Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Magelang, Tuban
Tokoh Terkait
![Sudibyo](/images/default-avatar.png)
Sudibyo
Lintang Kemukus, Takhayul, dan Kegamangan Sosial
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Lintang Kemukus, Takhayul, dan Kegamangan Sosial](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2022/09/Oriza_Viloza.jpg?quality=60)
Masyarakat Kota Jogja dikabarkan sempat geger karena kabar lintang kemukus meluncur di langit kawasan Jl. Malioboro. Peristiwa itu terjadi pada 17 Desember 2024.
Video yang nenampakkan seperti sederet komet meluncur di angkasa beredar di media sosial. Kabar tentang keberadaan lintang kemukus itu dengan mudah viral dan menjadi pertanyaan banyak pihak.
Dalam kepercayaan yang berkembang di Tanah Jawa, lintang kemukus diartikan sebagai isyarat alam. Ada yang menafsirkan peristiwa alam itu sebagai tanda kebaikan. Ada pula yang menafsirkannya sebagai tanda bencana atau masa sulit akan tiba.
Kabar lintang kemukus itu menjadi menarik dicermati. Banyak warga yang memberikan komentar. Ada yang memberi sugesti positif dengan menuliskan komentar tentang pertanda baik dan ada pula sebaliknya.
Perhatian banyak orang tersedot, terbukti dari banyak penayangan video tersebut di beberapa platform media sosial. Begitu juga banyak akun yang meninggalkan komentar.
Astronom Ekliptika Institute, Marufin Sudibyo, mengungkapkan analisis terhadap kabar lintang kemukus itu. Setelah melihat video yang viral, ia menyebut penampakan tersebut mirip proses masuknya kembali wahana antariksa berawak.
Hal itu terlihat dari titik cahaya terpisah yang menggambarkan modul komando berisi manusia dan titik cahaya setelahnya merupakan puing modul layanan.
Ia menyebut proses itu lazim terjadi pada wahana antariksa milik Rusia dan China. Pada 17 Desember 2024, kata dia, tak ada aktivitas modul tersebut sehingga Marufin memastikan video yang viral menyatakan terjadi di langit Kota Jogja tersebut sepenuhnya hoaks alias kabar bohong.
Meski demikian, informasi tentang pernyataan hoaks tersebut tak sesanter kabar tentang lintang kemukus. Warga yang direpresentasikan oleh akun-akun media sosial tak banyak membahas bantahan tersebut.
Bisa jadi banyak warga telanjur meyakini narasi tentang tanda-tanda alam. Jika ditarik ke belakang, sebenarnya banyak berita tentang peristiwa lintang kemukus yang beredar di media sosial dan media arus utama.
Pada Oktober 2020, warga membicarakan tentang lintang kemukus di langit Tuban, Jawa Timur. Kala itu peneliti di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Emanuel Sungging Mumpuni, menyebut memang ada tren hujan meteror Draconid.
Penampakan seperti diyakini lintang kemukus atau bintang berekor atau komet itu dia sebut biasa terjadi saat musim hujan meteor. Langit dan segala aktivitas di bawahnya cukup memberi pengaruh bagi warga pada masa lampau.
Bukti yang jelas yakni relief Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Peneliti Pusat Antariksa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Gerhana Puannadra Putri, menyatakan peran besar astronomi pada budaya kehidupan masa lalu.
Benda langit dipakai untuk menentukan peralihan musim, waktu tanam dan panen, dan untuk acuan ritual kepercayaan. Singkatnya, relief yang menggambarkan kegiatan masyarakat saat itu sangat dipengaruhi oleh astronomi dan jejak itu disebut sebagai peninggalan arkeo-astronomi.
Gambaran tentang pengaruh astronomi terhadap kebijakan raja juga digambarkan dalam cerita di Thailand. Dalam serial The Empress of Ayodhaya yang ditayangkan Netflix, Raja Chairachathirat memiliki penasihat yang ahli di bidang astronomi.
Raja selalu mempertimbangkan nasihat tentang siklus alam yang ditandai gejala yang tampak di langit sebelum melakukan sejumlah kegiatan, termasuk ekspansi politik dan dagang.
Dengan demikian, tanda-tanda alam yang terlihat di langit tak sekadar soal takhayul. Astronomi dan astrologi telah eksis sejak zaman dulu. Catatan astronomi dari Babilonia diperkirakan dibuat sekitar tahun 1.000 SM.
Akhirnya, kita tak layak mengaitkan sebuah kabar tentang langit dengan hal lain tanpa meneliti secara mendalam, apalagi masyarakat kita kini mudah terombang-ambing oleh tren dan oleh kabar yang belum jelas kebenarannya.
Mata hanya tersedot melihat konten di layar gawai dan praktis intensitas mengamati alam di sekitar menjadi minim. Di sini kita pantas bertanya, masih pantaskah kita menjadi sahabat alam di tengah isu bencana ekologis yang terjadi bertubi-tubi?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Januari 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos)
Sentimen: neutral (0%)