Sentimen
Negatif (97%)
18 Mar 2025 : 18.06
Informasi Tambahan

Institusi: Kogabwilhan

Kab/Kota: Pati

Partai Terkait

ISDS Terbitkan Policy Paper Revisi UU TNI, Penambahan Usia Pensiun Berefek Negatif ke TNI - Halaman all

18 Mar 2025 : 18.06 Views 51

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Nasional

ISDS Terbitkan Policy Paper Revisi UU TNI, Penambahan Usia Pensiun Berefek Negatif ke TNI - Halaman all

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Strategic and Defence Studie (ISDS) menerbitkan policy paper bertajuk Revisi UU TNI Perlu Orientasi Jangka Panjang menyikapi proses revisi UU TNI yang saat ini tengah bergulir di DPR.

Kelompok studi yang terdiri dari para ahli dan jurnalis yang berfokus pafa bidang strategi dan pertahanan di Indonesia itu mencatat wacana yang mengemuka dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 (UU 34/2004) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diniatkan untuk menciptakan profesionalisme TNI.

Namun yang terjadi, menurut ISDS, substansi dari daftar inventarisasi masalah (DIM) masih berorientasi pada jangka pendek.

ISDS memandang kebutuhan untuk menjadikan TNI yang profesional terutama menghadapi dinamika lingkungan strategis serta perkembangan teknologi yang mempengaruhi kompleksitas dinamika ancaman perlu lebih diakomodasi dalam revisi UU 34/2004 ini.

Narasi yang disampaikan baik Menteri Pertahanan maupun Panglima TNI, menurut ISDS, tidak sinkron dengan isi revisi UU No. 34/2004.

ISDS mencatat pasal-pasal yang direvisi tidak terlihat mencerminkan upaya peningkatan kemampuan TNI walaupun persepsi ancaman konvensional dan nonkonvensional, siber, asimetris dan hibrida disebutkan sebagai dasar perubahan UU TNI dan upaya TNI mengantisipasi perang multilateral.

Menurut ISDS unsur antariksa dan siber tidak diakomodasi secara signifikan dalam revisi tersebut.

Siber tercatat hanya masuk ke dalam salah satu elemen Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Padahal, dalam perang modern, siber telah menjadi bagian dari operasi militer.

Menurut ISDS TNI membutuhkan kerangka hukum untuk pembangunan kekuatan siber yang komprehensif.

Beberapa negara bahkan telah membentuk angkatan siber dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.

Soal antariksa juga tidak disebutkan sama sekali, padahal berbagai perkembangan perang modern menunjukkan pentingnya kemampuan ruang angkasa yang terkait dengan C5ISR.

C5ISR adalah Pusat Komando, Kontrol, Komunikasi, Komputer, Siber, Intelijen, Pengawasan, dan Pengintaian.

"ISDS mengapresiasi Komisi I yang menghapus kalimat 'serta Kementerian/lembaga lain 
yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden' di pasal 47 yang sebelumnya tercantum dalam draft dari Baleg DPR RI," kata Co-Founder ISDS, Dwi Sasongko saat dikonfirmasi pada Selasa (18/3/2025).

"Hal tersebut membuat kepastian terkait wilayah sipil yang bisa dimasuki TNI," lanjut Dwi.

Namun, RUU TNI ini tidak banyak menunjukkan perubahan signifikan dari sisi kelincahan dan ruang adaptasi TNI dalam perang modern yang saat ini banyak melibatkan sipil terutama terkait teknologi mutakhir.

Hal itu terlihat dari Pasal 7 sampai 10 tentang tugas pokok angkatan TNI.

Hal yang terjadi, justru revisi UU TNI terkesan hanya ingin mewadahi perwira tinggi (pati) TNI mendapatkan posisi empuk dan masa pengabdian lebih lama.

ISDS melihat perubahan paling krusial dalam UU 34/2004 ini adalah Pasal 53 yang memperpanjang usia pensiun.

Selama ini, kebijakan personalia di TNI belum diinstitusionalisasikan.

Faktor subjektif masih sangat dominan, serta aturan yang kerap berubah.

Idealnya, menurut ISDS, kebijakan promosi ada jalur yang jelas dan rekrutmen yang standar.

Akibatnya, timbul stagnasi di level kolonel dan pati, sementara jumlah bintara hingga letkol kurang.

"Menurut catatan ISDS, per akhir 2023, ada perwira tinggi nonjob minimal 120 orang, dan kolonel minimal 310 orang. Perpanjangan jabatan akan memperparah bottle neck atau stagnasi karir perwira. Apalagi,  terjadi kekosongan di struktur di bawahnya sehingga berbagai struktur di dalam organisasi TNI kosong," kata Dwi.

"Dalam konteks ini, memperpanjang usia pensiun malah akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Penyusunan UU TNI pada 2004 yang meningkatkan usia pensiun karena kepentingan sesaat berefek pada stagnasi karier di TNI," lanjut dia.

Hal itu terjadi dalam jangka beberapa tahun ke depannya, karena jumlah pati dan perwira menengah (pamen) menumpuk akibat penambahan masa pensiun.

Jika sudah begitu, menurt ISDS apalah artinya pangkat jenderal jika tidak punya jabatan.

Berbagai argumen yang diajukan untuk mendukung penambahan batas usia TNI seperti Putusan Mahkamah Konstitisi (MK) yang open legal policy, peningkatan harapan hidup, penyamaan dengan usia pensiun Polri dan ASN dan keinginan serta kemampuan untuk mengabdi tidak terlihat terkait langsung dengan profesionalisme dan kapabilitas militer.
 
"Militer membutuhkan tuntutan fisik dan mental yang berbeda dengan ASN, sementara mengabdi pun bisa dilakukan di luar TNI," kata Dwi.

ISDS juga memandang berbagai aspek yang perlu jadi pertimbangan terkait penambahan usia pensiun karena akan berefek negatif pada organisasi TNI ke depannya.

Stagnasi tersebut mengakibatkan penambahan anggaran rutin terutama pada komponen Belanja Pegawai dan Belanja Barang.

Berdasarkan data yang dimiliki ISDS, potensi kebutuhan tambahan anggaran yang diperlukan perpanjangan usia pensiun tahun 2025 sejumlah 6.679 personel dari Tamtama hingga Pati Bintang 4 adalah sebesar Rp 412 miliar.

Tergerusnya anggaran TNI untuk anggaran rutin, menurut ISDS akan mengurangi anggaran pembangunan kekuatan militer.

Walapun niat untuk meningkatkan anggaran pertahanan hingga di atas 1,5 persen GDP sudah lama disampaikan pemerintah, realitanya baru bisa terpenuhi di bawah 1 persen GDP.

Itu pun lebih dari 55% digunakan untuk biaya rutin seperti gaji.

Angka tersebut, menurut ISDS, akan bertambah setiap tahun seiring dengan pertambahan jumlah anggota TNI yang diperpanjang usia pensiunnya.

Selanjutnya, stagnasi akan membuat TNI menjadi organisasi yang kurang adaptif terhadap perkembangan global dan teknologi terbaru.

Selama ini, TNI membuat beberapa solusi untuk menyalurkan stagnasi tersebut, seperti Kogabwilhan, Kodam, dan berbagai satuan lain.

Namun, ISDS melihat ada dua masalah penting dalam penyaluran tersebut.

Pertama, organisasi baru yang dibentuk walaupun mengakomodir jabatan kolonel dan pati, ada kekurangan personal yang massif di tingkat prajurit dan perwira hingga letkol.

Akibatnya, berbagai organisasi tidak diisi utuh seperti satuan-satuan teritorial di perbatasan pun baik Darat, Laut, Udara hanya terpenuhi antara 50 sampai 70% sehingga menurunkan kinerja.

Kedua, organisasi yang dibentuk hanya bertujuan untuk menampung perwira non job, bukan untuk fungsi pertahanan.

Solusi lain adalah penempatan pati dan kolonel untuk penugasan ke kementerian dan lembaga negara dengan syarat mengundurkan diri atau pensiun.

Dari sisi hubungan sipilmiliter, hal ini tentu menjadi langkah positif.

Tentunya dengan catatan punya kompetensi dan lulus mekanisme yang ditetapkan.

"Akan tetapi, solusi ini tidak menjawab masalah dari hulu ke hilir untuk TNI," kata Dwi.

Lepas dari revisi UU TNI, TNI dipandang seharusnya lebih serius membenahi sistem personalianya mulai dari rekrutmen, seleksi kenaikan pangkat hingga pensiun.

ISDS memandang rencana Panglima TNI untuk melaksanakan Ikatan Dinas Pertama (IDP) dan Ikatan Dinas Lanjutan (IDL) secara konsisten bisa menjadi salah satu solusi di hulu.

Akan tetapi, solusi di akhir masa jabatan tidak komprehensif.

Perlu ada solusi di tingkat rekrutmen dan selama masa karir.

Perlu dicatat, kebijakan tentang tentang IDP dan IDL telah punya dasar legal berupa Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 (PP 39/2010) dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 27 Tahun 2012 (Permenhan 27/2012).

"Sayangnya, pelaksanaannya sangat minim. Yang jelas, stagnasi di level kolonel dan pati massif 20 tahun belakangan ini," kata Dwi.

ISDS memandang IDP dan IDL bisa menjadi mekanisme jalan keluar bagi prajurit TNI yang memang tidak memenuhi kualifikasi.

Namun, perlu dipersiapkan juga pembekalan kemampuan agar prajurit TNI tersebut memiliki ‘modal’ untuk berkarya di luar TNI dengan kapasitas dan kemampuannya.

Selanjutnya, stagnasi bisa mengakibatkan demotivasi dari perwira-perwira muda dan kompetisi yang tidak sehat.

"Hal tersebut berakibat buruk pada organisasi militer karena persaingan menjadikan TNI tidak kohesif dan efektif, serta rentan dipolitisasi," kata Dwi.

4 Rekomendasi

Untuk itu, ISDS mengemukakan setidaknya empat rekomendasi.

Pertama, tidak menambah usia pensiun TNI bagi pati.

Penambahan usia pensiun bintara dan tamtama masih layak untuk dikaji.

"TNI dan Kementerian Pertahanan diharapkan membuat sistem personalia yang lebih komprehensif," kata Dwi.

Kedua, mengurangi usia pensiun TNI disertai dengan mekanisme exit plan yang bisa menopang para prajurit dan perwira TNI untuk bisa berkarya maksimal sebagai purnawirawan.

Misalnya, ketika seorang perwira tidak lulus 3 kali Sesko, dalam setahun ia harus pensiun dini.

"Ketika seorang pati bintang 1 atau 2 selama tiga tahun tidak mendapat job atau naik pangkat, harus pensiun," ungkap Dwi.

Ketiga, perlu ditelaah lebih lanjut perubahan pasal 3 UU TNI, apakah memiliki bahaya politisasi TNI.

Mengingat kebijakan strategi pertahanan termasuk pengadaan, pemeliharaan dan pengadaan dan sumber daya nasional akan akan ditangani Kementerian Pertahanan yang dipimpin pejabat politik.

"Keempat, menambahkan substansi yang terkait dengan perkembangan organisasi TNI ke depan terkait kemampuan siber, kerja sama dengan sipil baik pribadi maupun swasta, serta kemampuan Antariksa," pungkas Dwi.

Sentimen: negatif (97%)