Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kasus: korupsi, nepotisme
Partai Terkait
Tokoh Terkait

Wawan Wardiana
Perilaku Koruptif di Dunia Pendidikan, Komisi X DPR Soroti Minimnya Nilai Kejujuran Nasional 27 April 2025
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2024/06/11/6667e66f9a1bb.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Perilaku Koruptif di Dunia Pendidikan, Komisi X DPR Soroti Minimnya Nilai Kejujuran Tim Redaksi JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian menilai pendidikan di Indonesia masih fokus pada capaian akademik saja. Sementara itu, nilai kejujuran dan tanggung jawab masih kurang. Hal ini merespons temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Survei Penilaian Integritas (SPI) yang menemukan perilaku koruptif di lingkungan pendidikan. "Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan kita masih terlalu menitikberatkan pada capaian akademik semata, sementara nilai kejujuran dan tanggung jawab. Nampaknya, belum sepenuhnya tertanam kuat dalam diri siswa maupun mahasiswa," kata Hetifah kepada Kompas.com, dikutip Minggu (27/4/2025). Hetifah menilai temuan KPK mengenai masih maraknya perilaku koruptif di dunia pendidikan, seperti menyontek , plagiasi, dan perilaku koruptif lainnya, merupakan peringatan bagi semua pihak. Temuan ini, kata Hetifah, harus menjadi peringatan serius dan evaluasi bagi dunia pendidikan di Tanah Air. "Hal ini harus menjadi bahan evaluasi, bukan hanya bagi pemangku kepentingan bidang pendidikan, tetapi bagi kita semua terhadap sistem pendidikan nasional, terutama dalam aspek pembentukan karakter, integritas, dan etika peserta didik," ujarnya. Politikus Partai Golkar ini menilai, guru, dosen, dan pemerintah, harus memperkuat pendidikan karakternya secara menyeluruh. Menurutnya, penguatan ini tidak hanya melalui kurikulum formal, tetapi juga melalui keteladanan, iklim sekolah dan kampus yang sehat. Termasuk sistem evaluasi yang tidak melulu berbasis nilai ujian. Selain itu, guru dan dosen perlu menanamkan nilai integritas dalam proses pembelajaran. "Fenomena ini adalah peringatan bahwa kita tidak hanya perlu mencetak generasi cerdas, tetapi juga generasi yang jujur dan bertanggung jawab," lanjut Hetifah. Di sisi lain, keluarga dan masyarakat juga harus mengambil peran. Hetifah menilai orangtua harus menanamkan nilai kejujuran sejak dini. Orangtua juga diminta tidak hanya menuntut anak untuk berprestasi secara akademik, tetapi juga mendukung proses belajar yang sehat dan bermakna. "Masyarakat harus menjadi mitra aktif sekolah dan kampus dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang menjunjung tinggi nilai moral, karena keberhasilan pendidikan sejati bukan hanya diukur dari nilai di atas kertas, tetapi dari karakter yang terbentuk," sambungnya. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI), integritas pendidikan tahun 2024 berada di angka 69,50 atau masuk dalam posisi koreksi. Adapun skor tersebut turun dari skor SPI 2023 yang berada di angka 71. "Indeks Integritas Pendidikan Nasional tahun 2024 69,50 berada di level koreksi atau bermakna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan, meski implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal," kata Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam acara peluncuran SPI Pendidikan di Gedung C1 KPK, Jakarta, Kamis (24/4/2025). Wawan mengatakan terdapat beberapa temuan dari hasil SPI Pendidikan 2024, baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Pertama, terkait kejujuran akademik, menunjukkan bahwa 78 persen sekolah dan 98 persen kampus masih ditemukan kasus menyontek. "Kasus plagiarisme masih ditemukan pada guru/dosen di satuan pendidikan, yaitu kampus (43 persen), sekolah (6 persen)," ujarnya. Terkait ketidakdisiplinan akademik, menunjukkan bahwa 69 persen siswa masih ada guru yang terlambat hadir ke sekolah, dan 96 persen mahasiswa menyatakan masih ada dosen yang terlambat ke kampus. Bahkan disebut juga, 96 persen kampus dan 64 persen sekolah masih ada dosen/guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Terkait gratifikasi, ada 30 persen dari guru/dosen dan 18 persen kepala sekolah/rektor masih menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai hal yang wajar untuk diterima. "65 persen sekolah ditemukan bahwa orang tua siswa terbiasa memberikan bingkisan atau hadiah kepada guru saat hari raya atau kenaikan kelas," kata dia. Kemudian, ada 43 persen sekolah dan 68 persen kampus yang menentukan vendor pelaksana/penyedia barang dan jasa berdasarkan relasi pribadi. Pengadaan/pembelian barang dan jasa dilakukan secara kurang transparan, dengan persentase sebanyak 75 persen sekolah dan 87 persen kampus. Terkait penggunaan Dana BOS , sebanyak 12 persen sekolah menggunakan dana BOS tidak sesuai peruntukkannya. Di antaranya, 17 persen sekolah masih ditemukan pungutan terkait dana BOS; 40 persen sekolah masih ditemukan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa atau proyek; dan 47 persen sekolah masih melakukan penggelembungan biaya penggunaan dana lainnya. Selain itu, hasil survei menunjukkan 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dari sekolah dalam penerimaan siswa baru. "Pungutan lain juga ditemukan dalam pungli pengajuan sertifikat dan pengajuan dokumen di sekolah dan kampus," ucap dia. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (44.4%)