Sentimen
Undefined (0%)
13 Jul 2025 : 18.34
Informasi Tambahan

Institusi: ITB

Kab/Kota: bandung, Gunung, Joglo, Karanganyar, Keagungan, Solo

Partai Terkait

Rayakan HUT ke-75, Perupa Arfial Arsad Hakim Gelar Pameran Tunggal

13 Jul 2025 : 18.34 Views 19

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Rayakan HUT ke-75, Perupa Arfial Arsad Hakim Gelar Pameran Tunggal

Esposin, SOLO—Perupa Arfial Arsad Hakim menjelaskan dengan detail tentang perjalanan melukisnya saat pembukaan pameran tunggalnya di Natur Gallery, Jalan Cocak 1 No. 17C, Mangkubumen, Banjarsari, Kota Solo, Sabtu (12/7/2025) sore.  Mayoritas yang hadir saat itu adalah keluarga termasuk istri dan anak, kolega, sahabat sesama seniman, serta mahasiswa.

Dalam acara itu, mereka ikut merayakan ulang tahun ke-75 perupa asal Solo tersebut.  Dari umur yang panjang itu, Arfial menghabiskan 57 tahun untuk melukis dan 50 tahun sebagai pengajar bidang seni. Ia rekam perjalanan hidupnya sebagai perupa dan pengajar lewat pameran yang berjudul “755750”, digelar dari Sabtu-Rabu (12-16/7/2025).

Sebagai perupa, Arfial dikenal dengan sentuhan warna yang sejuk dan objek alam di setiap lukisan yang ia buat. Gaya melukis itu, tidak datang tiba-tiba. Tapi hasil dari  buah pikir dan refleksi diri selama bertahun-tahun.

Jauh sebelum ia menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1972, ia sebetulnya sudah melukis objek alam. Misalnya dalam lukisan berjudul Hutan yang ia buat di atas kanvas ukuran 42x40 cm itu sudah dilukis pada 1968.

Lukisan yang juga dipajang dalam pameran itu menggambarkan area hutan dengan pepohonan menjulang tinggi. Warna yang ia pilih dominan hijau dan lebih gelap. Kemudian objeknya lebih realis, berbeda dengan gayanya saat ini.

Namun, saat masuk di ITB, ia tidak lagi melukis objek alam selama beberapa tahun. Sebab lingkungan kampus yang ada di Bandung itu memengaruhinya. Terlebih saat semester awal ia lebih banyak mengeksplorasi gaya lain.

“Begitu mulai masuk seni lukis di ITB, saya tidak memulai dari pemandangan alam. Karena pada waktu itu, semua itu sudah enggak ada lagi melukis pemandangan alam,” kenang Arfial ketika berbincang dengan Espos di ruang pameran, Sabtu.

Ia ingat mahasiswa seni rupa kala itu justru didorong mengeksplorasi alam benda (still life) dengan pendekatan distorsi dan deformasi. Dosen-dosen ITB juga gemar melukis dengan gaya abstrak. Ini memengaruhinya. 

Arfial muda mencoba berbagai teknik, termasuk kolase. Namun, semakin dalam ia menyelam, semakin ia merasa terasing. “Pada satu saat itu saya merasa hampa ya dengan karya-karya seperti itu. Kok saya ngerasa enggak ada kedekatan,” ungkapnya.

Kehampaan itulah yang menjadi titik baliknya. Ia merasakan ada kerinduan untuk kembali melukis objek-objek alam. Namun, karena lingkungan, ia tidak menggunakan gaya naturalis murni.

 “Bisa dicemoohkan guru, dipercemoohkan teman. Kalau cuma [melukis naturalis] gitu aja, ngapain capek-capek [kuliah],” pikirnya saat itu.

Maka, Arfial mencari jalan tengah. Ia tetap berangkat dari pemandangan alam, namun tidak lagi menirunya mentah-mentah. Ia mulai menyederhanakan bentuk, mengabstraksi lanskap, dan mencoba menangkap suasana Bandung yang dingin.. 

Jadilah lukisan yang lebih samar untuk memenuhi tugas akhirnya. Ia melukis objek alam dari Situ Lembang di Bandung yang identik dengan danau dan gunung. Ia menyamarkan objek seperti danau, rumah-rumah, dan gunung menjadi komposisi bentuk dan warna biru yang sejuk khas dataran tinggi. 

Lukisan itu masih didominasi warna biru, belum ada sentuhan hijau seperti lukisannya sekarang. Palet warnanya yang didominasi biru itu ia pilih karena ingin memunculkan suasana yang menentramkan.

Gaya lukisannya kembali beradaptasi, setelah ia memutuskan pindah ke Kota Solo. Kota kecil ini tidak seperti Bandung yang dingin. Ia merasa kota ini terlalu panas, hingga membuatnya tidak melukis selama sekitar satu atau dua tahun.

 "Sempat kaget saya. Pindah dari daerah dingin, tiba-tiba di sini panas," katanya. 

Ketika mulai kembali berkarya sekitar 1981, gaya melukisnya ikut beradaptasi. Lingkungan perupa Solo yang saat itu masih kental dengan naturalisme membuatnya bergeser dari abstraksi.

Proses kreatifnya, terkadang ia mulai melukis dengan menggambar sketsa di kertas. Ia memotret alam di sekitar Kota Solo. Misalnya di daerah yang lebih tinggi di Tawangmangu, Karanganyar. Tidak heran, objek yang muncul adalah gunung, sungai, pohon, sawah, hingga rumah joglo.

Pada periode ini, objek-objek dalam lukisannya menjadi lebih jelas dan mudah dikenali, tidak abstrak namun juga tidak realis. Ia tetap memilih palet warna yang sejuk. Selain biru, ia juga mulai menggunakan warna hijau dan kuning. Gaya ini konsisten hingga sekarang.

Di antara pepohonan dan sungai yang kerap muncul dalam kanvasnya, ada satu objek yang memiliki tempat istimewa bagi Arfial, yakni bambu. Baginya, selain menjadi objek estetik yang ritmis dan indah, bambu punya makna tersendiri baginya. Hal ini terkait pertemuannya dengan alam pikiran Lao Tse.

“Waktu saya membaca ajaran Lao Tse, yang katanya berpeganglah pada bambu. Bagaimanapun terpaan angin, tapi akarnya tetap kokoh. Itu artinya kita pegang prinsip,” jelasnya.

Ajaran itu ia pegang terutama empat tahun belakangan saat kondisi kesehatannya tidak sedang baik-baik saja. Ia sempat patah tulang. Kemudian harus menjalani operasi mata. “Saya kembali mengingat konsep itu, bahwa saya harus pegang prinsip, saya harus tetap berkarya. Saya harus ada,”  tuturnya.

Tidak heran, di ruang pameran itu, hampir semua lukisan dengan angka tahun 2025, ada objek bambu. Selain juga diperkaya dengan objek alam lain.

Perjalan melukis selama 57 tahun itu membentuk gaya lukisannya yang sekarang. Gaya lukisan yang sulit diidentifikasi bahkan oleh Arfial sendiri. Ketika ditanya ia menganut aliran melukis apa, ia pun bingung.

“Kombinasi dari sekian banyak aliran, bisa di situ ada semacam impresionisme, naturalis, tapi di situ juga ada dekoratifnya, ada suasana kontemplatifnya. Tapi kalau penulis kritikus seni rupa mengatakan masuk di dalam kelompok lirisme-humanisme,” katanya, mengutip wawancara beberapa tahun lalu.

Tidak Pelit Ilmu

Selain melukis, ia sangat senang mengajar. Ia tidak pelit ilmu. Ia bagikan semua pengetahuannya kepada anak-anak muda. Makanya ia pun mengiyakan ketika ada ajakan mengajar di Solo, seperti UNS dan Universitas Sahid.

Ia tidak semata mencari honor. Lebih penting menurutnya adalah interaksi dengan mahasiswa. Terkadang ia yang belajar terutama ketika mahasiswa mengeksplorasi teknik atau gaya baru.

“Saya itu kok terlanjur senang, terlanjur suka mencintai pekerjaan itu. Pada waktu saya memberikan sesuatu dalam mengajar, ada kepuasan diri saya kalau orang itu bisa menerima dan bisa merasakan manfaatnya yang saya berikan,” katanya.

Di usianya sekarang, ia tetap diminta mengajar. Orang tua yang suka sekali bercerita itu tetap menyetujui tawaran itu. Seperti melukis, ia masih punya keinginan untuk terus mengajar. 

Sampai-sampai sahabatnya, perupa asal Solo, Soegeng Toekio, menjuluki Arfial sebagai seorang “amfibi” karena hidup di dua dunia, yakni dunia pendidikan dan dunia kesenian.

“Saya mengenal Arfial dan beberapa kali pameran bareng, ia hanya senyum [tidak banyak ngomong]. Tapi begitu di depan kelas, ia bisa ngomong dua jam. Jadi terus menjelaskan, menerangkan, memberi contoh, dan menyalahkan [mengoreksi],” katanya ketika memberikan sambutan, Sabtu.

Selain menjadi saksi dedikasi di dunia pendidikan seni rupa, Soegeng juga menemani sahabatnya itu menemukan gaya melukisnya yang sekarang ini. Menurutnya, Arfial memang sangat suka dengan keagungan Tuhan yakni alam.

Arfial seperti lensa mata, melihat pemandangan, direkam di otak, dirasakan dengan hati, diterjemahkan dalam kanvas. Jadi perjalanan itu ia lalui dari sekian lama, selama 3/4 abad. Tidak semua orang bisa menerjemahkan objek alam seperti Arfial,” katanya.

Sentimen: neutral (0%)