Sentimen
Undefined (0%)
10 Jul 2025 : 14.35
Tokoh Terkait
Ahmad Fahrur Rozi

Ahmad Fahrur Rozi

Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari

NU di Persimpangan Tambang

10 Jul 2025 : 14.35 Views 57

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

NU di Persimpangan Tambang

Sekali lagi, saya sebagai nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU) kecewa karena tindakan unsur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). 

Kekecewaan saya itu timbul setelah mendengar suara sumbang Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, saat berdiskusi dengan aktivis Greenpeace, Iqbal Damanik, dalam program Rosi yang disiarkan Kompas TV beberapa waktu lalu. 

Pernyataan Ulil mengenai masalah pertambangan di Indonesia penuh dengan bias dan perspektif yang tak lagi memihak kepada publik. 

Ulil melabeli para aktivis lingkungan yang menolak tambang dengan sebutan wahabi lingkungan. Ini untuk menunjukkan bahwa para aktivis itu seorang puritan yang saklek terhadap aturan.

Pelabelan ini jelas tujuannya mendegradasi perjuangan para aktivis lingkungan. Selain pelabelan, Ulil juga menyebut kampanye dan gerakan yang dibangun para aktivis lingkungan menggunakan narasi yang menakut-nakuti masyarakat terkait perubahan iklim hingga kerusakan yang ditimbulkan akibat tambang. 

Ia mempertanyakan urgensi mengembalikan ekosistem lingkungan setelah ditambang. Terlihat bahwa pernyataan Ulil hanya narasi tandingan yang bertujuan mengacaukan perspektif publik dan membodohi nalar. 

Ia menggunakan diksi-diksi agamis dan “intelek” supaya yang keluar dari mulutnya terkesan punya value dan berdasarkan kajian ilmiah. Setelah mendengar pernyataan Ulil, sebenarnya hal itu tidak membuat saya kaget banget. 

PBNU sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) tepat setahun lalu kegirangan karena mendapatkan konsesi tambang atau wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari pemerintah. 

Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf menyampaikan alasan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu menerima konsesi tambang karena PBNU membutuhkan dana untuk membiayai operasional program dan proyek infrastruktur milik NU. 

Narasi-narasi kemaslahatan umat juga disuarakan untuk membuat kesan bahwa penerimaan izin tambang adalah hal wajar dan patut. Pertanyaannya, kemaslahatan siapa yang dimaksud? Nahdliyin atau para elite struktural NU?

Kalau memang benar PBNU membutuhkan dana untuk operasional organisasi, tentu bisa mencari dengan cara-cara yang lebih baik. Katanya jumlah warga NU atau nahdliyin mencapai 90 juta orang.

Tentu ini bisa menjadi pasar yang potensial bagi unit usaha NU, namun selama ini apakah potensi itu benar-benar dioptimalkan untuk pengembangan usaha dan menjadi sumber keuangan organisasi? 

Tampaknya langkah itu belum sepenuhnya dilakukan atau memang tidak mampu karena sibuk bermesraan dengan penguasa. PBNU juga membingkai narasi setelah menerima konsesi tambang untuk menguatkan ekonomi umat. 

Seharusnya ekonomi umat itu tumbuh dari bawah, terlebih sebagian besar warga NU hidup di wilayah perdesaan. Dukungan PBNU terhadap pertanian dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM milik warga NU di desa lebih berguna dibandingkan harus bergelut dengan tambang yang entah keuntungannya akan mengalir kepada siapa. Tidak mungkin kiai kampung akan menikmati “cipratan” cuan dari tambang. 

PBNU Haramkan Tambang

Sikap PBNU terhadap industri tambang tampaknya beda 180 derajat jika dibandingkan pada 2015 lalu. Baru satu dekade lalu PBNU mengeluarkan fatwa mengharamkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang merusak lingkungan. 

Keputusan itu diambil setelah para kiai NU menggelar bahtsul masail. Keputusan para kiai ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar serius dan secara ketat mengawasi kerja perusahaan tambang. 

NU kala itu juga meminta secara tegas kepada pemerintah untuk tidak memberi izin eksplorasi bagi perusahaan yang mengabaikan kelestarian lingkungan. 

Tampaknya, hingga saat ini belum ada fatwa terbaru dari PBNU yang memperbolehkan pertambangan. Jadi fatwa para kiai tersebut masih berlaku. 

Anehnya, PBNU era sekarang justru menerima konsesi industri ekstraktif yang merusak lingkungan itu. Ketua Tanfidziyah PBNU, Ahmad Fahrur Rozi, menjadi komisaris PT Gag Nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kawasan tambang tersebut beberapa waktu lalu diprotes publik karena merusak ekosistem alam. 

Tak dimungkiri bahwa aktivitas tambang berdampak pada kerusakan lingkungan dan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat. Sudah banyak penelitian dan liputan mengenai cerita-cerita kesengsaraan masyarakat yang tinggal di daerah tambang. 

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas tambang bukan hanya mengancam kehidupan warga lokal, tetapi juga hewan endemik serta ekosistem alam. 

Berdasarkan catatan akhir tahun 2020 Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), telah terjadi 45 konflik pertambangan yang terdiri atas 22 kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, delapan kasus kriminalisasi warga yang menolak tambang, dan dua kasus pemutusan hubungan kerja. 

Riset Jatam sepanjang 2011-2024 menunjukkan ada 178 nyawa melayang di lubang bekas tambang yang tak terreklamasi dan sebagian besar korban adalah anak-anak. 

Kalangan elite NU, saya yakin, pasti mengetahui aneka masalah yang dihadapi masyarakat di kawasan tambang. Mereka orang cerdas, berpendidikan, dan tentu paham prinsip hablum minal alam. 

Tentu bukan hal sulit memahami korelasi antara aktivitas tambang dengan kerusakan lingkungan serta konflik sosial yang terjadi. Sudah banyak kritik yang dilontarkan dari generasi muda NU, cendekiawan NU, nahdliyin, hingga orang luar terhadap keputusan PBNU yang menerima konsesi tambang. 

Kritik itu jangan dimaknai sebagai kebencian, melainkan kecintaan warga terhadap ormas yang didirikan K.H. Hasyim Asy’ari itu. PBNU tengah kebingungan mencari arah kebenaran hingga mengorbankan integritas dalam membela kaum tak berdaya. 

Keputusan menerima konsesi tambang itu menegaskan semakin kaburnya batas antara ormas keagamaan dan kekuasaan negara. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan kooptasi ormas menjadi alat legitimasi kebijakan pemerintah, bukan lagi menjadi mitra kritis yang akan mengontrol kekuasaan. 

Keterlibatan PBNU dalam industri tambang merupakan pertaruhan besar, bukan hanya bagi masa depan organisasi, tetapi juga bagi legitimasi moral keagamaan di mata publik. 

Ujian sejati PBNU bukan soal berapa besar keuntungan yang diperoleh dari tambang, namun apakah masih mampu menjaga nurani sosial di tengah godaan kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Indonesia. 

NU itu organisasi kaya hati dan nurani. Saya jadi teringat seorang kiai yang mengingatkan jemaah, “Jangan takut dikatakan miskin, kekayaan tidak dibawa mati”.

Mungkin nasihat itu cocok bagi para elite PBNU yang kini merasa miskin karena tak punya tambang. Saya NU, saya menolak tambang!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Juli 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)