Sentimen
Undefined (0%)
11 Jul 2025 : 16.35

Ancaman Krisis Iklim di Balik Banjir saat Musim Kemarau

11 Jul 2025 : 16.35 Views 31

Espos.id Espos.id Jenis Media: Eco

Ancaman Krisis Iklim di Balik Banjir saat Musim Kemarau

Musim kemarau yang semestinya kering justru diguyur hujan ekstrem, sehingga membuat kawasan sibuk seperti Kuningan, Jakarta Selatan tergenang air. Fenomena yang dulu dianggap mustahil kini menjadi bagian dari keseharian yang mengganggu.

Di balik curahan emosi dan kekagetan itu, tersirat kekhawatiran kolektif bahwa krisis iklim bukan lagi wacana masa depan. Ia telah hadir, menjungkirbalikkan prediksi cuaca dan menantang logika perencanaan kota.

"Kuningan —sebuah kawasan di bilangan Jakarta Selatan— banjir di bulan Juli, never in my wildest dream. Krisis iklim itu nyata dan makin deket," keluh penggiat tata kota @stravenues dalam akun X miliknya.

Dilansir Antaranews, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, meski secara klimatologis seharusnya Indonesia telah memasuki musim kemarau, sebagian besar wilayah masih mengalami curah hujan di atas normal akibat anomali iklim.

BMKG mencatat sebanyak 30 persen zona musim di Indonesia telah memasuki periode musim kemarau. Angka ini hanya mencapai setengah dari jumlah zona musim yang secara klimatologis seharusnya mengalami musim kemarau pada akhir Juni.

Menurut BMKG dan sejumlah pusat iklim global, fenomena ENSO (suhu muka air laut di Samudra Pasifik) dan IOD (suhu muka air laut di Samudra Hindia) diperkirakan akan tetap berada dalam kondisi netral sepanjang semester kedua tahun 2025.

Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan di sejumlah wilayah Indonesia berpotensi tetap tinggi, meskipun secara klimatologis seharusnya memasuki musim kemarau. Fenomena ini dikenal dengan istilah kemarau basah.

Kemarau basah merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor lokal dan global yang memengaruhi dinamika atmosfer di wilayah Indonesia. Beberapa faktor tersebut antara lain pergerakan angin di atmosfer, pengaruh fenomena global seperti Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, serta dampak perubahan iklim global.

Dwikorita menyebutkan hujan akan terus turun di musim kemarau.

Hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025.

Greenpeace

Dilansir dari situs https://www.greenpeace.org/, Kamis (10/7/2025), Greenpeace Indonesia menjelaskan kondisi ini bukan sekadar anomali musiman. Akan tetapi konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh pengambil kebijakan. 

Pendidihan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca ini sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif. 

Kondisi tersebut telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. 

Ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.

“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, dalam rilis resmi mereka, Kamis.

Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan.

Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam. 

Selanjutnya, Bondan, juga menekankan pemerintah perlu menghentikan ekspansi energi fosil serta segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan.

Produksi Batu Bara

Mirisnya, meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 lalu Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton. Angka tersebut melampaui target awal 710 juta ton atau peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton). 

Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih.

Sementara itu, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan penyediaan tenaga listrik melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) semakin jauh dari komitmen transisi energi, dan masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060. 

Dalam RUPTL yang disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.

Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil diperkirakan bakal semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fosil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan. 

Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060. Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023.

“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” lanjut Bondan.

Terakhir, Greenpeace mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. 

RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati.

Sentimen: neutral (0%)