Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Solo
Anak-anak Dikepung MBDK
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Saya masih teringat obrolan dengan seorang anak berusia 10 tahun tentang keseharian di sekolah. Obrolan kami tentang konsumsi anak itu dalam keseharian, khususnya berkaitan dengan minuman berpemanis dalam kemasan.
Saya terkejut dan heran ketika anak tersebut bercerita setiap hari dia membeli minuman kopi dalam kemasan. Selain minuman kopi dalam kemasan, anak tersebut juga membeli susu dan teh dalam kemasan yang harganya sangat terjangkau, yaitu Rp1.000 hingga Rp3.000 rupiah.
Minuman bermanis dalam kemasan atau MBDK sangat banyak tersedia di sekitar anak-anak era kiwari. Dari obrolan tersebut saya mencoba melihat produk yang dikonsumsi anak tersebut.
Label yang tertera dalam produk tersebut salah satunya menunjukkan kandungan gula. Label itu menunjukkan bahwa kandungan gula yang terdapat pada minuman kopi dalam kemasan adalah 15 gram, sedangkan susu dalam kemasan memiliki kandungan gula 22 gram.
Ketika seorang anak mengonsumsi dua produk minuman berpemanis dalam kemasan tersebut artinya anak mengonsumsi 37 gram gula. Jumlah tersebut belum termasuk kandungan gula dalam karbohidrat, buah, atau makanan lain yang juga dikonsusmsi anak itu.
Yang jelas makanan dan minuman lain yang dikonsumsi anak-anak juga sangat mungkin mengandung gula sehingga sangat memungkinkan konsumsi gula pada anak itu dalam sehati di atas 37 gram.
Kementerian Kesehatan merekomendasikan anak-anak berusia dua tahun hingga 18 tahun mengonsumsi gula 25 gram atau sekitar lima sendok teh dalam sehari. Fakta yang saya temukan ada seorang anak mengonsumsi gula lebih dari 37 gram sehari.
Hal tersebut dapat menggambarkan besarnya kuantitas gula pada minuman berpemanis dalam kemasan yang dikonsumsi oleh anak setiap hari. Konsumsi gula berlebih oleh anak-anak berdampak negatif pada kesehatan mereka.
Studi literatur yang dilakukan Bleich dan Vercammen (2018) menunjukkan bukti yang kuat dampak minuman berpemanis dalam kemasan terhadap kesehatan anak. Dampak kesehatan tersebut adalah berupa risiko obesitas, karies gigi, resistensi insulin, serta kecanduan.
Studi lain menunjukkan konsumsi gula berlebih dapat menyebabkan sindrom metabolisme, penyakit kardiovaskular, dan kanker. Kondisi kesehatan seperti obesitas dan karies gigi juga dapat berdampak pada kondisi psikologis dan sosial anak-anak seperti stigma tentang berat badan, isolasi sosial, depresi, rendahnya kepercayaan diri, dan prestasi belajar yang rendah.
Jika hal ini dibiarkan, konsekuensi ini akan berdampak negatif pada ekonomi negara akibat penurunan produktivitas masyarakat serta tingginya biaya pertanggungan perawatan penyakit yang terkait dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan dan gula yang berlebih (Phulkerd, 2020).
Oleh karena itu, muncul pertanyaan sejauh mana pemerintah hadir melindungi hak anak-anak sebagai konsumen dari produk-produk industri berupa minuman berpemanis dalam kemasan yang tinggi gula dan miskin nutrisi tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan itu kita harus mengetahui definisi minuman berpemanis dalam kemasan dan data tentang konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives atau CISDI (2022) mendefinisikan minuman berpemanis dalam kemasan sebagai segala produk minuman yang memiliki kandungan zat berpemanis, baik gula alami maupun buatan, dalam segala bentuk (cair, bubuk, konsentrat) maupun jenis (teh, susu, soda, dan sebagainya).
Naik 15 Kali
Data CISDI (2022) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan meroket 15 kali lipat dari berjumlah lima juta liter pada tahun 1996 menjadi 405 juta liter pada tahun 2014.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan terdapat 34,15% rumah tangga di Indonesia yang mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan pada tahun 2021.
Miniriset yang dilakukan Yayasan Kakak pada 2025 menunjukkan bahwa sembilan dari 11 anak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan lebih dari tiga kali dalam sepekan.
Tingginya angka konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan tersebut sangatlah mengkhawatirkan sebab anak-anak rentan terhadap dampak kesehatan. Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan terdapat 25,9% anak berumur di bawah 17 tahun meminum minuman berpemanis dalam kemasan setiap hari.
Ada beberapa alasan anak-anak adalah kelompok yang rentan terhadap dampak kesehatan dari minuman berpemanis dalam kemasan. Pertama, kemudahan akses anak terhadap minuman berpemanis dalam kemasan.
Seperti cerita seorang anak pada awal naskah ini, minuman berpemanis dalam kemasan hadir dengan harga yang sangat murah, yaitu Rp1.000 hingga Rp10.000. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kakak menemukan anak-anak dapat dengan mudah mengakses minuman berpemanis dalam kemasan yang tersedia secara bebas di kantin sekolah, warung dekat rumah, dan di minimarket.
Iklan di televisi dan media sosial juga memainkan peran penting dalam tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di kalangan anak-anak. Industri minuman berpemanis menggunakan berbagai cara yang kreatif dan menarik untuk mengenalkan produk kepada anak-anak.
Konten iklan tersebut sering menyebut manfaat kesehatan dari konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan, seperti halnya pada iklan susu dan minuman sari buah, padahal nutrisi yang disampaikan dalam iklan tersebut tidak sepadan dengan asupan gula yang terkandung dalam produk minuman itu.
Preferensi anak terhadap rasa manis juga menjadi faktor banyak anak yang mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Konsumsi gula dapat memicu pengeluaran dopamin di dalam otak yang dapat menyebabkan anak mengalami kecanduan gula.
Gejala kecanduan inilah yang membuat anak-anak memiliki preferensi terhadap rasa manis dan meningkatkan kuantitas konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan setiap hari. Orang tua juga memainkan peran penting dalam memperkenalkan dan menyediakan minuman berpemanis dalam kemasan.
Studi yang dilakukan Peppas et al., (2023) menunjukkan bahwa orang tua dengan pengasuhan permisif memiliki pengawasan yang longgar terhadap minuman yang dikonsumsi anak sehari-hari.
Hal tersebut yang membuat anak-anak dengan bebas membeli dan mengonsumsi produk minuman berpemanis dalam kemasan. Selain itu, kurangnya kesadaran orang tua terhadap bahaya minuman berpemanis dalam kemasan membuat mereka juga mengonsumsi minuman itu yang membuat orang tua menjadi contoh bagi anak untuk mengonsumsi pula.
Regulasi pemerintah terhadap minuman berpemanis dalam kemasan juga menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi minunan ini di kalangana anak-anak, termasuk di Kota Solo.
Hingga saat ini belum ada aturan tentang pembatasan produk minuman berpemanis dalam kemasan sehingga produk ini dapat dibeli secara bebas dan murah di pasar. Wacana pemberlakuan cukai terhadap produk minuman berpemanis dalam kemasan belum juga direalisasikan oleh pemerintah.
Pemerintah abai terhadap bahaya yang ditimbulkan dari konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Jika aturan tersebut tidak segera diberlakukan, potensi bahaya yang ditimbulkan dari konsumsi minuman jenis ini akan semakin besar dan tentu saja akan menjadi beban bagi pemerintah.
Ada tambahan beban bagi pemerintah untuk membiayai pengobatan penyakit yang berhubungan dengan minuman berpemanis. Bahaya yang dihasilkan dari tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan oleh anak-anak sudah sepantasnya menjadi alarm pengingat untuk semua pihak.
Perilaku konsumsi minuman berpemanis pada anak-anak jika dipandang dari teori sistem ekologi Bronfenbrenner adalah manifestasi dari normalisasi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di lingkungan tempat anak-anak tinggal.
Mikrosistem dan Makrosistem
Pengendalian minuman berpemanis dalam kemasan harus dimulai dari mikrosistem atau unit terkecil lingkungan tempat anak-anak tinggal, yaitu lingkungan keluarga dan sekolah. Keluarga menjadi ujung tombak penting dalam melindungi anak dari konsumsi berlebih minuman berpemanis.
Orang tua seharusnya mengawasi makanan dan minuman yang dikonsumsi anak-anak. Anak-anak seharusnya mengonsumsi makanan yang sehat serta memenuhi gizi yang dibutuhkan oleh mereka.
Orang tua seharusnya menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dengan tidak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan dan mengenalkan atau mengajarkan anak untuk terbiasa mengonsumsi minuman yang sehat.
Orang tua juga memiliki tugas melakukan edukasi kepada anak berkenaan dengan bahaya yang ditimbulkan dari minuman berpemanis dalam kemasan. Keluarga yang memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik terhadap dampak buruk dari minuman berpemanis adalah pilar utama terwujudnya generasi masa depan yang sehat.
Selain itu, peran lingkungan dan eksosistem juga penting dalam mengatur konsumsi anak atas minuman berpemanis dalam kemasan. Sekolah berperan mengatur pilihan kudapan dan minuman yang boleh diperjualbelikan di sekolah.
Sekolah juga menjadi tempat untuk anak belajar tentang dengan dampak negatif yang dihasilkan dari minuman berpemanis dalam kemasan. Media massa bertanggung jawab memberikan informasi yang benar tentang minuman berpemanis dalam kemasan.
Layaknya rokok, minuman berpemanis dalam kemasan sepantasnya memiliki aturan yang sama tegas terkait dengan konten iklan yang akan disebarluaskan melalui media tersebut.
Lapisan makrosistem juga memiliki peran dalam pengendalian minuman berpemanis dalam kemasan. Pada lapisan ini, pihak yang paling efektif dan bertanggung jawab mengatasi masalah minuman berpemanis dalam kemasan adalah negara melalui hukum yang mengatur peredaran minuman jenis ini.
Pengendalian minuman berpemanis dalam kemasan melalui regulasi cukai terhadap produk-produk tinggi gula dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengendalikan konsumsi minuman berpemanis pada anak-anak karena akhirnya anak-anak tidak mudah membeli produk minuman berpemanis dalam kemasan.
Penelitian CISDI menunjukkan bahwa pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan dapat menurunkan angka kematian secara signifikan akibat penyakit diabetes melitus tipe dua dalam rentang waktu 10 tahun.
Penerapan cukai dapat menghemat lebih dari Rp40 triliun beban ekonomi yang dihasilkan dari komplikasi penyakit diabetes melitus tipe dua. Jika semua pihak mengambil dan melakukan peran masing -masing, anak-anak mendapatkan jaminan kesehatan sehingga tumbuh optimal menuju Indonesia emas.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Mei 2025. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada)
Sentimen: neutral (0%)