Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM
Kab/Kota: Yogyakarta
Atasi Krisis Hidrologi di DAS Ciliwung, Ini Saran dari Pakar UGM
Liputan6.com
Jenis Media: Regional
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4023147/original/097874500_1652603780-20220515-wisata-mengenalkan-alam-di-Sungai-Ciliwung-ARBAS-3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Liputan6.com, Yogyakarta - Kombinasi deforestasi di hulu, urbanisasi tak terkendali di wilayah tengah dan hilir, serta lemahnya pengawasan terhadap pelanggaran tata ruang menurut Dosen Fakultas Kehutanan UGM Hatma Suryatmojo menjadi penyebab krisis hidrologi di DAS Ciliwung. Hatma yang juga Pemerhati Sumber Daya Hutan menyebut deforestasi di kawasan hulu seperti Puncak dan Cisarua sudah mengurangi kapasitas daerah tangkapan air, sementara alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman, pertanian intensif, dan kawasan wisata memperburuk degradasi.
Hatma menjelaskan, tutupan hutan dan vegetasi alami hanya tersisa sekitar 9,7% dari total luas DAS yang berperan penting dalam peresapan air dari angka ambang ideal 30%. Justru sebaliknya, wilayah terbangun sudah mencapai sekitar 72% dari seluruh kawasan DAS.
“Dampak dari minimnya area resapan sangat nyata, setiap musim hujan, air hujan tidak lagi meresap ke dalam tanah melainkan langsung melimpas ke permukaan. Sungai Ciliwung menjadi jalur utama limpasan tersebut, menyumbang sekitar 32% dari total volume banjir di Jakarta,” katanya, Senin (21/4/2025).
Tidak hanya banjir, kini kondisi lingkungan di sepanjang DAS Ciliwung juga menghadapi krisis kualitas air. Sebab, sungai Ciliwung menanggung beban pencemaran tinggi dari limbah domestik dan sampah. Data menunjukkan beban biochemical oxygen demand (BOD) mencapai sekitar 54 ton per hari, sementara daya tampung sungai hanya sekitar 9,3 ton. “Kondisi ini menjadikan DAS Ciliwung tidak hanya kritis secara hidrologis, tetapi juga secara ekologis dan kesehatan masyarakat,” terang Hatma.
Memang sudah berbagai kebijakan dilakukan seperti normalisasi sungai, pembangunan bendungan kering, dan reforestasi. Namun, berbagai upaya-upaya ini masih bersifat parsial dan cenderung teknis. “Solusi jangka panjang harus berbasis pada pendekatan ekosistem. Rehabilitasi hutan di hulu, restorasi sempadan sungai, serta pengendalian tata ruang secara ketat adalah langkah yang wajib dilakukan,” paparnya.
Hatma memberikan catatan cara pendekatan pemerintah daerah yang terlalu reaktif terutama saat musim hujan. Apalagi setiap tahun, melalui BMKG melakukan teknologi modifikasi cuaca dengan menyemai garam ke awan untuk mengurangi hujan di Jakarta. “Saya kira ini langkah jangka pendek yang bersifat kosmetik dan tidak menyelesaikan akar masalah,” ujarnya.
Hatma menyebut bahwa sisi manajemen bencana dengan keempat fase penanggulangan banjir dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan masih lemah. Sementara normalisasi sungai dan pembangunan infrastruktur belum menyentuh penyebab utama, sementara sistem peringatan dini dan respon masyarakat masih minim. “Pada akhirnya, banjir datang lagi, dan pemulihan hanya bersifat sementara,” imbuhnya.
Hatma mengajak seluruh pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor swasta untuk terlibat aktif dalam pengelolaan DAS Ciliwung secara kolaboratif dan berkelanjutan. “Tanpa pendekatan konservasi yang menyeluruh dan penegakan regulasi yang tegas, risiko banjir akan terus meningkat dan dampaknya terhadap masyarakat hilir akan semakin berat,” ujarnya.
Sentimen: negatif (99.2%)