Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Rio De Janeiro
Partai Terkait
Tokoh Terkait

Lula da Silva
Adopsi Deklarasi Rio, BRICS Serukan Reformasi Global demi Dunia Lebih Adil
Espos.id
Jenis Media: Dunia

Esposin, RIO DE JANEIRO - Para pemimpin negara-negara BRICS secara resmi mengadopsi Deklarasi Rio dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada Minggu (6/7/2025).
Di bawah kepemimpinan Brasil, deklarasi ini berisi komitmen kolektif BRICS terhadap penguatan multilateralisme dan reformasi tata kelola global guna menciptakan tatanan dunia yang lebih adil, inklusif, dan demokratis.
Dalam dokumen setebal puluhan halaman itu, BRICS menyerukan pembaruan sistem internasional yang dianggap belum mampu mencerminkan realitas geopolitik abad ke-21.
“Kami menegaskan kembali komitmen kami untuk melakukan reformasi dan perbaikan tata kelola global dengan mendorong sistem internasional dan multilateral yang lebih adil, lebih setara, lebih efektif, lebih representatif, dan lebih demokratis,” demikian tertulis dalam kutipan pernyataan resmi.
Deklarasi juga menyoroti pentingnya peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seraya mendesak reformasi menyeluruh terhadap lembaga tersebu, khususnya Dewan Keamanan, agar mampu menjawab tantangan global secara adil dan inklusif.
BRICS juga mendorong peningkatan representasi negara-negara berkembang, termasuk dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin, untuk memainkan peran lebih besar dalam urusan global.
Momentum penting dalam KTT ini adalah penyambutan resmi Indonesia sebagai anggota penuh BRICS. Selain itu, BRICS juga mengakui sejumlah negara sebagai mitra, antara lain Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Nigeria, Malaysia, Thailand, Vietnam, Uganda, dan Uzbekistan.
Selain aspek geopolitik, deklarasi turut mencakup kerja sama di berbagai bidang strategis. BRICS mengadopsi tiga inisiatif utama, yaitu Deklarasi Kerangka Kerja Keuangan Iklim BRICS, Deklarasi Tata Kelola Global Kecerdasan Buatan, serta peluncuran Kemitraan BRICS untuk Pemberantasan Penyakit yang Ditentukan Secara Sosial.
“Inisiatif-inisiatif ini mencerminkan upaya bersama kita untuk mempromosikan solusi yang inklusif dan berkelanjutan atas berbagai masalah global yang mendesak,” tulis para pemimpin dalam dokumen tersebut.
Kritik NATO
Di sisi lain, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva menyampaikan kritik terhadap peningkatan belanja militer global, terutama sebagai dampak dari keputusan terbaru NATO yang dinilai memicu perlombaan senjata.
Presiden Lula, saat berpidato pada sesi pleno Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Minggu, belanja pertahanan yang melonjak menunjukkan adanya ketimpangan prioritas dalam kebijakan global.
"Lebih mudah mengalokasikan 5 persen dari PDB [Produk Domestik Bruto] untuk belanja militer daripada mengalokasikan 0,7 persen yang dijanjikan untuk bantuan pembangunan resmi," katanya.
Ia juga menyampaikan rasa prihatin atas kemudahan negara-negara maju mengalokasikan anggaran besar untuk militer, dibandingkan dengan komitmen mereka terhadap pembangunan berkelanjutan.
“Ini menunjukkan bahwa sumber daya untuk melaksanakan Agenda 2030 sebenarnya ada, tetapi tidak tersedia karena kurangnya prioritas politik. Selalu lebih mudah berinvestasi dalam perang daripada dalam perdamaian,” ujarnya.
Presiden Brasil itu juga memperingatkan meningkatnya risiko bencana nuklir di tengah ketegangan geopolitik global.
Ia menyoroti kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan lembaga internasional seperti Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yang menurutnya dapat merusak kredibilitas organisasi yang sangat penting bagi perdamaian dunia.
“Seperti yang terjadi di masa lalu dengan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia, instrumentalisasi pekerjaan Badan Tenaga Atom Internasional membahayakan reputasi organisasi. Ketakutan akan bencana nuklir telah kembali menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,” katanya.
Dalam bagian lain pidatonya, Presiden Lula menegaskan posisi Brasil yang konsisten menolak kekerasan bersenjata dan konflik, termasuk yang terjadi di Jalur Gaza, Ukraina, dan Haiti.
Ia menolak segala bentuk ideologi kebencian yang mengatasnamakan agama atau kebangsaan tertentu. Sebagai bentuk konkret komitmen terhadap perdamaian, Presiden Lula menyebut inisiatif “Kelompok Sahabat Perdamaian” yang diprakarsai oleh Brasil dan China.
Kelompok ini bertujuan menjembatani dialog dan mencari jalan keluar damai dari berbagai konflik, dengan melibatkan negara-negara dari belahan bumi selatan sebagai bagian dari solusi global.
“Kelompok ini bekerja untuk mengidentifikasi kemungkinan jalan mengakhiri permusuhan, melalui pendekatan yang adil, damai, dan menghormati kedaulatan,” kata Presiden Brasil.
Sentimen: neutral (0%)