Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: bandung, Ngawi, Yogyakarta
Tokoh Terkait
Pendidikan sebagai Usaha Kebudayaan
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Ki Hajar Dewantara kita kenal sebagai pejuang kemerdekaan sekaligus Bapak Pendidikan Nasional. Sejauh ini acara apa pun yang terkait dengan Ki Hajar Dewantara makin minim dengan permenungan.
Semangat menggali dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran dan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara makin sepi. Darsiti Suratman dalam Ki Hajar Dewantara yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989) menjelaskan Ki Hajar Dewantara yang bernama kecil Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjalani pendidikan dasar di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School).
Setamat pada 1904, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta. Tak lama kemudian ia masuk Sekolah Dokter Jawa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tetapi tidak tamat karena sakit selama empat bulan dan aktivisme pergerakan.
Sekeluar dari STOVIA, R.M. Soewardi Soerjaningrat hijrah ke Bandung untuk mengembangkan karier jurnalistik. Ia pernah bekerja di berbagai kantor surat kabar kala itu, yakni Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesana.
Ia dan kawan-kawannya juga menerbitkan koran Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak. R.M. Soewardi Soerjaningrat juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia bersama dr. Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij (IP) pada 25 Desember 1912.
Tiga Serangkai tersebut mendesain IP sebagai gerakan politik yang memperjuangkan kemerdekaan bumiputra berlandaskan prinsip nasionalisme. IP dibubarkan pemerintah kolonial Belanda.
R.M. Soewardi Soerjaningrat kemudian membentuk Komite Bumi Putra pada November 1913 untuk melancarkan kritik terhadap rencana perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia yang menarik sumbangan (uang) dari kaum bumiputra.
Kritik R.M. Soewardi Soerjaningrat dilancarkan melalui tulisan berjudul Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga (Een voor Allen maar Ook Allen voor Een) dan Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat di De Express milik Douwes Dekker. IP kemudian dibekukan pemerintah kolonial Belanda.
R.M. Soewardi Soerjaningrat, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker dijatuhi hukuman pembuangan (internering) ke Belanda. Di Negeri Kincir Angin, mereka menginspirasi pendirian Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging).
R.M. Soewardi Soerjaningrat kemudian pulang. Berbekal ijazah pendidikan dari Belanda (Europeesche Akte) dan segenap ilmu pendidikan Barat yang terinspirasi Froebel dan Montessori, juga pendidikan Santiniketan ala Rabindranath Tagore, R.M. Soewardi Soerjaningrat mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Ia melepaskan status kebangsawanan dengan mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara pada usia 40 tahun. Melalui Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mencurahkan tenaga dan pikiran untuk bangsa.
Ki Subroto Prodjoharjono (2006) mengungkap aktivisme Taman Siswa di bidang pendidikan dan kebudayaan adalah kiprah berlandaskan keprihatinan atas nasib bangsa dan memupuk semangat perlawanan progresif terhadap pemerintah kolonial.
Taman Siswa meletakkan basis nilai-nilai pada pangkuan kebudayaan bangsa yang spesifik tentang keuletan kebangsaan, ketangguhan, kesabaran, dan wisdom sebagai adaptasi terhadap pengaruh budaya asing.
Ki Hajar Dewantara menggagas sistem pendidikan yang berkebudayaan. Melalui esai berjudul Pendidikan yang Berkebudayaan yang terangkum dalam buku Menuju Manusia Merdeka terbitan Leutika (2009), ia menjelaskan beberapa poin penting agar pendidikan dan kebudayaan membimbing tumbuh-kembang anak sesuai kodrat alam dan perkembangan zaman.
Sebagai usaha kebudayaan, pendidikan bertujuan memberi tuntunan dalam perkembangan tubuh dan jiwa anak-anak agar kelak—dalam garis-garis kodrat pribadi dan pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya—anak-anak mendapatkan kemajuan dalam kehidupan lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan.
Adab itu tercermin dari keluhuran dan kehalusan budi yang mengandung arti kesanggupan dan kemampuan dalam menuntut kecerdasan, keluhuran, dan kehalusan budi pekerti.
Apakah penyelenggara pendidikan, khususnya guru, telah menunaikan amanah Bapak Pendidikan Nasional itu? Entahlah. Itu kita serahkan kepada kemampuan para guru dalam mengajar dan memfasilitasi anak didik.
Pada era kiwari, para guru—utamanya yang berstatus honorer—punya kewajiban ganda, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperjuangkan hidupnya dan keluarganya.
Paling tidak, karena memilih menjadi guru, ia harus bertanggungjawab kepada anak didik dan terus merenungkan apa tujuan pendidikan.
Ki Hajar Dewantara dalam esai bertajuk Dasar-Dasar Pendidikan (Leutika, 2009) menerangkan maksud pendidikan adalah menuntun segala kodrat pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Dalam menjalankan tujuan ini, guru harus mampu menggali potensi anak didik dan tidak boleh memaksa harus pintar. Bisa jadi sang murid tidak pandai matematika, tapi paham tentang pelajaran bahasa dan ilmu pengetahuan sosial.
Tak kalah penting, guru harus memantapkan identitas kebudayaan dan mengakui kenyataan Indonesia itu beraneka ragam budayanya. Semesta bisa mewujudkan pendidikan bermutu, toleran, dan menghasilkan manusia yang berkebudayaan.
Kelak, setelah tamat sekolah, murid-murid tidak hanya berbekal nilai dan ijazah. Lebih dari itu, mereka akan menjalani hidup di luar sekolah yang lebih riil, berdampingan dengan masyarakat dan kebudayaan di dalamnya.
Begitulah. Sudahkan kita sebagai guru mengetahui makna pendidikan yang dirintis dan ditanamkan Ki Hajar Dewantara itu untuk bangsa ini?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Juni 2025. Penulis adalah Guru IPS di SMP Al Ikhlas, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur)
Sentimen: neutral (0%)