan pendampingan hukum bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana berat, serta menimbulkan kerancuan yang melahirkan ketidakpastian hukum.
9. Konsep Restorative Justice Disamakan dengan Diversi
Pasal bermasalah: Pasal 74-83
Penjelasan: Konsep keadilan restoratif yang dikenal di Indonesia saat ini dinilai keliru, sebab diartikan sebagai penghentian perkara di luar persidangan.
Imbasnya, menurut koalisi, penyelesaian perkara di luar pengadilan bisa dipaksakan oleh penyidik demi efisiensi. Hal itu bisa berujung pada pengabaian pemulihan korban serta penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi disertai paksaan.
Sentimen: neutral (0%)