Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Bata
Kab/Kota: Dukuh, Semarang, Sukoharjo, Surabaya, Tegal
Jejak Kiai Sindu Menggolo di Asale Desa Tegalmade Sukoharjo
Espos.id
Jenis Media: Solopos
![Jejak Kiai Sindu Menggolo di Asale Desa Tegalmade Sukoharjo](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2025/01/20250103153310-img-20250103-084226.jpg?quality=60)
Esposin, SUKOHARJO – Asal usul suatu wilayah cukup menarik untuk diulik, salah satunya terkait asale Desa Tegalmade di Kabupaten Sukoharjo. Secara administrasi, Desa Tegalmade masuk wilayah Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo.
Desa Tegalmade terdiri atas lima dusun/dukuh. Wilayah Desa Tegalmade dilintasi Kali Samin yang menjadi sumber air utama untuk mengairi lahan pertanian.
Desa Tegalmade memiliki beragam potensi seperti sentra batu bata yang tersebar di sejumlah lokasi. Hampir saban hari, para perajin batu bata memproduksi batu bata di pinggir jalan perkampungan.
Selain batu bata, Desa Tegalmade memiliki sejumlah potensi lainnya seperti kerajinan batik dan sarung pantai. Sebagian warga setempat menggantungkan hidupnya dari membuat kerajinan batik dan sarung pantai itu. Kedua produk itu dipasarkan ke beberapa kota besar seperti Jogja, Semarang, dan Surabaya.
Menurut informasi yang dihimpun, nama Desa Tegalmade berasal dari Bahasa Jawa, yakni tegal yang bermakna ladang dan mande yang berarti menjual.
Sesuai cerita turun-temurun yang berkembang di tengah masyarakat, pemberian nama Tegalmade berawal dari keberadaan seorang pertapa bernama Kiai Sindu Menggolo.
“Zaman dahulu, Kiai Sindu Menggolo dikenal dengan Eyang Sindu. Beliau bertapa di sekitar rawa-rawa. Tak jauh dari aliran Kali Samin,” kata salah satu sesepuh Desa Tegalmade, Marijan, Jumat (3/1/2025).
Suatu ketika, di tengah pertapaannya, Eyang Sindu mendapat wangsit untuk mendirikan rumah di gundukan tanah lapang. Eyang Sindu juga diminta untuk menetap di rumah itu. Dia juga diminta mengajak orang lain untuk bermukim di kawasan itu.
Singkat cerita, Eyang Sindu lantas berjalan kaki mencari gundukan tanah lapang untuk mendirikan rumah. Dia berjalan kaki selama berhari-hari menyusuri rawa-rawa dan hutan belantara.
Sesekali, Eyang Sindu beristirahat sejenak setelah berjalan kaki selama berhari-hari.
“Akhirnya, Eyang Sindu tiba di tanah lapang yang dikelilingi rerimbunan pohon. Kala itu, beliau mengamati sejenak tanah lapang itu. Setelah akhirnya memutuskan untuk membangun rumah di tanah lapang tersebut,” ujar Marijan.
Setelah menetap, Eyang Sindu mengajak orang lain untuk mendirikan rumah di tanah lapang. Awalnya, hanya beberapa orang yang berminat mendirikan rumah dan menetap di wilayah itu.
Namun, lambat laun, banyak orang lain yang berdatangan ke tanah lapang atau tegal tersebut. Mereka tertarik untuk bermukim di kawasan tersebut.
Hari berganti hari, jumlah orang yang berminat menetap di tanah lapang kian banyak.
“Akhirnya, Eyang Sindu berembuk untuk membahas pembagian tanah untuk orang-orang yang hendak bermukim di tanah lapang. Jadi kata mande itu maknanya bukan dijual [atau dikomersialkan] melainkan dibagi-bagi. Tanah yang dibagi-bagi,” ujar dia.
Tanah lapang itu berubah menjadi permukiman penduduk. Masyarakat menjunjung tinggi budaya gotong royong dan guyub rukun. Mereka mengandalkan ladang untuk bercocok tanam sebagai mata pencaharian sehari-hari.
Sebelum meninggal dunia, lanjut Marijan, Eyang Sindu berpesan agar wilayah itu diberi nama Tegalmande yang bermakna tanah lapang yang dibagi-bagi.
“Bagi masyarakat zaman dahulu, penyebutan Tegalmande agak susah. Kemudian, berubah menjadi Tegalmade hingga sekarang,” tutur dia.
Sentimen: neutral (0%)