Sentimen
Undefined (0%)
12 Jul 2025 : 07.03
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Dukuh, Klaten

Tokoh Terkait

Tradisi Grebeg Sura Tanjungsari di Dlimas Klaten Berawal dari Pagebluk

12 Jul 2025 : 07.03 Views 16

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Tradisi Grebeg Sura Tanjungsari di Dlimas Klaten Berawal dari Pagebluk

Esposin, KLATEN – Tradisi Grebeg Sura Tanjungsari di Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Klaten, sudah berlangsung secara turun temurun sejak ratusan tahun silam. Tradisi itu diyakini dari cerita rakyat setempat terkait wabah yang pernah terjadi.

Tradisi yang digelar di Dukuh Tanjungsari, Desa Dlimas, setiap memasuki Bulan Sura tepatnya setelah tanggal 8 Sura pada Jumat Wage atau Kliwon. Seperti yang digelar pada Jumat (11/7/2025).

Sekretaris Desa (Sekdes) Dlimas, Irene Galuh Kusumaningrum, mengungkapkan tradisi itu diperkirakan sudah berlangsung sejak abad ke-18 atau 19. Dari cerita lisan yang diwariskan secara turun temurun, Galuh mengungkapkan kala itu kawasan yang kini bernama Dukuh Tanjungsari hanya terdiri dari beberapa rumah dan masih berupa hutan belantara.

Dulu, kampung itu dipimpin oleh seorang lurah bernama Ki Demang Rawatmejo. Saat itu terjadi pagebluk. Banyak warga yang meninggal mendadak dengan asal usul gejala tak diketahui.

“Jadi banyak warga itu ibaratnya malam tidak mengalami apa-apa, keesokannya meninggal dunia. Jadi mungkin seperti ada wabah,” kata Galuh.

Melihat kondisi warga di kampungnya, Ki Demang Rawatmejo lantas bertapa. Dalam pertapaannya, Ki Demang didatangi dua sosok putri yang kemudian dikenal dengan nama Rara Putri Tanjungsari dan Rara Payung Gilap.

Ki Demang kemudian mendapatkan semacam wangsit dari dua putri itu untuk menggelar doa seperti kenduri dan memohon keselamatan.

”Akhirnya Ki Demang mengadakan itu. Setelah mendapatkan wangsit atau penglihatan itu dia melaksanakan kegiatan doa bersama kenduren untuk istilahnya meminta kepada Gusti supados wabah itu bisa berhenti,” jelas dia.

Konon, setelah kegiatan itu pagebluk yang terjadi di desa tak ada lagi dan warga diberikan keselamatan. Pascakejadian itu, warga secara rutin menggelar Grebeg Sura yang bertahan hingga kini dengan berbagai pengembangan seperti melengkapi dengan kegiatan budaya.

“Jadi ada kepercayaan kalau itu memang sesuatu yang sudah apa ya warisan luhur, jadi harus diadakan setiap tahun di Jumat Wage atau Jumat Kliwon. Itu wetonnya Rara Putri Tanjungsari dan Rara Payung Gilap,” ungkap Galuh.

Sosok kemunculan kedua putri itu yang diyakini sebagai pepunden atau tempat yang dihormati dan menjadi asal usul penamaan kampung.  

Sebagai penanda, kawasan yang hingga kini menjadi lokasi Grebeg Sura ditanami pohon Tanjung. Dulu, ada pohon tanjung berumur ratusan tahun serta memayungi kawasan. Pada tiga tahun lalu, pohon itu tumbang dengan akar ikut terangkat lantaran diterjang badai.

Warga kemudian berinisiatif menanam pohon tanjung di kompleks tersebut tepatnya di bekas pohon tua yang sebelumnya tumbang.

Bupati Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan tradisi tahunan yang sudah berlangsung secara turun temurun. Hamenang mengungkapkan kegiatan itu sarat makna. Selain melestarikan budaya, ada nilai toleransi yang terus dijaga warga Dlimas.

“Ini mencerminkan bagaimana luhurnya budaya kita. Mencerminkan guyubnya warga. Dari sejarahnya Klaten memang kota toleransi. Sejak dulu waga Klaten sudah guyub. Sebagai generasi penerus, kita wajib melestarikan. Ke depan semoga gemah ripah loh jinawi,” ungkap Hamenang.

Sentimen: neutral (0%)