Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: Korpri
Kab/Kota: Pasuruan
Tokoh Terkait
Virus Post-Power Syndrome
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Kamu yang sudah tua, apa kabarmu // Katanya baru sembuh, katanya sakit // Jantung, ginjal, dan encok, sedikit saraf // Hati-hati Pak Tua, istirahatlah // Di luar banyak angin.
Penggalan lirik lagu Pak Tua dari Elpamas, grup rock legendaris asal Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur, ini cukup populer pada era 1990-an.
Konon, lagu tersebut diciptakan Iwan Fals dengan nama samaran Pitat Haeng. Karya ini bernuansa satire, menyindir penguasa yang enggan turun dari panggung kekuasaan.
Banyak pihak meyakini lagu ini ditujukan kepada Presiden Soeharto yang saat itu masih berkuasa. Muatannya yang dianggap subversif sehingga lagu Pak Tua sempat dicegah dan ditangkal atau dicekal.
Pemerintah saat itu melarang lagu itu diputar di radio dan televisi nasional. Album Elpamas yang memuat lagu ini sempat ditarik dari peredaran. Meski lahir pada masa Orde Baru, makna lagu tersebut terasa masih sangat relevan hingga kini.
Banyak pejabat di tingkat nasional maupun daerah enggan melepas jabatan. Alih-alih menyerahkan tongkat estafet kepada generasi berikutnya, mereka justru berupaya mewariskan kekuasaan kepada orang-orang terdekat: anak, menantu, dan kerabat dekat.
Seorang psikolog sekaligus pakar manajemen asal Belanda, Manfred F.R. Kets de Vries, dalam European Management Journal (1994, 2003) memperkenalkan istilah retirement syndrome.
Gejala ini mirip post-power syndrome, yakni rasa cemas dan kehilangan arah hidup setelah seseorang pensiun. Akibatnya, mereka sulit melepaskan kuasa dan pengaruh yang telah lama melekat.
Ironisnya, pada era sekarang, post-power syndrome seakan-akan menjadi virus yang menyebar ke banyak kalangan, politikus hingga aparatur sipil negara (ASN).
Baru-baru ini mengemuka Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sekaligus Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakrulloh, mengusulkan perpanjangan usia pensiun ASN.
Usulan tersebut disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto melalui surat bernomor B-122/KU/V/2025 tertanggal 15 Mei 2025. Korpri meminta batas usia pensiun ASN struktural maupun fungsional dinaikkan.
Untuk jabatan manajerial, usia pensiun pejabat tinggi utama diusulkan naik menjadi 65 tahun (dari sebelumnya 60 tahun), pejabat tinggi madya menjadi 63 tahun, pejabat tinggi pratama 62 tahun, dan pejabat administrator serta pengawas menjadi 60 tahun dari sebelumnya 58 tahun.
Pada jabatan nonmanajerial, usia pensiun pejabat fungsional ahli utama diusulkan menjadi 70 tahun, ahli madya 65 tahun, ahli muda 62 tahun, ahli pertama 60 tahun, dan pelaksana menjadi 59 tahun.
Korpri beralasan perpanjangan masa kerja ini dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas ASN. Masa kerja yang lebih panjang disebut bisa memberi ruang pengembangan keahlian dan karier yang selama ini terbatas usia.
Usulan ini memicu kontroversi. Sebagian kalangan khawatir perpanjangan usia pensiun justru menghambat regenerasi ASN. Ruang bagi generasi muda yang produktif untuk mengabdi dalam birokrasi bisa tertutup.
Minat generasi muda terhadap profesi ASN tergolong tinggi. Gaji yang stabil dan di atas rata-rata UMK menjadi salah satu daya tarik utama. Yang perlu menjadi perhatian, apakah benar perpanjangan masa pensiun akan meningkatkan kinerja?
Apakah produktivitas ASN akan terdongkrak hanya karena usia kerja diperpanjang? Jangan-jangan kebijakan ini justru memperbesar beban anggaran negara.
Menurut data Kementerian Keuangan, belanja negara untuk gaji ASN dan pensiun pada 2024 mencapai Rp484,4 triliun atau sekitar 14,6% dari total APBN. Angka yang tidak kecil.
Pemerintah perlu menyikapi usulan ini dengan bijak dan menyeluruh. Harus ada pertimbangan matang, terutama menyangkut efisiensi, produktivitas, dan kebutuhan regenerasi birokrasi.
Apakah pegawai yang telah memasuki usia senja masih memiliki kapasitas dan kesehatan untuk menjalankan tugas secara optimal? Kursi empuk birokrasi dan gaji tetap yang menggiurkan bisa membuat orang terlena.
Kadang-kadang seseorang lupa masanya telah lewat dan tongkat estafet harus diberikan kepada yang lebih muda. Bangsa ini butuh gagasan segar, inovatif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman, sesuatu yang sering kali lebih mudah lahir dari generasi baru.
Kekuasaan yang dipertahankan terlalu lama sering justru menjadi bumerang. Bukan hanya menghancurkan pemiliknya, tapi juga merusak sistem yang telah susah payah dibangun.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Juni 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)