Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM, UII
Kab/Kota: Yogyakarta
Tokoh Terkait
Maxride Bajaj Belum Punya Izin, Dishub DIY Minta Operasional Dihentikan Dulu
Espos.id
Jenis Media: Jogja

Esposin, JOGJA – Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta menjelaskan perusahaan transportasi online Maxride ternyata belum memiliki izin. Pemerintah meminta manajemen Maxride untuk menghentikan operasionalnya di DIY.
Kepala Dinas Perhubungan DIY, Chrestina Erni Widyastuti, menegaskan Maxride sampai saat ini belum memiliki izin.
“Setelah kami klarifikasi memang belum berizin, baik izin usaha sebagai dealer, perakitan, maupun aplikator,” kata dia, Selasa (27/5/2025).
Maka Dinas Perhubungan DIY pun sudah meminta manajemen Maxride untuk menghentikan operasional sebelum mengurus perizinan.
“Kami sudah membuat suràt peringatan kepada PT Maxride dan PT Max Auto, untuk memberhentikan operasional usahanya, sampai benar-benar terbit izin usahanya,” ungkapnya.
Setelah perizinan terbit dan bisa beroperasi, sebagai kendaraan yang mengangkut penumpang, seluruh armada bajaj Maxride nantinya juga diwajibkan mengikuti uji KIR secara berkala.
“Wajib mengikuti uji KIR,” kata dia.
Adapun regulasi armada bajaj untuk transportasi online, Dinas Perhubungan DIY masih mengacu pada regulasi nasional, yakni Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 117/2018 tentang Penyelenggaran Angkutan Tidak Dalam Trayek.
Meski demikian, menurutnya moda transportasi ini tidak bisa serta-merta menjadi alternatif untuk transportasi masyarakat atau wisata.
“Karena basisnya online, sulit pengendaliannya. Meskipun di PM tersebut memungkinkan operasi di kawasan tertentu dan penentuan kawasan itu menjadi kebijakan dari Bupati/Wali kota,” katanya.
Di sisi lain, Dinas Perhubungan DIY terus mendorong pengembangan angkutan masal untuk masyarakat.
“Pemda saat ini masih tetap mendorong angkutan transformasi angkutan perkotaan menjadi angkutan massal berbasis jalan,” ungkapnya.
Trans Jogja akan dikembangkan ke arah angkutan massal, yang memiliki syarat tertentu. “Misalnya berkapasitas massal, memiliki prioritas, memiliki angkutan pendukung atau feeder, serta diarahkan untuk menjadi green transport. Feeder bisa berupa angkutan AKDP [Antar Kota Dalam Provinsi] atau Perdesaan dalam Provinsi,” ujarnya.
Belum Ada Aturan
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM yang juga Direktur Pembinaan dan Pengembangan Kewirausahaan/Simpul Tumbuh UII, Arif Wismadi, mengatakan untuk penataan transportasi online, dari sisi peraturan di level undang-undang, jika di bawah sektor perhubungan, maka saat ini belum ada tempatnya.
“Karena hanya dikenal angkutan umum dan angkutan pribadi. ‘Kreativitas’ tanpa payung hukum kuat untuk mengakomodir pada aturan di bawahnya masih terlalu bersifat teknis, sehingga belum bisa menyelesaikan persoalan fundamental untuk keberlangsungan layanan,” katanya.
Ia juga menyoroti dari sisi kesejahteraan pengemudi yang dianggap mitra tapi tertindas, karena aset yang sebenarnya merupakan beban bisnis terbesar dibebankan ke pengemudi.
“Tapi kesejahteraan pengemudi tidak diurusi oleh penyelenggara sistem,” ungkapnya.
Dalam industri tanpa kerangka hukum yang jelas seperti ini, pemerintah tidak punya kewenangan untuk berbuat banyak, sedangkan penyelenggara aplikasi tidak mau berbuat lebih.
“Artinya keberlangsungan sistem dibebankan pada pihak terlemah yaitu driver,” ujarnya.
Jika industrinya akan diperbaiki, maka perlu ada penguatan struktur industri angkutan online, dimulai dengan memperjelas kedudukan legal. Jika kerangka hukum di sektor perhubungan saat ini tidak bisa mengakomodir, maka perlu ada nomenklature baru di luar angkutan umum, dan angkutan pribadi.
“Yaitu angkutan dari dan untuk anggota. Dalam hal ini anggotanya adalah pengguna dan driver. Bentuk lembaganya adalah koperasi. Jika kedudukan hukum jelas dan kuat maka skema bisnis dengan penyedia aplikasi lebih kuat untuk mencapai kerjasama yang berkeadilan,” paparnya.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menjelaskan untuk menerapkan konsep ini, khususnya agar kedudukannya bisa diintegrasikan dengan angkutan umum makan kehadiran Maxride harus ditempatkan sebagai feeder dan penyambung dari first mile to last mile.
“Sistem harus diintergrasikan dengan Trans Jogja, sehingga ada intergrasi sistem dan layanan angkutan umum dengan angkutan dari dan untuk anggota melalui sistem koperasi,” kata dia.
Ia melihat bajaj dan angkutan terbatas lainnya seperti bentor hanya salah satu dari komponen dari enam sistem jaringan yang harus tersedia, yaitu moda angkutan. Sistem jaringan lain harus digarap bersama, yaitu sistem jaringan infrastruktur jalan, sistem informasi layanan atau aplikasi, didukung dengan sistem aturan dan kelembagaan.
“Kemudian sistem pendukung lain misalnya SPBG/SPKLU jika berbahan bakan gas atau listrik, termasuk sistem penguatan SDM di tingkat operasi yakni driver dan sistem kesejahteraannya, SDM di tingkat penyelenggaraan yakni koperasi dan operator aplikasi serta SDM di tingkat sistem yakni sektor Pembina,” ujarnya.
Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul Maxride Belum Berizin, Pemda DIY Dorong Pengembangan Angkutan Massal
Sentimen: neutral (0%)