Sentimen
Undefined (0%)
8 Jan 2025 : 13.55
Partai Terkait
Tokoh Terkait

Selamat Tahun (Pajak) Baru!

8 Jan 2025 : 13.55 Views 8

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Selamat Tahun (Pajak) Baru!

Menjadi kebiasaan di mana-mana tiap awal pergantian tahun selalu diwarnai dengan perayaan, kembang api, makan-makan, dan hal lain yang menyenangkan. 

Suasananya penuh euforia, keceriaan, membahagiakan. Pergantian tahun sering dimaknai memasuki fase baru dalam hidup yang lebih menyenangkan, padahal kenyataannya tidak sepenuhnya demikian.

Terlebih pada 2025 ini. Sulit bagi saya untuk bisa bersenang-senang setelah mengetahui sejumlah kebijakan baru pemerintah. Yang paling disorot adalah soal kenaikan pajak, baik itu pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak kendaraan bermotor. 

Langsung terbayang betapa biaya hidup semakin berat. Pada awal 2025 pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% dari sebelumnya 11%. Memang kenaikannya hanya 1%, tapi multiplier effect, dalam konteks negatif, lebih besar daripada itu. 

Saya rasa bukan cuma saya yang khawatir harga barang-barang dan jasa akan naik, ada 230,41 juta warga negara Indonesia dari kalangan ekonomi menengah ke bawah memiliki kecemasan yang sama.

Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 82,87% dari total penduduk Indonesia yang berada di kelompok ekonomi menengah ke bawah. Perlu dicatat bahwa jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. 

Ini menunjukkan ada pergeseran ke kelompok ekonomi yang lebih rendah. Pemerintah berulang kali menyatakan kenaikan PPN jadi 12% hanya diterapkan untuk barang mewah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut sangat limited. Biar begitu, muskil rasanya kenaikan PPN itu tidak akan berdampak pada orang-orang di kelas menengah ke bawah.

Setelah dibuat tak tenang dengan kenaikan PPN, masyarakat juga harus dibebani kenaikan pajak pendaraan bermotor (PKB) dan biaya balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Mulai 5 Januari 2025, pemerintah akan menerapkan kebijakan opsen PKB dan opsen BBNKB. 

Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu yang dikenakan atas pajak terutang. Kebijakan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). 

Tujuannya mempercepat penyaluran pajak. Dengan opsen, bagian kabupaten/kota atas PKB dan BBNKB dapat diterima secara langsung tanpa mekanisme bagi hasil yang memakan waktu. 

Selain itu, opsen memberikan sumber penerimaan langsung bagi kabupaten/kota, memperkuat postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)

Nominal opsen PKB sebesar 66% dari PKB terutang. Meski pemerintah juga menurunkan tarif PKB dari maksimal 2% menjadi maksimal 1,2% dari nilai jual kendaraan bermotor untuk kepemilikan pertama, tetap saja opsen itu membuat uang yang harus dikeluarkan masyarakat untuk PKB meningkat.  

Bagi yang belum paham perhitungan opsen PKB 66%, misalnya Anda memiliki sepeda motor seharga Rp20 juta maka tarif PKB-nya adalah 1,2% x Rp20 juta=Rp240.000. Nilai opsennya adalah Rp240.000 x 66%=Rp158.400. Jadi, PKB yang harus Anda bayar adalah Rp240.000 + Rp158.400=Rp398.400.

Opsen sangat berpotensi meningkatkan tunggakan PKB. Tingkat kepatuhan pembayaran PKB di Indonesia pada 2023 dan 2024 bervariasi di setiap daerah, namun secara umum masih berada di bawah angka yang diharapkan. 

Hingga September 2023, tingkat kepatuhan masyarakat membayar PKB mencapai 51,99%. Di Jawa Tengah, pada 2023 piutang PKB mencapai Rp628 miliar, meningkat dari Rp440 miliar pada tahun sebelumnya. 

Jika pada akhirnya opsen PKB justru semakin membuat tunggakan pajak meningkat, tujuan kebijakan ini sulit dicapai. Seperti menjauhkan panggang dari api. Pada kondisi ekonomi saat ini, kenaikan pajak jelas bukan kebijakan yang populis dan menimbulkan kontroversi. 

Bagi pekerja pabrik tekstil seperti PT Sritex yang dihadapkan pada situasi sulit, kenaikan pajak pasti semakin memukul mereka. Sejak era Presiden Joko Widodo, efektivitas pengelolaan anggaran pemerintah terus didorong agar tidak muncul banyak kebocoran. 

Ketimbang menaikkan pajak, mengelola anggaran agar lebih efektif dan efisien merupakan pilihan yang masuk akal pada situasi seperti sekarang. Upaya mengefektifkan anggaran juga masih jauh dari harapan. Kebocoran dan pemborosan anggaran masih terjadi.   

Pada akhirnya, kenaikan pajak—baik PPN maupun PKB—menunjukkan pemerintah tengah berpacu meningkatkan penerimaan negara di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh. Patut dipertanyakan, apakah strategi ini adalah keputusan yang tepat waktu?  

Di atas kertas, tujuan peningkatan pendapatan pajak adalah untuk memperkuat ekonomi daerah dan memastikan pembangunan berjalan lebih merata. Dalam praktik, beban pajak yang semakin besar justru bisa menekan daya beli masyarakat, memicu lonjakan harga barang, dan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi.  

Kebijakan ini seolah-olah meminta rakyat kecil "mengencangkan ikat pinggang" lebih erat lagi, sementara banyak masalah struktural—seperti efisiensi anggaran, kebocoran pajak, atau bahkan pengelolaan yang kurang transparan—masih menjadi pekerjaan yang belum terselesaikan.  

Jika kebijakan pajak seperti ini terus dilanjutkan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mayoritas penduduk, bukan tidak mungkin kita akan melihat dampak ekonomi yang lebih luas: konsumsi turun, daya beli melemah, dan roda ekonomi bergerak lebih lambat.  

Di tengah ketidakpastian global dan tekanan ekonomi yang begitu kuat, kebijakan fiskal semestinya menjadi jaring pengaman, bukan beban tambahan yang membuat rakyat semakin terimpit. Tahun baru seharusnya membawa harapan, bukan justru lembaran baru dari beban yang semakin berat.  

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Januari 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)