Sentimen
Undefined (0%)
7 Jul 2025 : 15.35
Informasi Tambahan

Institusi: IPB

Kab/Kota: Dukuh, Gunung, Kali Anyar, Klaten, Solo

Tokoh Terkait

Masyarakat Adat dan Ritual Kebudayaan sebagai Upaya Penjagaan Hutan

7 Jul 2025 : 15.35 Views 23

Espos.id Espos.id Jenis Media: Eco

Masyarakat Adat dan Ritual Kebudayaan sebagai Upaya Penjagaan Hutan

Esposin, SOLO -- Upaya penjagaan hutan yang dilakukan oleh para masyarakat adat menemui titik temu. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) berhasil menetapkan hutan adat seluas 332.505 hektare di seluruh Indonesia. Masih ada beberapa usulan yang dalam proses pelengkapan data. 

"⁠Penetapan hutan adat sebanyak 156 unit seluas kurang lebih 332.505 hektare, bermanfaat bagi 82.791 kepala keluarga (KK) dan usulan hutan adat lengkap sebanyak 95 unit seluas sekitar 1.477.197 hektare," jelas Kasubdit Penetapan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal dari Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kemenhut, Yuli Prasetyo Nugroho, dilansir Antaranews, Jumat (4/7/2025).

Hutan adat merupakan kawasan hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat dan dikelola oleh masyarakat adat  berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal. 

Dia mengatakan usulan hutan adat merupakan bagian dari Program Perhutanan Sosial. Pengusulan yang saat ini mencapai 124 unit dengan luasan kurang lebih 2.544.561 hektare.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kemenhut, Julmansyah, menambahkan progres penetapan hutan adat pada periode Mei-Juni 2025 seluas 50.984 hektare. Total luasannya, baik yang sudah disetujui hingga masih dalam proses pengusulan mencapai 4.354.263 hektare.

Saat ini pemerintah terus berupaya melakukan percepatan penetapan hutan adat bersama Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni. Salah satu upayanya yakni  membentuk Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat pada 9 Mei 2025 lalu.

Rapat terbatas Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat sudah dilakukan pada, Selasa (1/7/2025), lalu dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Mereka yang dilibatkan tidak hanya dari unsur pemerintahan, tapi juga organisasi masyarakat sipil yang konsen pada isu masyarakat hukum adat dan hutan adat.

Di kesempatan tersebut, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian (PKTHA), Julmansyah, menyampaikan progres kerja Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat. Progres saat ini masih tahap awal yakni persiapan, disusul dukungan Satgas dari Kedutaan Besar Norwegia, United Nations Development Programme (UNDP), dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Kirab Pager Banyu

Di Klaten, upaya konservasi hutan hingga sumber air terus dilakukan warga di wilayah Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Salah satunya melalui kegiatan konservasi dibalut kegiatan budaya bertajuk Mapak Suran.

Kegiatan berlangsung Minggu (6/7/2025) sore. Warga dari Dukuh Ngemplak Butuh Kulon, Sidorejo, menggelar kirab Pager Banyu. Mereka membawa uba rampe berupa gunungan berisi hasil bumi seperti entik, tapai serta berbagai olahan umbi-umbian lainnya. Selain itu, warga membawa jenang manggul.

Kirab digelar dari Kali Butuh menuju Kampung Siluman yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Mereka menyusuri jalan setapak melintasi tepi Kali Woro dengan jalan berbatu hingga memasuki kawasan hutan di taman nasional.

Warga mulai dari orang dewasa hingga anak-anak ikut kirab. Mendung, gerimis hingga kabut yang sempat menyelimuti kawasan tak menyurutkan semangat warga.

Dalam iring-iringan, sebagian rombongan pembawa uba rampe langsung menuju ke lokasi kegiatan. Sebagian lainnya menyusuri kawasan hutan menuju ke belik atau mata air kecil.

Belik yang dinamai Kali Putih itu berada di kaki tebing. Sumbernya berasal dari tetesan air pada dinding tebing yang dipenuhi akar pepohonan. Airnya memang tak melimpah serta tidak bening. Namun, air itu terus dirawat warga lantaran secara turun temurun menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Warga menanam lima pohon di sekitar belik. Pohon yang ditanam yakni jenis ficus seperti iprik dan bulu. Selain menjadi jenis pohon yang tidak memiliki nilai ekonomi sehingga tidak rawan ditebang, pohon yang ditanam itu bagus untuk resapan air.

Seusai menanam, warga bergegas menuju ke ujung bukit di tanah lapang yang teduh oleh rindangnya pinus dan jenis pohon lainnya di lereng Merapi. Warga kemudian beristirahat sembari menikmati uba rampe yang dibawa serta jenang manggul.

Sebagian warga terutama anak-anak menampilkan berbagai atraksi kesenian. Suasana Kampung Siluman yang biasanya sepi sejenak riuh oleh warga yang larut dalam suka cita.

Ketua RT 016/RW 006, Desa Sidorejo, Jenarto, mengungkapkan sebelumnya sudah ada 3.000 pohon ditanam warga bersama Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Lokasinya berada di kawasan Kampung Siluman. Penanaman berlangsung selama 18 hari sebelum rangkaian kegiatan kirab Pager Banyu tersebut.

Jenarto mengungkapkan kegiatan itu menjadi bagian dari upaya konservasi yang rutin dilakukan warga. Kirab Pager Banyu sudah menjadi agenda rutin selama lima tahun terakhir dan digelar saat Bulan Sura.

Tak hanya tanam pohon, warga sebelumnya sudah membersihkan sumber-sumber air kecil yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

“Kemudian menanam dan membuat parit buntu atau rorak untuk resapan air. Hari ini warga berkumpul untuk makan jenang manggul bersama yang biasa jenang tersebut menjadi menu kenduri di Bulan Sura,” jelas Jenarto.

Tanaman Endemik

Jenarto mengungkapkan kegiatan digelar di Kampung Siluman untuk menarik minat orang sehingga ingin mengetahui lebih lanjut terkait nama kawasan yang dulunya bekas perkampungan sebelum ditinggalkan akibat erupsi.

Selain itu, lokasi tersebut menjadi sasaran konsevasi dengan tujuan menghijaukan kawasan dengan tanaman-tanaman endemikMerapi.

“Kami memiliki cita-cita mengembalikan hutan di kawasan kami menjadi hutan yang tanamannya endemik Merapi. Sementara ini kan ada beberapa bahkan banyak tanaman yang bukan endemik sini,” ungkap Jenarto.

Sidorejo merupakan salah satu desa yang tidak memiliki sumber air. Namun, warga memiliki tradisi dandan kali atau bersih-bersih sumber sebagai upaya untuk merawat sumber-sumber kecil yang ada di desa setempat.

“Artinya kenduri ini dimaksudkan agar paham betul bahwa air itu menjadi kebutuhan dasar,” kata Jenarto.

Setiap ada agenda tahunan itu, warga membersihkan kawasan di tiga belik yakni Kali Butuh, Kali Putih, dan Kali Anyar. Selain itu, warga menanam pohon.

Mereka menaruh asa di balik penanaman itu. Warga berharap kelak di masa mendatang pohon yang ditanam tumbuh besar dan berkontribusi memperbesar debit belik.

Sumber air yang ada seperti Kali Putih yang ada di tengah hutan kerap dimanfaatkan warga terutama saat kemarau panjang melanda. Hal itu sudah dilakukan sejak dulu. Lantaran hal itu, belik-belik yang ada lekat dengan kehidupan masyarakat setempat.

Disinggung dampak dari kegiatan kirab Pager Banyu yang sudah berlangsung lima tahun terakhir, Jenarto mengungkapkan setidaknya berdampak pada perubahan perilaku warga. Selain itu, kegiatan tersebut menjadi bagian dari edukasi kepada anak-anak kampung setempat yang ikut dalam aksi bersih belik hingga tanam pohon.


“Dampak yang terlihat itu perilaku warga yang kini menjadi terbiasa menghemat air, artinya menghargai air. Kemudian, anak-anak ini mulai paham bahwa proses air itu tidak langsung dari kran. Dari sebelum dari kran dia sedikit memahami bahwa ada proses yang harus harus berlangsung lama dan dia mau berproses untuk melakukan kegiatan ini,” ungkap Jenarto.

Konservasi Berbasis Masyarakat

Warga bakal menggelar acara tahunan itu secara rutin sebagai bagian untuk merawat berbagai potensi yang ada di sekitar kampung mereka.

“Mimpi kami ke depan tumbuh kesadaran dalam pengelolaan air. Paling tidak karena memang kami tidak punya sumber, ya solusi untuk menyelesaikan air mungkin bisa membangun penampungan air hujan dengan kapasitas besar atau mungkin ya dengan pengelolaan-pengelolaan yang lebih efektif efisien gitu di pengelolaan penggunaan air di rumah tangganya masing-masing. Kami juga berharap dari pohon yang ditanam dan membuat lubang resapan, debit belik bisa lebih besar lagi,” urai Jenarto.

Salah satu petugas Balai TNGM, Sarjino, mengungkapkan sebelumnya ada penanaman 3.000 pohon endemik merapi di kawasan Kampung Siluman. Pohon itu di antaranya puspa, berasan, pasang serta tesek.

Sarjino berharap penanaman pohon yang dibalut dengan kegiatan budaya bisa semakin membuat warga setempat semakin menyatu dengan taman nasional. Ke depan, hutan di kawasan taman nasional bisa lestari dan menjadi tempat hidup yang layak bagi satwa asli Merapi seperti lutung hingga Elang Jawa.

Salah satu budayawan asal Klaten, Anshori, mengungkapkan kegiatan yang lima tahun ini rutin digelar warga di wilayah Sidorejo itu menjadi bagian dari edukasi riil dengan kemasan kesenian dan budaya. Lebih dari itu, kegiatan tersebut menjadi upaya konservasi beserta isinya berbasis masyarakat.  

“Ini menjadi sisi edukasi langsung terhadap masyarakat bagaimana merawat, mencintai dan memanfaatkan sumber-sumber alam sebaik-baiknya dengan kemasan yang bagus,” kata Anshori.

Peran Masyarakat Adat

Jurnal ilmiah berjudul Peranan Masyarakat Adat dalam Menjaga dan Melestarikan Hutan Adat Mandala di Provinsi Nusa Tenggara Barat, karya LL. Suhirsan Masrillurahman dari Program Studi Kehutanan Universitas Pendidikan Mandalika membahas secara mendalam tentang peran masyarakat adat dalam pelestarian hutan.

Masyarakat adat perlu diberi peran yang lebih dalam pengelolaan hutan, sebab mereka punya sifat kekhasan secara alami untuk menjaga hutan sebagai tempat tinggalnya. 

Sifat tersebut diciptakan oleh budaya yang terbukti lebih berwawasan lingkungan ketimbang teknologi modern yang sekarang tengah dikembangkan. 

Penggiat isu lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, Abdon Nababan, dalam makalah pelatihan berjudul Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat (Tantangan dan Peluang) yang diterbitkan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB pada 5 Juli 2002 menyebutkan empat peran penting masyarakat adat dalam pengelolaan hutan.

Pertama yakni masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling bernilai guna melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka sendiri.

Motivasi ini didasari pada dua hal yaitu keyakinan atas hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Sehingga,  masyarakat adat menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang paling besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik.

Kedua, masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka. Masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan keberlanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. 

Ketiga, Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan guna mencegah perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakan terhadap hutan adat.

Keempat, masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat, dan menjaga keberlangsungan hutan adat. Mereka juga memiliki keharmonisan interaksi sehingga ekosistem hutan di sekitarnya terjaga.

Sentimen: neutral (0%)