Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ayam
Kab/Kota: Batang, Semarang
Firasat
Espos.id
Jenis Media: Lifestyle

Raina berdiri di hadapan sebuah makam dengan tangan terlipat ke depan. Ia satu-satunya yang tidak meratapi kematian Kris, suaminya. Di sekelilingnya, orang-orang menangis terisak, terbenam dalam duka mendalam.
“Kau persis saudaramu,” kata seorang anggota keluarga Kris dengan ketus.
“Kau sebut dirimu dokter, ha?” kata orang lain.
Raina tetap membisu, menatap gundukan tanah merah yang telah ditebari bunga dan ditancap nisan yang dibelinya jauh hari sebelum Kris tiada. Tidak ada air mata. Tidak ada sesenggukan. Tidak ada suara darinya, semisal memanggil-manggil nama Kris seperti lazimnya istri ditinggal mati suami. Dan orang-orang memerhatikan.
Langit mendung. Angin mendesir, membawa bau bacin dari selokan lebar.
Orang-orang, dengan busana hitam, muka muram, dan berlindung di bawah payung hitam, berduyun-duyun pergi tanpa berkata apa pun kepadanya. Langkah mereka berdecak, menyaruk-nyaruk dedaunan kering kuning dan merah yang bertebaran di tanah.
Yang tersisa di sana hanyalah Raina dan lelaki paruh baya berpunggung bongkok yang duduk dan merokok di batu dan memegang sekop berlumpur. Tapi, saat ia hendak pulang, Emma ternyata di belakangnya, berdiri rapuh dengan punggung menyandar pada batang kamboja.
“Em…” Raina mengulurkan tangan menggapai bahu putri tunggalnya itu.
Usia Raina 49 tahun, sudah menjadi dokter bedah selama sepuluh tahun. Tapi, saat usia 42, ia kembali merasa ada yang tidak beres padanya sebagaimana saat masih gadis dulu. Ia lagi-lagi mendapat firasat bahwa pasiennya akan mati, bahkan sebelum ia tangani.
Firasat itu mula-mula berupa hawa ganjil yang merayapi tubuhnya, lalu pancainderanya menangkap hal-hal yang luput dari perhatian orang lain di rumah sakit. Udara terasa berat. Aroma disinfektan berbaur dengan bau besi dan darah kering.
Derit roda brankar melambat. Di ruang tunggu, ada derap langkah yang seharusnya tidak ada. Tidak berat, tidak ringan. Hanya ada. Di sela percakapan, ada bisikan yang bukan kata-kata, tetapi menegakkan bulu kuduknya.
Petanda itu datang tak terkendali. Dan yang paling pedih saat semua itu mengarah ke orang yang mengisi suka-dukanya dari umur 25 hingga menua: Kris, suaminya.
Awalnya Kris menggeliat dan merintih, pada pagi hari saat membaca koran. Raina bertanya, apakah Kris baik-baik saja.
“Hanya pegal. Mungkin salah tidur,” kata Kris enteng. Namun, Kris megap-megap beberapa hari kemudian saat menaiki tangga.
“Aku mau kau ke rumah sakit,” kata Raina saat mereka berbaring di ranjang. Kris terkekeh-kekeh, menolak dengan santai lalu memunggunginya.
Raina ingin memaksa. Namun, ia cukup sadar bahwa dirinya mustahil memaksa bongkahan batu. Dan jika ia ngotot, yang dilakukan batu itu adalah menggelinding dari kamar ke ruang keluarga, menonton televisi sampai larut malam, sampai giliran si televisi yang menontonnya. Dan pada suatu siang, Raina pulang setelah menerima telepon.
Kris ternyata pulang lebih awal dengan wajah pucat. Ia duduk di sofa, menekan dada tempat napasnya memburu. Raina langsung mengambil kunci mobil di samping televisi. “Kita ke rumah sakit.”
Dokter spesialis jantung memeriksa Kris, melakukan CT scan, dan mengerutkan kening saat melihat hasilnya. “Ada aneurisma di aorta asendens. Belum robek, tapi ini harus segera operasi.”
“Tolong, Dok, bahasa manusia,” kata Kris.
Sebenarnya, Raina bisa menjelaskan, tapi ia diam. Bukan berarti ia memberi kesempatan dokter yang sekaligus rekan kerjanya itu menjelaskan. Ia diam karena firasat itu datang dengan dingin, menyelinap dari tengkuk ke tulang belakang, membuatnya seperti orang menggigil.
Tidak. Jangan sekarang. Jangan dia. Aku mohon jangan.
Raina lalu memandang Kris yang duduk di ranjang dengan lengan baju digulung hingga siku. Dokter membaca hasil CT scan sekali lagi, mengangkat kacamata dengan telunjuk, seakan-akan memastikan bahwa ia tidak keliru terka.
Saat perjalanan pulang, Kris dengan santai berkata, “Kau tak perlu mengatakannya. Aku tahu dari wajahmu.”
Itu pukulan maut yang melesat ke dada Raina, yang bikin punggungnya basah karena keringat. Sepanjang perjalanan, ia cuma memandang keluar jendela, tetapi benaknya merayap ke masa yang sempat dilupakannya, ke sosok yang sempat diabaikannya: Renata, saudara kembarnya.
Mereka 18 tahun saat itu, dianugerahi Tuhan kemampuan yang sukar diterima akal sehat. Kemampuan itu, di tengah lingkungan yang sehat, menjelma kutukan.
Tak ada yang percaya saat Renata bilang bahwa ibunya akan tiada. Raina sendiri diam di kamar, tidak memberi dukungan pada saudaranya. Yang ia dengar pada malam mencekam itu adalah amukan Renata, amukan ayahnya, dan tangisan sang ibu yang berupaya melerai pertengkaran di ruang keluarga.
Menyusul kemudian suara tamparan, seruan istighfar, dan gelegar benda pecah-belah yang terbanting. Sambil memeluk lutut yang gemetaran, Raina tersedu-sedu di kamar.
“Hentikan kegilaanmu itu!” teriak ayahnya.
“Cukup, Mas.” Ibunya memohon.
“Itu akan terjadi!” teriak Renata.
Karena tak tahan, Raina pun bergegas keluar dan mendapati ibunya menahan ayahnya yang megap-megap, sementara Renata merangkak mundur ke sudut tembok dengan kaki terbujur di lantai. Pipinya memar, bibirnya berdarah. Raina menghambur dan memeluk Renata, tetapi saudaranya berbisik dengan bibir bergetar, “Pengkhianat.”
Raina memang memilih bungkam. Ia tidak seberani Renata. Kalian tahu, terlahir kembar bukan berarti bernyali sama besar. Dan kamar mereka terpisah sejak malam itu dengan dinding tak tak kasat mata yang dibangun Renata untuk Raina, dengan pecahan kaca bertebaran di ujungnya. Mereka jadi asing satu sama lain.
Saat sang ibu benar-benar tiada, Renata berteriak di hadapan para pelayat, “Puas kalian?” Orang-orang menoleh. Sang ayah menahan murka, anggota keluarga lain bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Dari cerita sang ayah, mereka menyepakati satu hal: Renata sinting.
Semestinya orang sinting tidak hidup di lingkungan orang yang tidak sinting. Demikian pendapat mereka yang kemudian diamini dan diimani sang ayah dan dijadikan landasan untuk menjebloskan Renata ke rumah sakit jiwa, memaksanya bergumul dengan obat dan diagnosis yang mustahil diperdebatkan.
Lalu, Renata gantung diri dengan seprai rumah sakit, meninggalkan secarik kertas bertuliskan “kau sekarang sendiri”. Pesan itu ditujukan kepada Raina.
Meski hancur, tapi Raina sadar bahwa mengetahui sesuatu sebelum terjadi merupakan beban, bukan kelebihan - orang tak ingin kebenaran jika pahit.
Raina berupaya keras mengabaikan firasat yang kemunculannya tak terduga itu. Ia mengubah alur berpikir, memaksa diri meyakini bahwa firasatnya tak lebih dari pelintiran pikiran sendiri. Ia menegaskannya dengan memilih fakultas kedokteran yang menolak firasat dan hanya terbuka pada diagnosis serta prognosis.
***
Hari-hari berikutnya, Raina merokok lagi dan sering absen dari rumah sakit. Ia kini sering menatap Kris yang sekali tempo lewat. Ia juga jadi sering membatin sendiri.
Lalu, untuk apa aku praktik, untuk apa menangani pasien jika sudah kuketahui ujungnya bahkan sebelum kutangani? Tidak. Ini keliru.
Tak tahan dengan pikirannya sendiri, ia pun menelepon rumah sakit, membuat jadwal operasi yang akan ditanganinya sendiri. Namun, Kris tetaplah Kris.
"Kau sudah tahu hasilnya, kan?"
"Aku tidak bilang begitu."
"Tapi kau tahu."
“Kalau aku tahu, aku tidak di rumah sakit. Aku di rumah, nonton Netflix, masak sup, bikin kopi, menunggumu pulang!”
Kris tersenyum. "Sepertinya itu bagus."
Di luar, gerimis merintik pelan dan udara terasa dingin. Terdengar roda gerobak mi ayam di jalan depan rumah berderak saat melindas polisi tidur.
Raina menunduk. Ia bisa melanjutkan kemarahannya. Tapi, bahwa semua itu sia-sia, ia tahu betul. Kris terlalu mencintainya, terlalu memercayainya, dan terlalu batu.
"Aku tak mau kau mengupayakan yang tak bisa diubah,” kata Kris.
Kris lalu mengungkit pasien-pasien yang nasibnya sudah diketahui Raina bahkan saat mereka baru muncul di IGD. Semua akurat, tak terbantahkan.
"Ini hidupku. Kau bisa ada di sampingku saat operasiku gagal, atau di sampingku sekarang,” kata Kris.
Sejak sore itu, Raina menekan kesedihan karena Kris tak suka membuang waktu dengan bersedih. Raina membantu Kris menuntaskan pekerjaan, merapikan laporan tertunda, mengosongkan laci kantor, meninggalkan benda-benda yang berguna untuk orang lain.
Mereka mendatangi notaris, membikin surat wasiat, dan menorehkan nama Emma di sana. Kris berpesan kepada Raina siapa yang harus dihubungi ketika tiba saatnya, tanpa mengatakan "saat aku mati”, melainkan "nanti kalau aku tidak bisa mengurus ini lagi."
Kris mengajarinya bagaimana mengatasi saluran yang tersumbat, mengganti oli mobil, mengganti ban, melumasi roda-roda pagar, dan urusan kecil lain yang semestinya tidak penting, tapi tiba-tiba mendesak untuk diwariskan.
Mereka berlatih melepas perlahan-lahan, dalam rutinitas yang tak berubah, dalam malam-malam di mana mereka tetap menyikat gigi berdampingan, tetap berbagi selimut, tetap bertukar “selamat pagi” tanpa rasa ganjil.
Mereka bepergian ke tempat-tempat yang dulu mereka tunda, makan di restoran yang pernah mereka lewati, tapi tak pernah disinggahi, duduk di tepi pantai, mendengarkan debur ombak seolah itu suara terakhir yang perlu mereka dengar.
“Aneh,” kata Kris pelan sambil memandang senja di barat. “Kau tahu, di waktu begini, aku malah bahagia.”
“Bagaimana dengan saudara-saudaramu? Apa yang harus kukatakan pada Emma?”
Hening. Kris hanya menghela napas sambil memandang laut.
***
Raina kaget saat Emma menepis tangannya.
“Kenapa?” tanya Emma dengan tersendat-sendat. Air mata melunturkan kosmetiknya.
“Itu maunya, Em. Dia… dia bahagia.”
Setelah terdiam lama sambil terisak, Emma melangkah pergi menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Itulah kali pertama Raina mengerti perasaan Renata. Dikucilkan.
Baron Yudo Negoro, seorang buruh di Semarang. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang Lomba Menulis Dongeng Batik Nusantara yang diselenggarakan oleh Museum Batik Indonesia dan Kemdikbud pada Oktober 2021.
Pengumuman Penerimaan Cerpen
Redaksi menerima kiriman cerpen dari para penulis dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Naskah dikirim dalam bentuk file attachment (lampiran), bukan ditulis langsung di badan surel.
2. Kirim ke alamat surel [email protected].
3. Panjang naskah 1.200 hingga 1.700 kata.
4. Kirim satu naskah saja dalam satu kali pengiriman. Kami tidak menerima kiriman beberapa cerpen dalam satu kali kiriman lewat surel.
5. Pastikan naskah belum pernah dimuat di media lain.
6. Sertakan data-data sebagai berikut:
-Nama lengkap
-Alamat surel aktif
-Alamat media sosial
-Nomor rekening (beserta nama pemilik rekening) dan NPWP
Sentimen: neutral (0%)