Sentimen
Undefined (0%)
30 Jun 2025 : 13.55

Menakar Masa Depan Jaminan Kesehatan Nasional

30 Jun 2025 : 13.55 Views 9

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Menakar Masa Depan Jaminan Kesehatan Nasional

Semua orang pasti ingin selalu sehat dan bahagia. Roda kehidupan kadang-kadang menghadapkan kita pada fase pahit mengalami sakit. 

Seorang anak berusia 12 tahun di keluarga yang tinggal di Batam meninggal dunia dengan dugaan penyebab tidak mendapat penanganan medis yang semestinya di RSUD setempat. 

Manajemen RSUD menjelaskan sempat merawat anak tersebut selama beberapa jam kemudian mengembalikan kepada keluarga karena kondisi anak tersebut belum darurat.

Tidak lama kemudian, anak itu mengembuskan napas terakhir. Berita penolakan pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN BPJS) Kesehatan di rumah sakit sering terjadi.

Belum lama ini anggota Komisi X DPR Irma Suryani Chaniago kecewa dengan pelayanan BPJS Kesehatan di rumah sakit setelah dia mendapat informasi ada pasien opname yang belum sembuh total dipaksa pulang.

Cerita-cerita ironis seperti ini masih saja terjadi setelah lebih dari 10 tahun program JKN diluncurkan pada 1 Januari 2014. 

Harapan besar waktu itu adalah rakyat Indonesia punya akses ke layanan kesehatan yang layak, terjangkau, dan menyeluruh, tanpa pandang bulu.

Di tengah tantangan kehidupan yang kian kompleks, kesehatan adalah fondasi membangun keluarga dan negara. JKN adalah bagian implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004.

Setiap anggota keluarga yang menjadi peserta JKN idealnya mendapatkan jaminan akses ke layanan kesehatan yang merata dan berkualitas.  

Dalam satu dekade program ini menjangkau lebih dari 250 juta peserta, menjadi salah satu sistem jaminan kesehatan terbesar di dunia. 

Apakah JKN benar-benar sudah memenuhi janji sebagai pelindung kesehatan rakyat atau justru terjebak dalam labirin masalah struktural dan implementasi?

Capaian JKN memang luar biasa. Menurut data Kementerian Keuangan, peserta JKN per 31 Maret 2025 adalah 279,5 juta jiwa atau sekitar 98,3% dari total 284,4 juta jiwa penduduk Indonesia.

Sebanyak 222,7 juta penduduk Indonesia atau 79,7% penduduk Indonesia adalah peserta aktif JKN yang rutin membayar iuran setiap bulan.

Peserta JKN terbagi atas dua kelompok. Pertama, kelompok penerima bantuan iuran (PBI) JKN yang mencapai 96,7 juta orang, termasuk orang tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah. 

Kedua, non-PBI sebanyak 125,9 juta jiwa yang membayar  iuran JKN secara mandiri. Di kertas, hal ini berarti Indonesia telah mencapai universal health coverage (UHC). 

Realitas menunjukkan kepesertaan belum sepenuhnya setara dengan akses dan mutu layanan. Selain cerita ironis tadi, banyak peserta mengeluhkan antrean panjang, keterbatasan obat, hingga proses rujukan yang terkadang masih rumit. 

Rumah sakit kerap mengeluhkan keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan yang mengganggu operasional. 

Dokter dan tenaga kesehatan menghadapi beban kerja tinggi karena sistem pembiayaan berbasis kapitasi dan INA-CBG yang kadang tidak mencerminkan kompleksitas kasus pasien.

INA-CBG  atau Indonesian-Case Based Groups  adalah sistem pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. 

Jika di kota besar layanan JKN relatif mudah dijangkau, beda cerita dengan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Di beberapa wilayah di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara, puskesmas masih minim, dokter bergilir, dan fasilitas penunjang sangat terbatas. 

Jarak tempuh ke rumah sakit bisa mencapai ratusan kilometer dengan kondisi transportasi dan infrastruktur seadanya.

Peserta JKN di daerah 3T cenderung pasif, bahkan tidak mengakses layanan sama sekali. Kesenjangan ini juga diperparah distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata.

Sebagian besar dokter umum dan dokter spesialis memilih tinggal di kota besar karena insentif di daerah tidak cukup menarik. 

Beban Sistem Kesehatan

Selain tantangan pada sisi peserta, penyedia layanan kesehatan juga menghadapi tekanan cukup berat. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik seolah-olah berada dalam tekanan. 

Sistem kapitasi mendorong efisiensi, tapi mengorbankan mutu layanan karena keterbatasan waktu dan sumber daya. 

Berdasarkan data BPJS Watch per akhir 2024, aset bersih dana jaminan sosial (DJS) JKN sekitar Rp47 triliun, namun dengan rasio klaim mencapai 106% pada 2023 dan 2024 angka itu diprediksi akan terus tergerus. 

Peningkatan jumlah peserta nonaktif masih menghantui pendanaan BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKN nonaktif per Maret 2025 mencapai 56,8 juta orang.

Jumlah ini meningkat dari 55,4 juta orang pada 2024. Artinya ada kenaikan 1,4 juta jiwa peserta nonaktif. Diperkirakan potensi defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp20 triliun.

Dalam kondisi perekonomian yang penuh tantangan dan beban penyakit kronis yang meningkat, JKN dituntut lebih efisien dan akuntabel.

Sejumlah langkah reformasi telah diupayakan, temasuk integrasi data layanan dan implementasi digitalisasi. Upaya ini belum menyentuh akar persoalan, salah satunya paradigma sistem yang masih berorientasi kuratif. 

Perlu pergeseran fokus ke upaya promotif dan preventif, termasuk penguatan layanan primer dan pemberdayaan masyarakat.

Keadilan Kesehatan

Masalah kesehatan bukan hal yang statis. Perlu up date data secara cepat, tepat, dan transparan. Transformasi digital di sektor kesehatan harus dilakukan berkesinambungan dan berkeadilan.

Pendekatan teknologi harus inklusif dan adaptif terhadap kondisi lokal. Program JKN telah menjadi tonggak penting sistem kesehatan Indonesia. 

Demi memastikan keberlanjutan dan efektivitas pada masa depan, berbagai langkah perbaikan perlu segera dilakukan.

Apabila sistem kapitasi dan pembayaran berbasis INA-CBG belum cukup mencerminkan kompleksitas layanan kesehatan yang sesungguhnya, perlu peninjauan ulang agar pembayaran kepada fasilitas kesehatan menjadi lebih adil dan realistis. 

Model iuran JKN sebaiknya tidak lagi menggunakan pendekatan satu tarif untuk semua, melainkan berbasis pada risiko kesehatan dan kemampuan membayar setiap individu.

Dengan begitu, prinsip keadilan dalam program ini bisa benar-benar terwujud. Penguatan layanan kesehatan primer, terutama di wilayah 3T, tak boleh luput dari perhatian. 

Pembangunan puskesmas baru dan penyediaan fasilitas penunjang yang memadai di wilayah terpencil sangat mendesak.

Untuk mendukung hal ini, pemerintah perlu memberikan insentif khusus serta jalur karier yang menarik bagi tenaga medis yang bersedia bertugas di daerah-daerah tersebut.

Sistem informasi yang terintegrasi, mudah diakses, dan ramah pengguna harus diterapkan di seluruh fasilitas kesehatan di kota besar hingga pelosok desa. 

Masyarakat juga harus diberi kemudahan mengakses informasi seputar layanan kesehatan, termasuk kepesertaan, antrean, dan rujukan melalui teknologi digital yang inklusif dan merata.

JKN harus mengubah pendekatan kuratif atau penanganan menuju pendekatan promotif dan preventif. Pencegahan penyakit melalui edukasi kesehatan, skrining dini, dan promosi gaya hidup sehat harus menjadi prioritas utama. 

JKN bukan hanya soal angka, tetapi soal harapan, keadilan, dan nyawa manusia agar tak ada lagi anak bangsa yang kehilangan masa depan, bahkan nyawa karena urusan administrasi. 

Progam ini ini harus terus diperbaiki dan diperkuat untuk Indonesia yang lebih sehat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 Juni 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)