Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: bullying, korupsi
Kesenjangan Sosial
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Belakangan ini cerita tentang kesenjangan sosial ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Di Tiktok tren kesenjangan sosial dikemas dalam video singkat yuang berisi percakapan antara dua orang.
Percakapan seputar kehidupan sehari-hari yang menunjukkan kesenjangan sosial di antara keduanya. Di Instagram, tren kesenjangan sosial diramaikan dengan aneka meme yang memuat kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu kalimat meme yang menggelitik adalah "warganya naik motor kehujanan, pejabatnya duduk nyaman di kendaraan mewah #kesenjangansosial." Orang-orang mungkin tertawa saat membaca kalimat di meme tersebut.
Kesenjangan sosial bukan sekadar konten komedi. Konten semacam ini bukan tidak serius. Di balik tawa saat melihat konten humor tersebut, ada kritik tajam yang disampaikan masyarakat dan menyentuh akar masalah.
Orang-orang mungkin akan tertawa membaca konten itu, tapi kemudian mereka berpikir tentang realitas pahit di Indonesia. Pemerintah acapkali mengumumkan pertumbuhan ekonomi yang positif.
Bagi banyak orang, kondisi itu tidak terasa dalam kehidupan sehari-hari. Banyak warga menghadapi realitas sulit mendapat pekerjaan. Pendidikan semakin tak terjangkau. Biaya hidup semakin mahal. Angan-angan bisa membeli hunian layak semakin jauh.
Kesenjangan sosial adalah kondisi ketidaksetaraan atau ketimpangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Kondisi ini menciptakan perbedaan signifikan antara kelompok masyarakat yang satu dengan lainnya yang dapat menyebabkan ketidakadilan dan konflik sosial.
Meme tersebut lucu dan menghibur, namun ada pesan mendalam di baliknya. Meme itu mencerminkan realitas ketimpangan sosial di masyarakat.
Konten itu menjadi sarana mengekspresikan pandangan mereka terhadap kondisi sosial sekaligus menunjukkan media sosial dapat menjadi cerminan realitas sosial dan alat menyuarakan ketidakpuasan terhadap kesenjangan.
Patrick Davison (2012) menyebut meme yang memuat lelucon merupakan bagian budaya yang muncul di Internet dan ditransmisikan secara online.
Kemunculan meme bukan hanya dilihat sebagai bentuk baru ekspresi, tetapi juga menjadi bentuk baru seni (art), menjadi artefak kebudayaan, dan tentu saja sebagai komoditas konten yang diproduksi dan dikonsumsi.
Meme kesenjangan sosial yang sedang tren adalah realitas sosial-siber yang muncul dari interaksi komunikasi para pengguna Internet. Layaknya di dunia nyata, di dunia virtual teks menjadi pesan yang dipertukarkan.
Pesan itu menjadi inti komunikasi manusia melalui komputer yang melibatkan khalayak dalam konteks tertentu dengan maksud tertentu pula hingga membentuk budaya baru yang disebut budaya siber (cyber culture).
Budaya siber diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan melalui jaringan Internet yang juga membentuk jaringan antarpengguna. Tidak mengherankan apabila budaya siber yang muncul di media sosial pada dasarnya bisa ditarik dan ditelusuri dari dunia nyata, seperti pada topik kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial menjadi ekspresi sindiran dengan simbol kondisi ekonomi lemah. Cara mengungkapkan cukup halus melalui perumpamaan yang tidak langsung mendiskriminasi.
Hal ini menunjukkan guyonan kesenjangan sosial menggambarkan karakter orang Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya. Warga berusaha menampilkan kesenjangan sosial dalam bentuk simbol.
Ketika seseorang menggunakan bahasa sindiran bernada humor, tidak akan terlihat merendahkan orang lain. Alih-alih disebut bullying dan kekerasan simbolik, topik kesenjangan sosial justru menghadirkan percakapan jenaka atau humor yang disukai masyarakat.
Terlepas dari tren, meme kesenjangan sosial yang ramai diperbincangkan di media sosial perlu mendapat perhatian yang serius. Meski dibungkus dengan cara yang menghibur, topik ini menyentil kenyataan bahwa perbedaan status sosial kerap menjadi sekat yang membuat seseorang merasa minder atau canggung.
Di Indonesia, masalah kesenjangan sosial masih menjadi tantangan besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), gini ratio per September 2024 tercatat sebesar 0,388, naik dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 0,379.
Gini ratio adalah indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan. Semakin tinggi angkanya, semakin lebar pula jurang antara kelompok kaya dan miskin.
Ketimpangan ini bisa dengan mudah dilihat, bahkan tanpa harus pergi ke pelosok. Ada banyak hal yang membuat kesenjangan sosial di Indonesia masih sangat terasa, antara lain, pembangunan infrastruktur belum merata hingga praktik korupsi di semua sektor kehidupan.
Tingginya angka kemiskinan juga memperlebar jurang ketimpangan, yang dipengaruhi banyak faktor, seperti terbatasnya kesempatan kerja, tantangan di sektor ekonomi, hingga masih kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar di beberapa wilayah.
Salah satu alasan komedi bertema kesenjangan sosial diminati adalah karena faktor kedekatan pengalaman (relatability). Banyak orang merasa saat melihat konten itu tebersit pikiran,"Wah, ini persis seperti yang saya alami."
Melalui penyajian yang ringan dan menghibur, konten bertopik kesenjangan sosial membuka mata bahwa perbedaan gaya hidup benar-benar ada di sekitar kita, bahkan di antara teman dekat atau pasangan sendiri.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Mei 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)