Sentimen
Undefined (0%)
7 Jul 2025 : 03.38
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Apple, Samsung, Tesla

Kapitalisme Digital

7 Jul 2025 : 03.38 Views 17

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Kapitalisme Digital

Dylan Curran adalah seorang konsultan data yang juga meneliti dunia digital dan etikanya. Pada 30 Maret 2018, theguardian.com memuat tulisannya berjudul Are you ready? Here is all the data Facebook and Google have on you. Dalam tulisan itu, ia mengingatkan publik untuk tidak kaget bahwa raksasa digital seperti Facebook dan Google telah menguasai privasi banyak orang. Sadar atau tidak, hampir semua orang di planet ini tergantung pada platform mereka. Kecuali mungkin mereka yang tidak memakai ponsel, tinggal menyendiri di hutan atau pulau terpencil, dan tidak terhubung dengan siapa pun.

Saya sering menggunakan tulisan Dylan Curran dalam berbagai pelatihan literasi digital untuk menunjukkan apa saja yang dikuasai Google dan Facebook. Google tahu di mana Anda berada. Platform buatan Larry Page dan Sergey Brin ini menyimpan lokasi Anda (jika pelacakan lokasi diaktifkan) setiap kali Anda menyalakan ponsel. Jadi, pasangan Anda mungkin tidak tahu ke mana saja Anda semalam, tetapi Google tahu karena Anda pergi sambil mengantongi ponsel.

Orang juga banyak menggunakan mesin pencari Google. Sampai-sampai, perilaku mencari informasi melalui mesin pencari Google menjadi lema tersendiri di kamus, yaitu "Googling". Google menyimpan riwayat pencarian di semua perangkat Anda. Walaupun sudah dihapus datanya, Google masih menyimpannya. Rahasia Anda ada di tangan Google.

Google juga menyimpan data pribadi Anda, seperti jenis kelamin, usia, alamat, hobi, karier, minat, status hubungan, perkiraan berat badan, pendapatan, dan sebagainya. Lalu, semua tontonan yang sering Anda buka di YouTube, Google memiliki datanya. Karena itu, Google tahu iklan apa yang cocok dengan profil tersebut.

Meta (yang menaungi Facebook, Instagram, dan WhatsApp) juga melakukan hal yang sama dengan data kita. Profil, teman, postingan, kapan Anda tidur—semua mereka tahu. Bahkan, mereka tahu preferensi politik Anda, apakah pro-pemerintah atau oposisi.

Platform digital juga memiliki data dari kalender Anda. Pukul 07.00, apakah Anda sudah keluar rumah atau masih rebahan? Pukul berapa Anda bekerja atau pergi ke sekolah, waktu Anda rutin melakukan olahraga, mendengarkan musik, jenis musiknya, dan sebagainya.

Kadang, orang tidak sadar, senang menggunakan berbagai platform digital karena menganggapnya gratis. Padahal, tidak ada makan siang gratis. Kita bisa menggunakan platform seperti mesin pencari, e-mail, media sosial, aplikasi perpesanan, artificial intelligence (AI), platform video, dan sebagainya secara gratis, tetapi sebagai gantinya, kita menyetor data. Data itulah yang dikelola platform. Untuk apa? Ya, untuk dikomersialkan. Jadi, data pengguna dikomodifikasi. Kita adalah "barang dagangan" mereka.

Ingat tidak, saat sedang berselancar di media sosial, tiba-tiba ada iklan lewat? Ketika menonton di YouTube gretongan, mau tidak mau ada iklan yang harus ditonton. Semua diatur oleh algoritma. Algoritma menyaring, mengurutkan, dan menampilkan konten yang paling relevan dan menarik bagi Anda secara pribadi. Cara kerjanya dengan mengumpulkan data aktivitas Anda, lalu menganalisis minat, ujung-ujungnya membuat rekomendasi.

Siapa yang diuntungkan? Tentu saja platform digital. Mereka menguasai data orang-orang di planet ini. Mengomersialkannya. Merekalah para investor kaya, para kapitalis. Karena itu, sekarang muncul istilah kapitalisme digital (digital capitalism).

Kapitalisme Modern ke Digital

Kapitalisme digital adalah modifikasi sistem produksi dan konsumsi kapitalisme modern. Kapitalisme digital menjadikan data sebagai komoditas. Ada istilah lainnya, yaitu Kapitalisme Pengawasan (Surveillance Capitalism) karena raksasa teknologi mengumpulkan data tentang perilaku pengguna untuk memprediksi dan memodifikasi perilaku tersebut.

Kita juga mengenal Kapitalisme Platform (Platform Capitalism), yang mengacu pada platform teknologi raksasa yang memonopoli teknologi di planet ini.

Jika kita sehari-hari mendapati perusahaan teknologi memengaruhi kehidupan orang dan menguasai modal, maka istilah yang tepat adalah Teknofeodalisme (Technofeudalism). Dulu, yang berkuasa adalah tuan tanah. Kini, feodalisme dalam bentuk digital. Mantan Menteri Keuangan Yunani, Yanis Varoufakis, menyebut cloud, big data, dan platform digital menjadi "tanah". Yang menguasai dan mengendalikan adalah Google, Amazon, Meta, dan sebagainya.

Jadi, ada perbedaan antara kapitalisme klasik, modern, dan digital. Pada zaman kapitalisme klasik (abad ke-18 sampai abad ke-19), aset utama adalah tanah, mesin, dan pabrik. Lalu pada zaman kapitalisme modern, yang jadi aset adalah modal finansial. Lembaga-lembaga keuangan internasional atau global berpengaruh terhadap naik-turunnya keuangan masyarakat. Sedangkan pada kapitalisme digital, yang menjadi sumber daya adalah data. Pemanfaatan data untuk berbagai aktivitas manusia.

Sekarang, orang mau ke dokter atau RS harus mengunduh aplikasi BPJS Kesehatan. Mau mengakses bantuan pemerintah, harus mengisi data ke platform. Syarat pengisian, harus memiliki e-mail. Yah, akhirnya kasih data ke platform global lagi.

Data adalah minyak atau emas baru. Yang punya data, yang berkuasa. Data itu jadi modal bahkan menjadi mata uang global. Itu ciri dari kapitalisme digital.

Hal baru lainnya adalah prediksi perilaku berbasis algoritma. Dulu, kapitalisme terkait produksi dan konsumsi. Kini, para kapitalis digital mengomodifikasi data lalu memprediksi perilaku konsumen. Itu dibisniskan.

Namun, kapitalisme tetaplah kapitalisme. Walaupun barang dagangannya berubah, perilakunya tetap sama. Mereka memonopoli pasar untuk menangguk untung. Kini, kita mengenal Meta (Facebook, Instagram, dan WhatsApp), Alphabet (Google dan YouTube), ByteDance (TikTok), Amazon, hingga Microsoft. Ada juga produsen seperti NVIDIA, Apple, Tesla, Samsung, dan sebagainya.

Dari nama-nama itu, kita bisa melihat ada monopoli, kapitalisasinya besar, skalanya global, dan mereka memengaruhi perilaku masyarakat. Anak-anak hingga orang tua sudah tergantung pada ponsel. 

Kalau dulu ada penjajahan dan kolonialisme wilayah, sekarang sudah jarang. Kini, yang terjadi adalah kolonialisme dan imperialisme algoritmik. Big Tech yang berasal dari negara maju menguasai negara-negara lain, mengendalikan data.

Saya tidak dalam posisi menentang mereka. Saya juga memakai Google, biasa menggunakan ChatGPT. Di ponsel, ada berbagai aplikasi yang merupakan besutan Big Tech.

Namun, saya mengajak Pembaca untuk kritis dan skeptis menghadapi kapitalisme digital ini. Bahwa yang ada di dunia digital tidak selalu relevan dan penting bagi kita. Di dunia maya, banyak hoaks (misinformasi). Apalagi berkembangnya AI mempermudah produksi hoaks.

Selain itu, kita harus berhati-hati dengan data. Data pribadi itu ibarat emas. Jangan diumbar. Bisa jadi celaka. Penipuan digital hingga fitnah mengintai. Banyak kasus terjadi, misalnya gambar wajah orang diambil lalu ditempel ke gambar tubuh orang lain. Kasus pornografi semacam itu sering terjadi. Bermedia sosial boleh saja, tetapi hati-hati. Keamanan digital adalah sesuatu yang harus dipahami oleh semua orang.

Sebenarnya banyak hal penting lainnya. Namun, saya ingin mengingatkan satu hal lagi, yaitu perlunya keadilan dan kesetaraan di dunia digital. Ada kesenjangan kekayaan antara negara utara (Amerika Utara, Eropa Barat, dan negara maju di Asia) dan selatan (Asia dan Afrika pada umumnya hingga Amerika Latin). Kesenjangan lainnya di bidang militer, teknologi, data dan informasi, lingkungan, dan sebagainya. Keadilan dan kesetaraan itulah yang harus terus diperjuangkan di era digital. Jadi, upaya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan itu tetap dilakukan, dengan menghadapi kapitalis, kolonialis, imperialis, feodalis digital.

Sentimen: neutral (0%)