Sentimen
Positif (100%)
28 Jan 2025 : 13.20
Informasi Tambahan

Grup Musik: Naif

Institusi: UNPAD

Kasus: Teroris

Partai Terkait

Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran Nasional 28 Januari 2025

28 Jan 2025 : 13.20 Views 4

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Januari 2025

Memanusiakan Orang Papua Sejak dari dalam Pikiran Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan. JIKA kita amati secara mendalam kehidupan dan perkembangan di Papua , dari berbagai sisi, kita akan mendapati daerah yang sangat jauh tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di belahan Nusantara ini, alih-alih dibandingkan dengan Jakarta. Sebagai pengamat dan peneliti dan juga sering ke Bumi Cendrawasih, menyaksikan kondisi tersebut, terkadang terbesit di dalam alam pikiran saya untuk mencoba memahami mengapa pada akhirnya konflik dan pemberontakan di Papua muncul dan tidak juga kunjung selesai. Namun, lebih dari sekadar memahami hadirnya resistensi yang berkelanjutan di sana, saya justru jauh lebih tertarik untuk memikirkan opsi-opsi perdamaian yang permanen antara Jakarta dan para pihak yang telah dianggap sebagai ‘pemberontak atau teroris’ di Papua tersebut, ketimbang berpikir sebaliknya. Artinya, setiap masalah sejatinya adalah sebab dan solusinya. Sehingga tidak mungkin masalah di Papua tidak jelas sebabnya di satu sisi dan tidak bisa diselesaikan di sisi lain. Setiap masalah, tentu ada solusi yang pas dan tepat, jika diagnosa atas persoalan dilakukan secara jujur dan objektif, pun dengan niat yang tulus untuk menyelesaikan masalah. Lantas apa penyebab fundamentalnya dan mengapa solusi sekaligus strategi yang diambil selama ini tak juga berimbas positif terhadap penyelesaian persoalan di Papua? Dalam hemat saya, kita semua, termasuk pemerintah, sebenarnya memahami secara prinsipil masalah di Papua adalah masalah keadilan, tentunya keadilan dari berbagai sisi, yang belum juga hadir di sana. Sejak Papua pertama kali berhasil dirangkul sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecenderungan Jakarta memandang Papua tak lebih dari lahan eksploitasi di satu sisi dan daerah di mana “orang-orang terbelakang” harus didikte untuk menjadi maju seperti yang diinginkan oleh Jakarta di sisi lain. Dari cara pandang awal ini saja, sejatinya Jakarta sudah tidak adil terhadap Papua. Unsur dasar dari keadilan sudah tercederai sebelum keadilan tersebut bisa dihadirkan sebagai substansi kebijakan dari Jakarta. Karena adagium awal dari keadilan, sebagaimana kita semua telah memahaminya, adalah bahwa keadilan harus dimulai dari dalam pikiran. Dan sejarah membuktikan bahwa Indonesia bahkan belum mampu untuk bersikap adil terhadap Papua sedari dalam pikiran, alih-alih dalam kenyataan. Dengan kata lain, bahkan sampai hari ini, Papua di mata para elite di Jakarta, baik sipil maupun militer, adalah daerah di mana sumber daya alamnya bisa dikeruk untuk sebesar-besarnya keuntungan Jakarta. Untuk mewujudkan itu, dianggap rakyatnya bisa diakal-akali dengan berbagai macam cara dan gaya serta pendekatan, elite-elite lokalnya dianggap bisa diikat dengan berbagai macam perjanjian tidak adil, budayanya seolah-olah dihargai dan dianggap unik, tapi sekaligus dibiarkan terbelakang, dan semua itu diasumsikan harus dipastikan realisasinya di bawah “pengawalan” strategi-strategi perang ala militer. Model berpikir terhadap Papua semacam ini, diakui atau tidak, menjadi perkara awal mengapa urusan Papua terkesan tak pernah bisa selesai, karena dilihat dari sisi manapun, model relasi yang dibangun atas logika-logika tak adil di atas akan berujung kemarahan, resistensi dan bahkan perlawanan. Sebodoh-bodohnya manusia dan masyarakat, jika diperlakukan tak adil, tentu pada satu titik akan melawan, sekalipun dalam bentuk yang paling rendah, yakni dalam bentuk kebencian yang disimpan di dalam hati. Celakanya, di saat perkara Papua yang tak pernah selesai tersebut, upaya pengerukan atas sumber daya alamnya, tanahnya, hutannya, dan segala sumber ekonomi yang ada di sana terus saja berlangsung ibarat tak peduli dengan kondisi lapangan yang ada. Lahannya terus saja dikavling berdasarkan “kalkulator” Jakarta, sumber daya alam yang terkandung di dalamnya pun demikian, tidak terkecuali sumber daya kehutanan dan perikanannya sekalipun. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam beberapa tulisan tentang Papua sebelumnya, pendekatan keamanan ( security approach ) sekaligus pendekatan “Jakarta Centric” yang telah dijalankan oleh pemerintah selama ini justru memperumit persoalan, memperpanjang jalan menuju kehadiran keadilan di Papua. Sehingga, semakin panjang jalan untuk menciptakan keadilan, maka akan semakin suram jalan menuju kedamaian di tanah Papua. Sesederhana itu sebenarnya urusannya. “If you want peace, work for justice”, kata Pope Paul IV. Dengan kata lain, jika tidak mampu menghadirkan keadilan, maka jangan pernah berharap akan hadir kedamaian dan perdamaian di Papua. Kondisi tersebut kemudian menjadi semakin rumit dan “complicated” ketika berbaur dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek dari oknum-oknum elite, baik di pusat maupun di daerah, yang akan tetap terjaga dengan baik selama konflik tetap bertahan di bumi Papua. Boleh jadi, para pihak ini dengan sengaja dan dengan segala cara menyuarakan pendekatan keamanan sebagai satu-satunya pendekatan terbaik, yang secara substantif sebenarnya hanya untuk menjaga kepentingan jangka pendek yang telah mereka nikmati di balik keberlanjutan konflik di Papua selama ini. Pertanyaannya kemudian; jika asumsi itu benar demikian, mengapa cara pandang Jakarta terhadap Papua senaif itu selama ini? Hemat saya, jawaban awalnya sangatlah sederhana, karena Jakarta tak pernah menganggap orang Papua setara dengan orang Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau orang dari pulau lainnya di Indonesia. Jakarta masih menganggap orang Papua terbelakang, sekaligus bodoh dan mudah untuk diakali. Padahal sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, Orang Papua sebenarnya menyadari bahwa mereka sedang dibodoh-bodohi. Namun, karena proses pemiskinan yang terstruktur dan dalam jangka waktu yang lama di Papua, peluang dan kapasitas mereka untuk menyampaikan dan menyuarakan dirinya akhirnya menjadi sangat terbatas. Sehingga yang tersisa hanya ungkapan yang sering kita dengar belakangan di Papua, yakni “Sa bodoh, tapi sa tau”. Cara pandang yang “kurang manusiawi” terhadap orang Papua menyebabkan opsi pendekatan dialogis dan interaktif menjadi tidak layak lagi di mata elite-elite di Jakarta. Pasalnya, kegagalan Jakarta untuk “memanusiakan orang Papua” membuat Jakarta merasa jauh lebih tinggi dan lebih “pintar” sekaligus lebih “beradab” dibanding orang Papua. Hal itu memunculkan anggapan awal yang fatal bahwa dialog tidak perlu dilakukan, karena posisi kedua pihak dianggap tidak setara, tidak equal , seolah-olah orang Papua bukanlah manusia. Sangat disayangkan cara pandang kolonial semacam itu masih tetap dipakai sampai hari ini. Bahkan dalam beberapa kesempatan off the record , saya mendengar cerita beberapa pihak yang mengisahkan bagaimana oknum-oknum elite memunculkan pernyataan-pernyataan yang tidak terlalu membedakan orang Papua dengan “makluk nonmanusia”, yang dianggap bisa diperlakukan sesuai keinginan orang Jakarta di satu sisi dan didikte sesuai dengan kepentingan-kepentingan oknum-oknum elite tertentu di Jakarta dan di daerah Papua di sisi lain. Sebagai contoh, jika bukan karena cara pandang yang demikian, tidak mungkin lahir wacana “dua juta hektare lahan” untuk ketahanan gula di Papua. Pertanyaan sederhananya, atas dasar apa wacana tersebut bisa lahir, sementara orang Papua sendiri tidak pernah ditanya atau diajak bicara tentang hal itu. Berapa banyak manusia Papua yang akan direlokasi dan dicerabutkan dari lahannya, jika itu benar-benar terwujud, tak pernah terpikirkan oleh pembuat wacana tersebut. Mengapa ada wacana yang menyembunyikan logika seolah-olah Jakarta bisa dengan mudah mengatakan bahwa urusan dua juta hektare lahan di Papua adalah urusan sepele dan mudah, tanpa terlebih dulu berkonsultasi dengan masyarakat Papua? Bukankan akhirnya wacana semacam itu terasa sangat naif, yang menunjukkan secara vulgar bagaimana sebenarnya pemerintah dan para elite di Jakarta memandang orang Papua. Saya cukup yakin bahwa Jakarta tentu tak mau dipersalahkan atas berkelanjutannya konflik di Papua, seolah-olah tak ada jalan penyelesaian selain dengan senjata dan pendekatan keamanan. Saat ini, tentu masalahnya sudah bukan lagi soal siapa yang salah, tapi apa langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang ada di Papua. Bukan berarti tak dibutuhkan kehadiran militer di sana, karena di mana pun daerah konflik di dunia ini, tentu membutuhkan kehadiran militer. Masalahnya bukan terletak di sana tentunya, tapi terletak pada cara pandang awal dan pendekatan yang dilahirkan dari cara pandang tersebut, yang saya yakin juga membutuhkan kehadiran militer pada akhirnya. Artinya, selama Jakarta masih belum mampu memandang orang Papua sebagai manusia layaknya manusia-manusia dari pulau lain, termasuk layaknya orang-orang di Jakarta, maka selama itu pula pendekatan keamanan akan dianggap sebagai satu-satunya cara penyelesaian persoalan di Papua. Nahasnya dengan cara pandang ini adalah bahwa Indonesia, utamanya Jakarta, akan terperangkap selamanya dengan pendekatan yang sama sekali belum mampu membuahkan perdamaian di Papua, yakni pendekatan keamanan. Senaif itukah Indonesia memandang Papua, sehingga tak pernah mampu, bahkan untuk mencoba memikirkan cara yang jauh lebih manusiawi dalam memandang dan memperlakukan orang Papua, sehingga bisa berujung pada pendekatan yang jauh lebih manusiawi dan bersahabat? Keadilan di Papua, bagaimanapun, seharusnya tidak sepenuhnya hasil pendefinisian dari orang Jakarta, apalagi jika pendefinisian tersebut lahir dari arogansi ke-Jakarta-an yang berlebihan. Adil menurut Jakarta, selama ini terbukti tidak adil menurut orang Papua. Karena itulah konflik tak pernah menemukan titik damai. Lagi-lagi penyebabnya adalah ketidakmampuan Jakarta dalam memosisikan orang Papua setara dengan orang Jakarta di satu sisi dan ketidakberhasilan Jakarta dalam memanusiakan orang Papua secara utuh dan adil di sisi lain. Awal mulanya memang dari sana, yakni di dalam diri elite-elite Jakarta sendiri, justru bukan dari orang Papua. Papua hanya pelengkap penderita selama ini, karena terlanjur dipandang tidak layak untuk berada pada posisi “pembuat definisi keadilan” untuk Papua sendiri. Jadi pendeknya, dalam hemat saya, menghadirkan cara pandang yang adil terlebih dahulu, sebelum berusaha untuk berbuat adil untuk Papua, adalah poin paling penting dalam penyelesaian masalah Papua. Jika Jakarta tidak mampu memanusiakan orang-orang Papua layaknya manusia-manusia lain di negeri ini, maka selama itu pula masalah Papua akan terus berkelanjutan tanpa jelas juntrungan penyelesaiannya. Dan selama itu pula sebenarnya Jakarta sedang mengingkari keadilan yang sebenarnya. Masalahnya, Jakarta tak selamanya bisa mengendalikan pergerakan isu di tingkat global, katakanlah di PBB, terkait dengan posisi OPM dan organisasi sejenis di Papua. Apalagi situasi geopolitik dunia terlihat semakin tak pasti dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, jangan sampai Indonesia terlambat dalam mengubah cara pandang, pendekatan, dan strategi dalam menyelesaikan masalah Papua ini, karena tak ada yang benar-benar mengetahui kapan situasi geopolitik dunia akan berpindah dukungan kepada kelompok-kelompok yang dianggap teroris dan pemberontak di Papua. Karena itu, cara pandang, pendekatan, dan strategi yang lebih sesuai dengan asas keadilan dan kemanusiaan semestinya segera dimulai. “Justice delayed is justice denied," kata Martin Luther King Jr. Menunda-nunda perwujudan dan realisasi keadilan di Papua, yang sejatinya harus dimulai sejak dalam pikiran orang-orang di Jakarta, maka selama itu pula sebenarnya Indonesia dan Jakarta sedang mengingkari keadilan itu sendiri, tentunya keadilan terkait dengan masalah penyelesaian di Papua. Dan selama itu pula keadilan tidak akan pernah ikut memelihara kita sebagai negara bangsa. Karena sejatinya keadilan adalah penjaga Indonesia yang hakiki sebagai sebuah negara bangsa. Karena sebab itulah mengapa keadilan diletakan pada sila kelima oleh para pendiri bangsa kita. Nah, selama keadilan sulit diwujudkan, selama itu pula berbagai ancaman dan masalah sedang menanti kita sebagai bangsa. “If we do not maintain justice, justice will not maintain us," kata Filosof Francis Bacon. Dan saya cukup yakin, logika keadilan yang sama juga berlaku bagi Papua. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: positif (100%)