Sentimen
Undefined (0%)
4 Jan 2025 : 13.50
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Banjarmasin, Denpasar, New York, Palembang, Pekalongan, Semarang, Shanghai, Solo, Surabaya, Tangerang, Tokyo

Tokoh Terkait
joko widodo

joko widodo

Solo Kota Ternyaman

4 Jan 2025 : 13.50 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Solo Kota Ternyaman

Tatkala sebuah stasiun televisi merilis temuan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tentang 10 kota ternyaman di Indonesia, hati saya harap-harap cemas. Jangan-jangan… 

Ternyata benar, Kota Solo dinobatkan sebagai kota ternyaman nomor satu di Indonesia dengan indeks layak huni 66,9%. Berikutnya berturut-turut: Palembang, Balikpapan, Denpasar, Semarang, Tangerang Selatan, Banjarmasin, Pekalongan, Bandung, dan ke-10 Jogja.

Setidaknya ada tiga tolok ukur untuk menyebut kota ternyaman, yaitu tenteram, nyaman, tenang. Itulah kenapa justru tidak disebut kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan.

Kota Solo dikomentari sebagai kota yang berbiaya hidup termurah, penghuninya ramah, rukun dan damai, serta memiliki keunggulan dalam kuliner dan wisata. Benarkah?

Saya langsung teringat sebuah buku yang dihadiahkan kepada saya oleh seorang sahabat, Arswendo Atmowiloto (kini sudah almarhum), bertajuk Kitab Solo (2008). Sebuah buku tentang Kota Solo yang ditulis secara apik, menggoda, sekaligus jenaka.

Dikisahkan di situ ada dua kirab bersejarah, yaitu ketika Keraton Kartasura dipindahkan ke desa bernama Sala yang kelak menjadi Surakarta Hadiningrat dan perpindahan para pedagang kaki lima dari kawasan Monumen ’45 Banjarsari menuju Pasar Klitikan Notoharjo di Semanggi, Pasar Kliwon, Kota Solo.

Pemindahan pedagang kaki lima itu dinilai oleh banyak kalangan sebagai proyek kemanusiaan paling cemerlang di Indonesia lantaran kemuskilannya. Di banyak kota yang namanya penggusuran atau pemindahan pedagang kaki lima acapkali menjadi congkrah, dredah, dan kadang perlu berdarah-darah. 

Kenapa di Kota Solo hal itu bisa berlangsung aman, damai, bahkan penuh kegembiraan yang dibarengi dengan tebaran spanduk? Ini tak lepas dari kepiawaian ngglembuk atau membujuk Wali Kota Joko Widodo kala itu. Sama sekali tidak memakai perangkat kekuasaan dan kekerasan. 

Akan halnya tentang keternyamanan Kota Solo apakah hal itu cukup membanggakan? Jelas! Tapi, persoalan tak cukup mandek pada soal kebanggaan semata. Ada sejumlah tantangan ke depan yang tidak gampang dihadapi, yakni pertumbuhan kota yang tak bisa dihindari.

Bagaimanapun Kota Solo akan tumbuh berkembang sebagaimana kota-kota di dunia. Lihat sejarah Tokyo, Shanghai, Mexico City, Sao Paulo, New York, Chicago, serta sejumlah kota di Eropa yang kemudian ditumbuhi bangunan-bangunan jangkung terkesan ugal-ugalan.

Tak ayal kota-kota di Indonesia akan mengalami hal yang serupa jika tanpa kendali. Rumitnya, menurut pakar arsitektur Eko Budihardjo, kota-kota di Indonesia bersifat dualistik. Di satu sisi para warga mulai beranjak modern, namun di sisi lain perilaku sebagian besar warga masih tradisional. 

Kota Solo termasuk dalam golongan itu. Sektor formal berkembang, tetapi sektor informal masih nggandhuli. Apartemen, flat, rumah susun bertumbuhan secara sporadis, tetapi perumahan kampung, slum (perumahan kumuh), juga squatter (perumahan liar) belum sepenuhnya teratasi.

Dua wajah perkotaan itu mesti disikapi dengan bijaksana. Artinya, kata Eko Budihardjo, para pejabat publik, pengusaha, dan profesional, terutama arsitek dan perencana kota harus merangkul kedua lapis itu tanpa mengabaikan salah satu di antara keduanya.

Para pemangku kebijakan publik selayaknya belajar dari pemikiran dan konsep-konsep tentang tata kota dari Goran Tannerfeldt dan Per Ljung yang menulis buku More Urban Less Poor: An Introduction to Urban Development and Management. 

Harus ada upaya mencegah terdegradasinya kota metropolis menjadi kota miseropolis (Latin) yang artinya kota derita. Menurut saya, Kota Solo bukan saja dikenal sebagai kota dagang lantaran punya Pasar Klewer yang masyhur dan legendaris, tapi juga kota seni dan budaya.

Banyak cagar budaya dimiliki kota ini. Tentu saya tak ingin menyaksikan bangunan-bangunan kuno bersejarah, Benteng Vastenburg yang dibangun tahun 1745 itu misalnya, bersalin rupa menjadi bangunan-bangunan modern pencakar langit yang berorientasi semata pada urusan komersial dan bisnis. 

Apakah saya mengidap “chopstick syndrome” (sindrom sumpit) sebagaimana disebut oleh Jennifer Chen? Bisa jadi. Lawatan saya ke berbagai kota di Eropa, China, dan Amerika Serikat menorehkan getir di hati saat menonton merebaknya bangunan-bangunan tinggi, ramping, mengacung lurus menuding langit bagai sumpit-sumpit raksasa. 

Ketika saya mulai membuka-buka data sejarah pertumbuhan kota di negara-negara itu ternyata banyak bangunan kuno yang tergusur, bahkan diamblaskan sama sekali. Di sinilah historical loss itu terjadi secara dramatis dan mengenaskan.

Saya memuji China yang ternyata masih memiliki kepedulian sejarah dalam menata kota. Lawatan saya ke negara Tirai Bambu itu, dan sempat membeli buku Ancient Rhythm and Present Grace (2010) karya Yang Wieze di Suzhou, cukup membuktikan betapa bangsa China masih mempertahankan nilai-nilai sejarah bangsa.

Saya masih bisa melihat bangunan yang merupakan replika Biara Shaolin yang film-film kungfunya sering saya tonton pada masa remaja. Artinya, China tak sepenuhnya larut dalam ingar-bingar bangunan ”sumpit” sebagaimana tampak di banyak negara yang njelehi bin mboseni, yang oleh Jennifer Chen disebut sebagai “monotony and boredom.”

Kenangan Kolektif

Saya setuju dengan pendapat bahwa kota adalah panggung kenangan kolektif bagi seluruh warganya. Seluruh bangunan yang ada niscaya menjadi kekayaan peradaban dalam bentuk mosaik kolase waktu serta penanda peristiwa yang tetap terjaga dan terpelihara.

Kota Solo punya dua keraton, kebun binatang, aneka taman, museum, dan Bengawan Solo yang terabadikan sebagai lagu oleh maestro keroncong bernama Gesang Martohartono. 

Aset-aset yang tentu memerlukan strategi penyelamatan, konservasi terus-menerus yang bersifat dinamis seiring laju zaman. Yang tak kalah penting, Kota Solo hendaknya tetap menjadi urban paradise (surga perkotaan) sebagaimana disebut oleh John Ormsbee Simonds (simak: Earthscape: A Manual of Environmental Planning, 1978).

Pembangunan Kota Solo tak bisa dihentikan, tetapi semua harus berlangsung secara damai, smooth, gradual, dan tak menimbulkan kegaduhan, keresahan, keberingasan, apalagi kecemburuan sosial yang biasa mengendap di batin warga yang merasa tersisihkan. 

Dalam Postmodern Urbanism (1995), Nan Ellin menuding para penentu kebijakan pembangunan perkotaan sebagai biang kerok kesalahan yang pada gilirannya akan meretakkan kohesi sosial. 

Mereka dianggap tak peka pada kebatinan warga, kekentalan komunitas, persepsi yang masih tertanam kuat di sanubari masyarakat. Mereka dianggap telah melupakan akar sejarah, bahwa setiap tempat memiliki asal-usul. 

Itu bakal hancur jika kebijakan tata kota hanya dilandasi “asal mengusulkan” seenak udelnya atas nama ekonomi (form follows finance). Paradoks itulah yang coba diingatkan oleh Peter Lang dalam Mortal City (1995).

Biarlah Kota Solo tetap terjaga sebagai kota ternyaman di Indonesia justru dengan mempertahankan identitas sebagai kota budaya dan kota dagang. Berbiaya hidup termurah, namun dengan fasilitas yang lengkap sebagaimana kota-kota modern lainnya.

Ada satu catatan lagi, yakni identitas kota itu penting adanya. Bangunan-bangunan kuno di Kota Solo, seperti keraton, Masjid Agung, Pasar Klewer, Pasar Gede, Pasar Pon, Pasar Legi, Pasar Kliwon, Pasar Slompretan, harus dipertahankan dan didandani agar keharuman namanya tak luntur dilibas zaman. 

Juga aneka nama-nama unik kampung yang tersebar di 54 kelurahan yang semua punya sejarah masing-masing. Ingat, perencana kota kesohor, Leicester, berpesan a town without old buildings is like a man without memory.

Saya kira warga Kota Solo dan siapa pun yang cinta kota ini tentu tak mau dianggap linglung, apalagi dianggap hilang ingatan alias edan, seperti bunyi syair Joko Lelur karya Sentot: ngalor-ngidul ra karuwan (ke sana kemari tak jelas arah). 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Januari 2025. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, budayawan)

Sentimen: neutral (0%)