Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Pilkada Serentak
Institusi: UIN
Kab/Kota: Gowa
Kasus: korupsi, Uang palsu
Tokoh Terkait

Anwar Ibrahim
Uang Palsu dan Politik Gelap
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Dunia akademis heboh gara-gara Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menjadi tempat produksi uang palsu. Salah seorang aktor penting adalah kepala perpustakaan perguruan tinggi Islam (PTI) terbesar di Indonesia Timur itu, yaitu Dr. Anwar Ibrahim.
Kasus memalukan ini terkuak pada 14 Desember 2024. Polda Sulawesi Selatan menahan 17 orang yang diduga terlibat dalam kasus tersebut, salah seorang di antara mereka seorang aparatur sipil negara (ASN) UIN Alauddin (selain kepala perpustakaan) dan karyawan bank BUMN di Makassar.
Mesin cetak canggih pembuat uang palsu seharga Rp600 juta rupiah made in China berada di gedung perpustakaan. Ditaruh dekat toilet laki-laki. Perpustakaan adalah ruang membaca dan belajar mahasiswa serta dosen yang ramai.
Banyak pengunjungnya. Bukan hanya civitas academica. Kaum intelektual dan masyarakat umum juga mengunjungi perpustakaan itu.
Dalam konferensi pers di Markas Polres Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Desember 2024, Kepala Polda Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Polisi Yudhiawan Wibisono mengungkapkan para tersangka yang terlibat dalam pembuatan dan peredaran uang palsu 17 orang.
Latar pekerjaan mereka berbeda-beda. Polisi menyita sejumlah barang bukti pembuatan uang palsu di Gedung Perpustakaan UIN Alauddin, yaitu satu unit mesin cetak uang, 738 lembar kertas bergambar uang pecahan Rp100.000 emisi 2016 (belum dipotong), dan 397 lembar kertas uang Rp100.000 lainnya.
Polisi juga menyita lembar surat berharga negara (SBN) bernilai triliunan rupiah dan ratusan lembar uang palsu Korea Selatan dan Vietnam. Para tersangka dijerat dengan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Para tersangka terancam pidana paling lama 10 tahun hingga penjara seumur hidup serta denda maksimal Rp 10 miliar. Pengedar uang palsu terancam hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Makna Kasus
Pembuat uang palsu nekat dan tidak takut ketahuan civitas academica dan publik. Ini mengindikasikan kemungkinan banyak oknum civitas academica tahu dan terlibat dalam kasus memalukan itu.
Wajar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Alauddin berdemonstrasi di depan gedung rektorat menuntut mundur rektor Prof. Hamdan Juhannis M.A, Ph.D. Sebagai orang pertama di UIN Alauddin, rektor jelas tidak bisa cuci tangan.
Perlu dicatat, dalam birokrasi kesalahan bawahan adalah tanggung jawab atasan. Jika hal semacam itu terjadi di Jepang, rektor pasti mengundurkan diri. Orang Jepang konsisten. Entah orang Indonesia.
Yang menarik, polisi mengendus uang palsu tersebut akan dipakai untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada). Salah seorang tersangka akan mencalonkan diri seagai bupati di pilkada Kabupaten Barru.
Tak ada partai politik yang mendukung sehingga pencalonan itu batal. Kepala Polda Sulawesi Selatan tak menjelaskan apakah uang palsu itu sudah dipakai untuk membiayai pilkada yang lain.
Yang jelas, produksi dan pemakaian uang palsu, terutama yang berjumlah besar, tali temali dengan kegiatan politik. Tak hanya itu. Uang palsu akan "membunuh'" rakyat dan pengusaha mikro.
Mereka tertipu. Uang milik mereka tak bisa dipakai untuk transaksi jual beli. Rakyat dan pengusaha kecil tak punya alat detektor uang palsu sehingga mudah jadi korban pengedar uang palsu.
Politik
Politik dan uang palsu memiliki hubungan yang sangat kompleks, tapi saling terkait. Berikut ini adalah beberapa mekanisme yang menghubungkan pemalsuan uang dengan politik.
Pertama, pembiayaan gelap (political corruption). Pemalsuan uang bisa digunakan sebagai cara membiayai kampanye politik atau untuk membayar suap dalam politik.
Uang palsu dapat digunakan mendanai kegiatan politik secara ilegal tanpa terdeteksi karena tidak melibatkan transaksi resmi yang tercatat. Hal ini sering kali terkait dengan korupsi dalam pemerintah atau partai politik.
Kedua, inflasi buatan dan ekonomi politik. Negara atau pemerintah tertentu dapat memutuskan mencetak uang dalam jumlah besar (yang terkadang bisa berujung pada pemalsuan) untuk membiayai proyek besar atau kebijakan politik mereka.
Negara tak peduli inflasi. Ini sering terjadi di negara yang memiliki pemerintahan tidak stabil atau otoriter. Uang palsu atau uang berlebih dicetak untuk memenuhi kebutuhan politik jangka pendek, meskipun hal ini dapat merugikan ekonomi rakyat.
Ketiga, destabilisasi ekonomi negara. Dalam beberapa kasus, pihak-pihak tertentu dapat memalsukan uang untuk menyebabkan destabilisasi ekonomi di negara tertentu sebagai bagian dari strategi politik.
Kelompok politik atau negara lain dapat mencetak uang palsu untuk merusak sistem keuangan suatu negara, menciptakan ketidakpercayaan terhadap mata uang negara tersebut, dan memicu krisis ekonomi atau politik.
Keempat, manipulasi opini publik dan legitimasi pemerintah. Dalam beberapa kasus, pemalsuan uang dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah politik yang lebih besar atau untuk menciptakan ilusi kestabilan ekonomi.
Pemerintah yang berkuasa mungkin memanipulasi jumlah uang yang beredar untuk memberikan kesan bahwa ekonomi mereka stabil dan berkembang, meskipun kenyataannya ekonomi tersebut sedang menghadapi kesulitan serius.
Secara keseluruhan, pemalsuan uang—apalagi dalam jumlah sangat besar—jelas terkait dengan politik dan kekuasaan. Pemalsuan ini bisa dilakukan negara untuk memberikan citra bahwa "negara" banyak uang. Ini biasanya dilakukan pemimpin otoriter yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Jurnalis Norwegia, Mikal Hem, dalam buku Kiat Menjadi Diktator menceritakan Robert Mugabe, Presiden Zimbabwe, mencetak mata uang dolar Zimbabwe demikian banyak untuk menyenangkan rakyatnya agar mendukung dia.
Celakanya, alih-alih mendukung Mugabe, rakyat marah karena terjadi gigainflasi jutaan persen. Dolar Zimbabwe tak ada harganya. Pada 2018, misalnya, nilai tukar US$1 mencapai 4,7 juta dolar Zimbabwe. Ekonomi Zimbabwe hancur.
Ciri-ciri lain rezim despotis, menurut Mikal Hem, adalah menghambur-hamburkan uang untuk proyek mercusuar seperti ibu kota baru, padahal ibu kota yang ada masih bagus dan representatif.
Para despot tetap berambisi membangun ibu kota baru dari nol. Hem mencontohkan diktator Than Swe di Burma dan Nursultan Nazarbayev di Kazakhstan membangun ibu kota baru dari nol.
Pemerintah Burma memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw. Nursultan Nazarbayev memindahkan ibu kota Kazakhsatan dari Almaty ke Nursultan. Gara-gara ibu kota baru, keuangan negara tekor. Ekonomi bangkrut.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita lihat saja Ibu Kota Nusantara (IKN) nanti. Yang pasti, produksi uang palsu tak akan pernah berhenti selagi despot-despot haus kuasa ingin bertahan di singgasana selama mungkin.
Akhirnya, sebagai alumnus UIN Alauddin, saya sangat malu melihat kampus tercinta ternoda kasus uang palsu, termasuk konstelasi politik hitamnya yang mengerikan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Januari 2025. Penulis adalah dosen Hukum Islam di Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta)
Sentimen: neutral (0%)