Ada Aduan Jual-Beli Seragam di 3 SMPN di Boyolali, Ini Respons Bupati Agus
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, BOYOLALI--Bupati Boyolali, Agus Irawan, menegaskan tak ada instruksi melakukan jual-beli seragam di sekolah wilayah Boyolali. Hal tersebut ia ungkapkan saat ditemui Espos di gedung DPRD Boyolali, Jumat (11/7/2025).
Dia mengakui ada rumor soal jual-beli seragam di sekolah. Namun, ia mengatakan dinas terkait telah diperintahkan untuk mengklarifikasi.
“Sebenarnya tidak ada untuk paksaan kami murid atau wali murid untuk membeli seragam dengan nominal sebagainya, enggak ada. Untuk lebih jelasnya lagi, nanti bisa ke Plt Disdikbud,” kata Agus.
Ia mengatakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Boyolali telah membuat surat edaran (SE) soal larangan jual-beli seragam di sekolah. Dalam surat edaran juga diberikan keleluasaan bagi wali murid untuk membeli seragam di mana saja.
“Tidak ada keputusan atau kami tidak memutuskan memberi kewajiban untuk membeli seragam baru, itu tidak ada. Semua tergantung wali muridnya. Bisa juga yang kakaknya sudah lulus atau naik kelas, bisa dipakai adiknya,” kata dia.
Ditanya soal apakah ada tindak lanjut ketika sekolah terbukti melakukan jual-beli seragam, Agus mengatakan akan berkoordinasi dengan dinas terkait soal tindak lanjutnya.
Ia juga memerintahkan Disdikbud Boyolali untuk turun ke bawah dan mengawal hal tersebut.
Sementara itu, Plt Kepala Disdikbud Boyolali, M. Arief Wardianta, mengatakan pihaknya telah mengkonfirmasi ke tiga SMPN yang diadukan. Dan dikatakan sekolah tidak pernah mewajibkan untuk membeli.
“Sesuai dengan SE kan jelas, bahwa satuan pendidikan baik langsung atau tidak langsung tidak boleh mengadakan seragam dan sebagainya. Itu menjadi tanggung jawab wali murid,” jelas dia.
Soal buku LKS, lanjut dia, juga tak menjadi kewajiban orang tua. Ada buku wajib berupa paket dan telah ada anggaran dari APBN dan APBD.
Ia kembali menegaskan tidak ada pemaksaan. Pihak sekolah, lanjut dia, ketika ada perkumpulan wali murid baru menjelaskan aturan soal pemakaian seragam.
“Permasalahannya adalah, ketika ada penerimaan siswa baru pasti ada orang yang jualan. Kalau yang selama ini di BUMD, tidak ada khusus BUMD boleh. Misal memaksa juga salah. Baik BUMD dan non-BUMD itu sekolah tidak boleh untuk mengadakan. Kalau ada orang jualan, semisal orang jualan pentol, nah mau beli bisa enggak juga boleh. Nah, ini [seragam] sama,” kata dia.
Untuk di 3 SMPN tersebut, lanjut dia, memang ada yang menawarkan seragam. Ketika ada menawarkan, maka disampaikan ke wali murid dan bebas membeli atau tidak.
“Jadi tidak ada pemaksaan harus beli. Tapi misal wali murid bertanya beli seragam di mana, oh di sana ada bazar. Terus orang tua mau membeli atau tidak ya terserah pembeli. Paling sekolah cuma bisa seperti itu,” kata dia.
Ia mengatakan sesuai visi-misi Bupati-Wakil Bupati Boyolali, Agus-Fajar, yang mengusung jargon perubahan. Sehingga, tidak ada pengadaan seragam di sekolah. Sehingga, seusai menjadi Plt Kepala Disdikbud Boyolali, ia langsung membuat SE larangan jual-beli seragam di sekolah.
“Jargonnya Pak Bupati-Bu Wakil Bupati adalah perubahan. Sekarang sudah tidak sama BUMD, ketika sudah tidak mungkin ada [untuk jual-beli seragam], maka peluang yang lain, masuk menawarkan seragam,” kata dia.
Hal yang salah, jelas Arief, adalah ketika sekolah memerintahkan wali murid untuk membeli di toko atau daerah tertentu. Namun, ketika sebatas memberi informasi di beberapa toko dan tidak memaksa, maka hal tersebut bukanlah masalah.
Ia mengatakan dua tahun yang lalu secara berturut-turut justru mendapatkan teguran dari Ombudsman soal jual-beli seragam. Sehingga, ia membuat SE soal larangan jual-beli seragam di sekolah.
“Tahun 2023 ada, 2024 ada, masa 2025 mencuat lagi. Kalau dulu mohon maaf tanda kutip dari salah satu BUMD. Sekarang BUMD sudah tidak, walaupun BUMD punya kami tapi memang tidak usah,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Anggota DPRD Boyolali mendapatkan aduan soal dugaan jual-beli seragam di wilayah sekolah negeri setingkat SMP di Boyolali. Menanggapi hal tersebut, DPRD akan memanggil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Boyolali dan pihak sekolah untuk klarifikasi.
Ketua Komisi IV DPRD Boyolali, Suyadi, menyampaikan pihaknya mendapatkan banyak aduan dari beberapa sekolah. Namun, bukti baru terkumpul dari tiga SMPN yaitu di wilayah Nogosari, Sambi, dan Sawit.
“Sikap kami jelas, kami akan memanggil pihak terkait. Ada dari Disdikbud serta pihak sekolah,” kata dia saat dihubungi Espos, Jumat (11/7/2025) pagi.
Ia mengatakan pada aduan terkait salah satu SMPN di Nogosari disebutkan wali murid sempat dikumpulkan di sekolah dan diadakan sosialisasi.
“Memang pihak sekolah tidak terlibat, tapi komitenya itu saya telepon katanya untuk mensosialisasikan terkait seragam. Memang di sana komitenya jelas, itu tidak ada paksaan. Mau beli monggo, enggak monggo. Tapi yang kami sayangkan, mengapa itu difasilitasi?” jelas dia.
Kemudian, di salah satu SMPN di Sambi, lanjut dia, ketika siswa daftar ulang terdapat ada kertas nomor pendaftaran dan di baliknya terdapat ada angka rincian harga seragam.
“Jadi ada angka Rp1 juta sekian untuk beli seragam. Berarti sudah ada pengondisian kalau seperti itu, kok pihak sekolah bisa menulis angka di situ,” kata dia.
Lalu, di salah satu SMPN di Sawit hampir sama dengan di SMPN wilayah Sambi. Di nota SMPN di Sawit ada nama, rombongan belajar, dan sebagainya.
“Lha kalau ada rombel itu berarti yang menyediakan kan pihak sekolah. Enggak mungkin misal saya sebagai pedagang menjajakan di sekolah, apa mungkin saya masuk ke rombel ditulis?” kata dia.
Diketahui, harga seragam putri mulai dari Rp1,33 juta dan ukuran jumbo Rp1,44 juta. Lalu, untuk seragam putra Rp1,155 juta dan jumbo Rp1,265 juta.
“Jumlahnya itu ada Rp1 juta sekian, tapi dia [pemilik nota atau orang tua] itu baru titip sekian ribu rupiah. Berarti kalau bahasa titip kan ada ketidakmampuan tho? Apakah ini harus diteruskan seperti ini?” kata anggota DPRD Boyolali dari Fraksi PDIP ini.
Sentimen: neutral (0%)