Sentimen
Undefined (0%)
2 Jun 2025 : 14.45
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Gunung, Solo, Surabaya

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Perbudakan Modern

2 Jun 2025 : 14.45 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Perbudakan Modern

Penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan pemberi kerja menarik perhatian banyak kalangan belakangan ini. Salah satu kasus adalah penahanan 108 ijazah karyawan oleh bos CV Sentosa Seal, Jan Hwa Diana, di Surabaya, Jawa Timur. 

Kasus itu bergulir di kepolisian. Diana terancam hukuman penjara sampai empat tahun. Kasus di CV Sentosa Seal ini hanyalah puncak gunung es. Kasus-kasus serupa mengemuka kemudian. Posko pengaduan penahanan ijazah yang diinisiasi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerima 36 aduan penahanan ijazah hingga Kamis (24/4/2025). 

Di Kota Solo, berdasarkan aduan yang masuk ke Dinas Tenaga Kerja, ada 24 perusahaan yang menahan ijazah karyawan. Tujuh perusahaan telah mengembalikan ijazah karyawan secara sukarela.

Ada perusahaan meminta uang tebusan Rp5 juta kepada karyawan yang mengambil ijazah mereka. Ada beragam alasan perusahaan menahan ijazah karyawan. Ada yang beralasan karyawan memiliki attitude kurang baik, tidak memenuhi kewajiban kepada perusahaan, dan sebagainya. 

Alasan lain,  sebagai jaminan agar karyawan tidak mengundurkan diri tiba-tiba atau menghilang begitu saja. Apa pun alasannya, menahan ijazah karyawan tidak bisa dibenarkan. 

Penahanan ijazah karyawan bisa dikategorikan bentuk perbudakan modern atau praktik perbudakan dalam konteks ketenagakerjaan. Ini terutama penahanan ijazah yang dipakai sebagai alat pemaksa karyawan agar tidak bisa bebas meninggalkan pekerjaan atau terikat secara tidak sah.

Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau International Labour Organization (ILO) menyatakan perbudakan mengacu pada situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, paksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan (indonesia.un.org).

Penahanan ijazah masuk kategori perbudakan karena memaksa karyawan bekerja di luar kemauan mereka. Menahan ijazah juga bisa dimaknai ancaman yang membuat karyawan takut akan konsekuensi, seperti ijazah sebagai dokumen pribadi yang penting hilang. 

Menahan ijazah karyawan membelenggu kebebasan karyawan memilih pekerjaan atau melanjutkan pendidikan yang merupakan hak. Penahanan ijazah pada akhirnya menghilangkan hak asasi seseorang. Kebebasan bekerja adalah hak asasi yang harus dilindungi. 

Dari perspektif hukum, penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 5 undang-undang ini menyatakan pekerja berhak memperoleh perlakuan yang adil tanpa diskriminasi, termasuk hak atas dokumen pribadi. 

Pasal 31 menyatakan larangan kerja paksa (forced labour) yang mencakup pembatasan kebebasan pekerja melalui penyitaan dokumen (ombudsman.go.id).

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2007 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja menekankan perusahaan harus memberikan perlindungan kepada karyawan, termasuk perlindungan terhadap dokumen pribadi.

Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh oleh Pemberi Kerja. Surat edaran ini mengatur pemberi kerja dilarang menahan ijazah sebagai jaminan bekerja.

Dalam skala yang lebih luas, penahanan ijazah bisa dikaitkan dengan pelanggaran terhadap Konvensi ILO Nomor 29 dan 105 tentang penghapusan kerja paksa dan perbudakan. 

Konvensi Kerja Paksa Nomor 29 yang diadopsi pada 1930 memuat definisi kerja paksa dan menetapkan bahwa hal tersebut harus dihukum sebagai tindak pidana. Ini adalah salah satu standar ILO yang paling banyak diratifikasi (ilo.org).

Intinya, penahanan ijazah karyawan tidak hanya melanggar aturan ketenagakerjaan, tapi juga masuk kategori perbudakan modern karena merenggut kebebasan karyawan memilih pekerjaan dan mendapat perlindungan atas hak-hak lainnya.

Ijazah adalah dokumen yang menjadi hak pribadi pemilik. Penguasaan dokumen pribadi oleh pihak lain secara paksa atau dengan ancaman bisa berimplikasi pada masalah hukum dan etika.

Perusahaan tidak boleh menahan ijazah karyawan, apalagi jika ijazah itu dijadikan alat untuk mengancam atau mengikat karyawan. Bagaimana ketika ada karyawan yang ijazahnya ditahan oleh perusahaan tempat bekerja? 

Apa yang harus dilakukan? Panik, takut, khawatir? Itu wajar, namun diam saja tanpa berbuat apa-apa juga bukan solusi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mempelajari regulasi tentang ketenagakerjaan, apa hak dan kewajiban sebagai pekerja kepada perusahaan maupun sebaliknya.

Setelah memahami aturan, jika di perusahaan ada serikat pekerja, bicaralah dengan mereka, minta dukungan, dan lakukan audiensi dengan manajemen perusahaan agar ijazah dikembalikan. 

Jika upaya secara internal melalui serikat pekerja tidak membuahkan hasil atau di perusahaan tidak ada serikat pekerja, adukan ke dinas ketenakerjaan. Munculnya kasus penahanan ijazah di sejumlah daerah membuat dinas ketenagakerjaan di daerah lebih peduli dan membuka posko aduan. 

Langkah terakhir, jika penahanan ijazah mengarah pada tindak pidana seperti pengancaman atau bahkan ijazah “disandera” dan hanya bisa diambil dengan membayar sejumlah uang, jalur hukum menjadi pilihan terbaik. 

Ada langkah-langkah kuratif atau penanganan setelah kejadian. Sebenarnya yang lebih penting adalah langkah pencegahan. Dari sisi para pencari kerja, ketika diterima bekerja, namun perusahaan mensyaratkan menyerahkan ijazah asli untuk ditahan oleh perusahaan dengan alasan apa pun, sebaiknya dipikir lagi atau mundur saja.

Perusahaan harus memiliki kesadaran mematuhi aturan yang berlaku, terutama tentang larangan menahan ijazah karyawan. Perjanjian kontrak bermeterai seharusnya cukup untuk mengikat pekerja.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Mei 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)