Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Moskow, Tel Aviv, Tiongkok, Washington
Partai Terkait
Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali - Halaman all
Tribunnews.com
Jenis Media: Internasional

Analis Militer Israel: Trump Pimpin Koalisi Preman, Netanyahu Potensial Dikadali
TRIBUNNEWS.COM - Israel saat ini bisa jadi tengah dihinggapi euforia dan kepercayaan diri tinggi menghadapi berbagai front peperangan seiring dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS).
Namun, analis militer Israel, Nahum Barnea, mengingatkan, Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, potensial terperangkap oleh sosok yang sejauh ini dia sanjung-sanjung, Presiden AS, Donald Trump.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di media Israel, Yedioth Ahronoth, Barnea menggambarkan Donald Trump sebagai pemimpin "koalisi preman" atau "aliansi penjahat".
Menurutnya, koalisi para preman ini terdiri dari Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping.
Barnea beralasan, ketiga sosok pemimpin negara kaya ini berupaya untuk, "Menggambar ulang lingkup pengaruh global menurut visi yang didasarkan pada kekuasaan dan ekspansi, jauh dari nilai-nilai demokrasi tradisional."
Sayangnya, kata Barnea, pemerintah Israel kini mendapati dirinya menjadi bagian dari aliansi ini.
"Israel menjadi bagian dari koalisi preman ini karena diuntungkan oleh pendekatan yang dilakukan Trump dalam mengelola politik internasional, tetapi Barnea juga memperingatkan bahwa Israel mungkin dikhianati oleh perilaku Trump yang tidak menentu," tulis Khaberni, mengulas analisis Barnea di Yedioth Ahronoth, dikutip Rabu (5/3/2025).
ZELENSKY DIUSIR - Tangkapan layar YouTube The White House menunjukkan momen di mana Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden AS Donald Trump terlibat adu mulut di Ruang Oval Gedung Putih, Jumat (28/2/2025). Setelah terjadi adu mulut itu, Zelensky 'diusir' oleh Trump untuk segera meninggalkan Gedung Putih. (Tangkapan Layar YouTube The White House) Trump dan Aliansi Kekuasaan, Insiden Penghinaan Zelensky
Barnea mengatakan kalau apa yang terjadi di Amerika Serikat sejak pemilu terakhir adalah "revolusi" yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam politik Amerika.
Hal itu, kata dia, karena Trump sedang mengatur ulang prioritas, nilai-nilai, dan kebijakan, melewati aturan tradisional dalam hubungan dalam dan luar negeri.
Trump yang mengusung tagline 'Make America Great Again', digambarkan menabrak semua aturan dan etika dalam pemerintahan baik di lingkup nasional maupun internasional.
"Barnea menunjukkan, lembaga politik Amerika dan juga masyarakat internasional berada dalam keadaan terguncang karena pendekatan (pola dan cara) Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata ulasan tersebut.
Sang analis militer mengemukakan dua teori untuk menjelaskan perilaku presiden AS tersebut saat ini.
"Sebagian percaya bahwa gerakannya (Trump) yang keras hanyalah taktik negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan yang lebih baik, sementara yang lain percaya bahwa ia (Trump) sedang membawa Amerika dan dunia menuju bencana, dan mungkin menuju perang dunia ketiga," kata Barnea dari ulasan tersebut.
Barnea mencontohkan pertemuan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Trump di Gedung Putih, yang dianggapnya sebagai penghinaan yang disengaja.
Menurut CNN, ketika Trump menyambut Zelensky keluar dari mobilnya dengan mengenakan seragam militernya yang biasa presiden Ukraina itu kenakan, Trump dengan sinis berkomentar kepada wartawan, "Lihat dia, dia datang dengan menyamar."
"Tidak berhenti di situ, Zelensky pun ditanyai pertanyaan-pertanyaan yang mengejek tentang pakaiannya, kemudian ia dihina oleh Trump dan wakilnya, JD Vance, sebelum ia diusir dari Gedung Putih, dan tiba-tiba dikeluarkan dari jamuan makan siang yang dijadwalkan," ulas Barnea.
Berdasarkan dua teori yang diajukannya, analis militer itu mencoba menjelaskan konsekuensi dari posisi Trump terhadap Zelensky, dengan mengatakan, "Bagi sebagian orang, reaksi presiden Ukraina - yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan menyanjung Trump dan menyusun rencana gencatan senjata baru - merupakan bukti bahwa semua itu hanyalah taktik negosiasi."
"Namun bagi yang lain, episode itu merupakan tanda jelas bahwa Trump mengkhianati sekutu tradisionalnya, yang menimbulkan kekhawatiran di Eropa dan kegembiraan di Moskow," kata Barnea.
Selama ini, AS dan Eropa, khususnya NATO, dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan, hal yang kini penuh keraguan atas metode yang dilakukan Trump dalam memimpin AS.
Guna memperjelas betapa hipokritnya AS di bawah kepemimpinan Trump saat ini, Barnea menunjukkan kalau miliarder Elon Musk -sosok pendukung utama Trump- mengunggah sebuah tweet yang menyerukan pembubaran NATO, dengan bertanya, “Ketika Amerika dan Rusia sepakat, siapa yang butuh NATO?”
Barnea yakin bahwa cara Trump memperlakukan Zelensky menyampaikan pesan yang jelas kepada sekutu Washington, bahwa: "Dukungan Amerika tidak terjamin, dan bisa menguap kapan saja."
Barnea menjelaskan bahwa perilaku ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan Trump dalam mengelola kebijakan luar negeri AS.
"Karena ia (Trump) berupaya memaksakan dirinya sebagai poros utama dalam menentukan masa depan aliansi internasional," kata Barnea.
PASUKAN ISRAEL - Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English) Israel Bagian dari "Koalisi Preman"
Barnea mengadopsi teori kalau Trump berusaha membentuk "koalisi preman' yang mencakup Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, di mana negara-negara adidaya tersebut membagi wilayah pengaruh di dunia menurut persamaan kekuatan dan bukan hukum internasional.
Menurut visi ini, menurut Barnea, “Putin akan mendapatkan Ukraina dan mungkin negara-negara Baltik, presiden Tiongkok akan menginvasi Taiwan, sementara Trump mungkin berusaha menguasai Greenland.”
Ia juga meramalkan kalau Uni Eropa “akan menyusut atau runtuh, dan partai-partai sayap kanan akan mengambil alih Eropa, sehingga memudahkan Trump dan Putin untuk berbagi kendali atasnya, sebuah skenario yang menakutkan bagi negara-negara seperti Jerman dan Prancis yang masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip tradisional Uni Eropa.”
Barnea yakin kalau Israel dapat dengan mudah berintegrasi ke dalam "dunia baru" ini, dengan mengatakan, "Trump menghormati kekuasaan (kekuatan), yang saat ini berada di tangan Israel, dan menghormati kendali atas wilayah, yang juga dikuasainya. Ia juga membenci nilai-nilai demokrasi tradisional, hak asasi manusia, dan keadilan, yang juga telah menjadi bagian dari pendekatan pemerintah Israel."
Analis militer ini menegaskan bahwa pemerintah Israel bertindak saat ini dengan keberanian yang belum pernah terjadi sebelumnya, melewati batas merah yang berlaku pada masa jabatan presiden Amerika sebelumnya, baik dari Partai Republik maupun Demokrat.
Analisis Barnea tersebut mengindikasikan kalau pemerintah Benjamin Netanyahu saat ini sedang mengeksploitasi dukungan tanpa syarat dari pemerintahan Trump pada tahap ini untuk memaksakan fakta di lapangan, yaitu sebagai berikut:
Pelanggaran perjanjian yang disepakati Israel dalam kerangka kesepakatan pertukaran tahanan dengan Hamas. Memelihara lokasi militer dan keberadaan pasukan IDF di dalam wilayah Suriah dan secara terbuka menyatakan kalau pasukan Israel akan tetap berada di sana selamanya. Israel mengancam akan campur tangan dalam konflik antara rezim Suriah dan komunitas Druze di Jaramana, meskipun kedua pihak menolak intervensi Israel. Mempertahankan posisi militer di Lebanon meskipun ada perjanjian gencatan senjata. Ribuan warga Palestina diusir dari kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, termasuk wilayah dalam "Area A" Otoritas Palestina. Mencegah masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Meninggalkan tahap kedua negosiasi kesepakatan pertukaran tahanan, yang menghasilkan pembebasan 59 tahanan, baik yang hidup maupun yang telah meninggal.
Harus digarisbawahi, rentetan hal-hal di atas berisiko besar terhadap situasi perang menyeluruh di kawasan.
Israel yang saat ini terlena dalam buaian AS dengan dukungan penuhnya, bisa jadi terjebak dalam pusaran konflik yang kesemuanya menjadikannya sebagai 'target bersama' alias common enemy.
NETANYAHU DAN TRUMP - Foto ini diambil pada Senin (10/2/2025) dari publikasi resmi YouTube The White House pada Jumat (7/2/2025), memperlihatkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) dan sekutunya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump (kanan), berbicara kepada wartawan di Gedung Putih. (YouTube The White House) Dukungan yang Tidak Pasti
Meskipun pendekatan Trump ini tampaknya bermanfaat bagi Israel dalam jangka pendek, Barnea memperingatkan kalau “dukungan yang diberikan Trump sama sekali tidak terjamin,” dengan mencatat bahwa “Zelensky mengira ia mendapat dukungan Trump, tetapi ia menemukan bahwa dukungan ini dapat berubah menjadi penghinaan yang tiba-tiba.”
Ia menambahkan, "Netanyahu mengikuti apa yang terjadi pada presiden Ukraina, dan mungkin ia merasa khawatir bahwa situasi tersebut dapat terjadi lagi kepadanya kapan saja, dan oleh karena itu ia bergegas untuk memaksakan lebih banyak fakta di lapangan di Gaza, Tepi Barat, Suriah, dan Lebanon untuk mengantisipasi perubahan mendadak posisi Trump."
Barnea bertanya-tanya tentang risiko yang dihadapi Israel dengan menggambarkan, "Apakah Israel telah menaruh semua telurnya dalam satu keranjang dengan bertaruh sepenuhnya pada Trump?"
Dalam situasi perjudian itu, Barnea memperingatkan Israel bahwa setiap perubahan mendadak dalam suasana politik AS dan Trump dapat membuat Tel Aviv menghadapi dilema yang tak terduga.
Barnea menegaskan kalau "tidak adanya kesamaan nilai di antara para 'teman' membuat pengkhianatan menjadi masalah waktu," seraya menekankan kalau "Netanyahu sangat menyadari kalau suasana hati sahabat karibnya (Trump) dapat berubah setiap saat, yang mendorongnya untuk mempercepat langkah-langkah pencegahannya sebelum terlambat."
Barnea juga menekankan kalau sejarah telah membuktikan kalau aliansi yang didasarkan pada kepentingan jangka pendek sering kali runtuh pada ujian serius pertama.
Dia memperingatkan, "Israel tidak tahu seperti apa suasana hati sahabat terbesarnya (AS) besok."
(oln/YA/khbrn/*)
Sentimen: negatif (100%)