Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Garuda Indonesia
Kab/Kota: Batang, Solo, Yogyakarta
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Retrospeksi 32 Tahun Berkarya di Kanvas
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO -- Semakin banyak yang dikejar, semakin hampa yang didapat. Semakin tinggi yang ingin diraih, semakin rendah di hadapan semesta.
Kesadaran dualisme paradoksal itu melandasi kredo Setyo Budi, perupa sekaligus dosen di Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Sebelas Maret, menekuni kewajiban sebagai akademikus seni rupa sekaligus sebagai seniman.
Selama 31 tahun terakhir, Setyo Budi menjalani profesi sebagai dosen seni rupa atau pengajar seni lukis. Ia meringkas sekaligus membeberkan—dua hal paradoksal pula—perjalanan 31 tahun menjadi pengajar seni lukis itu dalam pameran tunggal bertajuk 32 Tahun di atas Kanvas.
Pameran tunggal seni lukis karya Setyo Budi itu bertempat di Natur Gallery, Jl. Cocak 1 Nomor 17C, Mangkubumen, Banjarsari, Kota Solo pada Senin hingga Minggu (9—15/6/2025). Pembukaan pameran pada Minggu (8/6/2025) dihadiri Wakil Wali Kota Solo Astrid Widayani.
Pada pengantar pameran, Setyo Budi menyebut kesadaran tentang dualime paradoksal itu membentuk pola struktur sistemik atom estetik.
Proton yang dibangun dari panggilan darma dan bakat alamiah yang diselubungi neutron hasil belajar dari estetika perjalanan hidup menggerakkan putaran atau rotasi elektron dalam bentuk penciptaan karya-karya estetik.
”Semua mengalir begitu saja. Tidak ada yang perlu dihalangi. Tidak ada yang harus dipaksakan. Pameran ini juga terselenggara dengan mengalir begitu saja. Banyak yang mendorong saya berpameran tunggal lagi setelah masuk 32 tahun berkarya di dunia akademis seni rupa dan dunia seniman,” kata Setyo dalam seremoni pembukaan pameran.
Ia mengibaratkan perjalanan hidup sebagai dosen seni rupa sekaligus sebagai seniman laksana takdir atom, bergerak untuk mencapai titik seimbang. Dalam diam ada gerak. Dalam gerak ada diam.
Sebagaimana takdir semua makhluk yang berdiam dalam putaran, berotasi pada orbit, tumbuh, dan berkembang untuk mencapai titik keseimbangan ”selesai dengan diri sendiri”.
Setyo Budi berpengalaman mengikuti lebih dari 50 pameran di berbagai tempat, yaitu pada era 1993—2025. Sebagian berupa pameran tunggal. Ini adalah bukti perjalanan Setyo yang bergerak dalam diam dan berdiam dalam gerak sebagai seniman pelukis dan akademikus seni lukis dengan karya-karya yang berbobot.
Setyo yang meraih gelar doktor di Progran Studi S3 Penciptaan dan Pengkajian Seni Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 2017 memamerkan 19 karya lukis dalam pameran tunggal di Natur Gallery itu.
Sebanyak 19 karya seni lukis, seni rupa dua dimensi, yang dia pamerkan menjadi wahana Setyo menceritakan kepada publik tentang pengajaran tata kelola seni rupa, kemurnian kehendak kreatif, kemerdekaan berekspresi, dan integritas pribadi.
Sembilan belas lukisan yang dia pamerkan tidak dalam satu konsistensi tema, teknik, aliran atau isme, dan format pakem dua dimensinya. Ia menyebut pameran yang ”beraneka ragam” itu sebagai ekspresi mendasar bahwa seni lukis bukan sekadar memanipulasi kanvas dengan warna, melainkan menawarkan ruang pengembaraan estetik yang lain.
Karya lukis yang ditampilkan dalam pameran tunggal Setyo Budi kali ini mayoritas menampilkan tema tentang perempuan. Delapan dari 19 karya bertema perempuan. Karya lainnya menampilkan kearifan lokal Jawa, pesan-pesan simbolis, petuah keluhuran, dan spiritualitas.
Kurator pameran 32 Tahun di atas Kanvas, Sigit Purnomo Adi, menyebut karya lukis Setyo Budi terlihat sangat anggun di antara karya-karya pelukis lain yang dia ketahui, cenderung perfeksionis dalam tampilan visual dan penyajian.
Lukisan karya Setyo Budi mayoritas menggunakan warna-warna lembut dan goresan halus dengan eksekusi gaya lukisan dekoratif. Karya-karya lukis Setyo Budi belakangan berkembang dengan mengusung pesan-pesan simbolis penuh makna.
Setidaknya ini bisa dimaknai pada karya Setyo berjudul Kosmologi Dewaruci (2019), Ksatria Jawa (2019), Sang Penjaga (2020), Nyali Garuda (2023), Sang Penyebar Ketupat (2024), Sang Penjaga Bumi (2024), dan Pelangi Nusantara (2024) yang ditampilkan dalam pameran 32 Tahun di atas Kanvas.
Sigit mendefinisikan karya-karya Setyo yang dipamerkan kali ini terbagi dalam empat periode. Pertama, periode atraktif. Kedua, periode ekseprimentatif. Ketiga, periode eksploratif. Keempat, periode kontemplatif.
Pada periode atraktif mayoritas lukisan Setyo berobjek perempuan beserta semua yang dia pahami tentang perempuan. Pada periode ini, Setyo menarasikan sosok-sosok perempuan dan misterinya dengan gaya surealis. Ini tren seni lukis pada era 1990-an.
Lukisan berjudul The Power of the Earth bertarikh 1993 mewakili periode atraktif dan dipamerkan di Natur Gallery. Lukisan ini terpelihara dengan sangat baik. Objek lukisan berupa perempuan yang mengambang atraktif berlatar sapuan lembut hipernaturalis.
Periode ekseperimentatif diwakili dua lukisan tentang bambu, yaitu Bambu-Bambu (2005) dan Rumpun Bambu (2005). Setyo menggunakan teknik kerok dalam membuat lukisan Bambu-Bambu.
Ia menerapkan teknik yang mengandalkan akurasi tekanan, arah, dan penguasaan bentuk. Warna hijau ”berat” pada latar belakang dua lukisan tentang bambu itu memperkuat tampilan batang bambu dan daun-daunnya.
Setyo tampak ingin mengungkapkan kearifan lewat lukisan ekseperimentatif bambu itu. Bambu sangat erat dengan kebudayaan Jawa. Bambu mengandung pesan tentang kekuatan pada kelenturan dan ruang kosong di dalamnya.
Pada periode eksploratif, Setyo mengekplorasi tokoh-tokoh Wayang Purwa, garuda, arca, dan naga. Konsep lebih terarah didukung pengalaman mengelola warna dan penguasaan bentuk. Ini tampak dalam lukisan berjudul Pradnya Paramita (2024) dan Ibu Jawa (2024).
Karya eksploratif Setyo mengubah format seni lukis yang lazimnya dua dimensi menjadi berformat kayon atau gunungan dalam pakeliran wayang kulit. Pengelolaan komposisi dan format objek lukisan menjadi tantangan tersendiri yang menggambarkan kecintaan Setyo pada budaya Jawa.
Periode kontemplatif menjadi muara dari penciptaan dan pencapaian pengalaman Setyo selama 32 tahun berkarya di kanvas. Warna-warna cerah masih muncul, tapi cenderung telah mengendap.
Lukisan berjudul Pelangi Nusantara (2024) menggambarkan posisi dan keadaan seluruh agama (keyakinan) di Indonesia dengan gradasi noktah-noktah pelangi. Noktah itu bukan sekadar titik atau warna, melainkan pencapaian kontemplatif bahwa semua diawali dari titik.
”Karya-karya Setyo Budi bukan hanya indah dan menarik secara visual, tetapi hasil dari penjabaran berbasis pengalaman hidup dan pemaknaan tentang kehidupan,” kata Sigit dalam kuratorial pameran 32 Tahun di atas Kanvas.
Sentimen: neutral (0%)