Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Event: Idul Adha 1441 Hijriah
Hewan: Ayam, buaya, Kambing
Kab/Kota: Cilegon, Lubang Buaya, Madura, Pulo, Serang, Tanjung Priok
Masa Lalu Bersama Ibu
Espos.id
Jenis Media: Lifestyle
![Masa Lalu Bersama Ibu](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2025/01/20250103175348-040125-masalaluibu.jpg?quality=60)
Darus adalah kakak kandung saya satu-satunya. Badannya tinggi dan jangkung. Dada dan perutnya rata-kurus, tipikal lelaki yang tahan dengan hanya memakan daun singkong berhari-hari. Mukanya oval dan tangannya kekar serta kasar.
Tangan itulah yang kerap melindungi saya dari segala marabahaya ditambah sorot mata yang sangar dan jalang, seakan mewarisi bola mata para leluhur yang telah kehilangan tanah-tanah mereka.
Sampai saat ini, selalu saya bertanya-tanya perihal kematian Darus yang serbamisterius. Jika perlu diceritakan kepada Anda, misalnya, ketika dia pulang dari pasar lama atau dari Pelabuhan Tanjung Priok tempat dia bekerja sebagai pengangkut atau kuli panggul.
Pada hari itu, dia menghampiri saya yang sedang bermain bola di pekarangan rumah, memikul saya di punggungnya, menyuruh saya berpegangan erat di sekitar kepalanya. Masih lekat dalam ingatan saya aroma tubuhnya yang pekat bau tomat busuk dicampur bau keringat yang apek dan pesing karena beberapa hari belum mandi.
Ketika pulang dalam keadaan capai dan lelah, ibu membuatkan kopi hitam dan sesekali bersama keripik peyek atau pisang goreng. Ayah kami kabur entah ke mana. Selama bertahun-tahun kami tak mendengar kabar apa pun tentang dirinya meski pernah terdengar selentingan bahwa ia berada di Madura.
Konon, Darus sering berjumpa dengan ayah melalui mimpi, mengabarkan sesuatu yang kemudian disambungkan kepada kami.
Kalau Darus mendengar orang-orang bergunjing tentang ayah, badannya agak gemetar dan kedua matanya menerawang. Tidak jarang saya dipukulnya karena suatu alasan yang tak jelas.
Tak lama kemudian, terjadi percakapan bersama ibu yang biasanya berakhir dengan pertengkaran sengit. Karena masih kecil, tak pernah saya dilibatkan meskipun memahami inti persoalan. Itu masa-masa yang meresahkan, sarat amarah, dan saya takut oleh pikiran bahwa Darus – sebagaimana Ayah – akan meninggalkan kami juga.
Tapi, dia selalu kembali pada sore hari, masuk rumah dengan sempoyongan sementara ibu mengamati jendela dari ekor matanya. Setelah Darus menjatuhkan tubuhnya di kasur karena mabuk, ibu merasa lega, seakan terbebas dari beban berat.
Mengenai minggatnya ayah dari rumah, waktu itu saya masih balita. Saya hanya mengingat cangkir-cangkir kopi di meja, puntung, sepasang sepatu hitam pemberian pabrik, dan saat-saat ibu menangis sesenggukan lalu secepat kilat menyeka air matanya ketika tetangga bertandang, menanyakan perihal utang-piutang. Sejak saat itu, saya dapat menebak kenapa ekspresi Ibu berubah-ubah hingga kerap saya meragukan kejujurannya.
Segala sesuatunya seakan bermuara pada ayah yang tidak meninggalkan apa-apa selain nama keluarga hingga kemudian jarang tetangga kami yang menyebut nama saya, kecuali “Anak Satpam”. Ya, konon dulu ayah bekerja sebagai satpam malam di pabrik yang kini tutup karena memproduksi barang-barang yang dipasarkan secara ilegal.
Ketika saya tumbuh remaja, ibu menceritakan kembali perihal Darus yang mati tenggelam di Pantai Pulo Cangkir. Ia membuat-buat versi tersendiri perihal kematian Darus, mengarang-ngarang cerita perihal anak sulungnya yang masih keturunan Sultan Hasanuddin serta menyebarkan Islam di tanah Banten.
Darus seakan berhadapan dengan orang-orang kafir yang digambarkannya sebagai pasukan dajjal dan Firaun. Ketika tumbuh dewasa, saya cenderung membenarkan versi yang disampaikan seorang teman yang usianya lebih tinggi dari saya bahwa Darus yang biasanya bergabung dengan para nelayan di Laut Utara Banten – ketika ia merasa segan menjadi kuli panggul – konon dikeroyok empat nelayan yang dipimpin oleh Bang Jalu yang berbadan kekar dan besar.
Apakah waktu itu dia sedang mabuk, tak ada yang tahu. Meskipun mayatnya kemudian diketemukan pada sore hari oleh dua nelayan asal Serang. Cerita mana yang benar? Tetap sulit ditelusuri kepastiannya.
Bila dihubungkan dengan kisah yang dituturkan ibu, seolah-olah Darus adalah tokoh herok dan pahlawan pembela kebenaran, sementara orang yang diduga musuhnya adalah sosok Firaun yang kafir. Tapi, yang jadi masalah, kenapa justru dia yang tenggelam, sementara Firaunnya masih tetap hidup hingga saat ini?
Di sisi lain, saya masih baik-baik saja dengan keluarga Bang Jalu yang dianalogikan Firaun. Bahkan, dia dan istrinya sering menyapa sewaktu saya berangkat ke SD serta menanyakan kesehatan ibu.
Secara pribadi, saya paham sifat temperamen Darus yang memang sering berantem dengan siapa pun. Tetapi, ibu memang pintar berkelit serta mampu menarasikan kematian Darus secara terperinci menurut versinya sendiri seakan-akan dia adalah martir yang melawan kebatilan dan kemungkaran.
Sampai saat ini, jika saya harus menceritakan pada Anda, wahai para wartawan, atau para penyelidik kepolisian, perihal kematian Darus kakak kandung saya, maka jawaban saya tetap sama: tidak tahu-menahu. Tapi, kalian tak perlu menanyakan pada ibu saya karena boleh jadi akan muncul versi terbaru yang meluncur fasih dari mulutnya.
Boleh jadi beliau akan berkata Darus adalah habib keturunan rasul atau bisa juga Imam Mahdi yang bertugas membelah Lautan Banten Utara yang kelak diutus untuk melawan dajjal-dajjal pada hari kiamat.
Sehari setelah tenggelamnya Darus, beberapa teman karibnya berdatangan ke rumah untuk menunjukkan empati, baik yang bekerja sebagai kuli panggul, nelayan, hingga teman nongkrongnya di Terminal Kresek.
Ada si Jubed dan adiknya yang kerempeng yang juga suka mabuk-mabukan. Ada Kadir yang pernah mengajaknya bermain dabus kemudian ketahuan menghamili anak Pak Lurah. Ada si perokok berat, Sukim, yang semua orang kenal dari batuk-batuknya. Bahkan pada pagi hari, batuknya akan bersahutan dengan kokok ayam sebagai penanda waktu fajar.
Ada juga tukang copet di Pasar Rawu Serang yang tak perlu saya sebutkan namanya. Ada Haji Dolim yang bangga dipanggil “haji” padahal belum pernah pergi ke Mekkah. Ada Masduki yang suka kencing sembarangan yang penting asal ketemu tembok dan seberapa hektare rumput telah tumbuh subur di musim kemarau karena siraman kencingnya.
Lalu ada juga Juned yang sering mengerahkan anak buahnya, yang kalau menggasak buah mangga, bisa habis satu pohon milik Pak Dulmatin dan Haji Hambali.
***
Sekarang usia ibu saya mungkin hampir menginjak 80-an. Begitu menginjak usia tertentu, waktu akan menyematkan ciri-ciri para leluhur kepada kita, semacam kombinasi reinkarnasi. Mungkin begitulah rupa alam selanjutnya, sebuah koridor tak berujung tempat semua keturunan berbaris.
Mereka menantikan kedatangan anak keturunannya tanpa kata dan tanpa gerak sama sekali, mata-mata yang sabar terpaku pada tanggal perjumpaan.
Saya tidak yakin ibu tahu usia saya. Ketika saya lahir, orang-orang kampung tak peduli soal tanggal lahir. Irama kelahiran biasanya ditandai dengan musim paceklik, wabah, atau kelangkaan bahan pangan.
Nenek saya wafat gara-gara tifus, ayah hengkang dari rumah ketika musim pagebluk. Itu seakan menjadi episode yang menandai batasan-batasan waktu.
Ketika saya dikuliahkan seorang tuan tanah yang mengadopsi saya, saya jarang sekali ketemu ibu. Ia masih tinggal di sebuah gubuk bilik di Desa Karangantu, yang menghabiskan waktu dengan menyapu setiap sudut kebun yang dia tinggali.
Untuk makan sehari-hari ia menjadi binatu dan menjemur hasil panen padi milik Haji Sirojudin yang pernah mencalonkan diri sebagai kepala desa.
Saya masih punya kenangan dari periode itu, ketika saya masih tinggal bersamanya, menerima kiriman masakan dari istri Pak Haji lalu menyantapnya setelah seharian perut kami keroncongan. Tapi, ah, sebaiknya saya persingkat saja periode ini. Saya tak mau memperpanjang karena pada masa-masa seperti itu satu-satunya masalah yang paling vital dalam kehidupan kami adalah soal perut, bukan soal keadilan seperti yang digambarkan dalam buku Pikiran Orang Indonesia.
Pada sore hari kami main kelereng di teras rumah. Ketika wabah menerpa desa kami, tetap saja kami masih bermain kelereng. Jika ada salah satu dari kami tidak kelihatan esok harinya, berarti dia sudah mati, sedangkan kami yang masih hidup tetap bermain kelereng.
Saat itu, kami hidup dalam ketakutan, terutama pada malam hari, ketika mendengar bunyi langkah kaki mencurigakan. Kami takut kalau-kalau itu para lelaki yang tahu bahwa ibu tak punya pelindung. Malam-malam keterjagaan dan kewaspadaan sambil badan saya menempel ketat pada badan ibu. Saya sungguh-sungguh telah menjadi seorang “Anak Satpam” bagi ibu saya.
Pada Hari Raya Kong Hu Cu, ibu membawa saya ke vihara untuk menerima angpao dari para saudagar China, begitu pun pada Muharam atau Tahun Baru Hijriah. Saya seakan disulap agar bergabung bersama anak-anak yatim yang berhak menerima amplop tunjangan.
Pada masa-masa itu, ibu cukup lihai mengubah drama pribadinya menjadi urusan yang membuat orang-orang bersimpati kepada kami berdua. Kadang dia pura-pura sakit agar tetangga menjenguknya. Kadang saya diperlakukan seperti almarhum kakak saya dulu, yang sering disuguhi kopi hitam, yang suara langkah kakinya ditunggu saban sore hari, seakan dia baru pulang dari perantauan.
Saya bernasib menjadi aktor pembantu karena saya tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Saya merasa bersalah sebab masih bernyawa, tetapi juga merasa bertanggung-jawab atas nyawa yang bukan milik saya pribadi. Saya harus menjadi anak satpam sekaligus jaminan agar kami bisa menyambung hidup.
Konsekuensinya, ibu seakan menugasi saya menjadi reinkarnasi Darus. Saya juga disuruh memakai baju bekasnya dulu, sampai ke pakaian dalamnya. Saya dilarang jauh-jauh dari ibu, berjalan sendirian, atau tidur di tempat yang tidak diketahui, bahkan dilarang keras dekat-dekat pantai.
Setiap sisi lautan menjadi area terlarang. Ibu menakut-nakuti saya dengan cerita tentang mulut raksasa yang dimiliki sang laut. Sampai sekarang, ketika saya berjalan di pantai, meski yang berombak lemah, sensasi pergerakan pasir pada kaki sudah mulai menerbitkan rasa takut tenggelam.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa saya tidak mengalami masa muda yang menyenangkan, absen dari kebangkitan perasaan-perasaan erotis masa pubertas.
Saya tumbuh menjadi pendiam dan pemalu. Saya menghindari kolam renang bahkan taman yang sering dimanfaatkan pemuda-pemudi berpacaran. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya berdamai dengan tubuh dan dengan diri saya sendiri.
Faktanya, hingga sekarang, saya belum kunjung yakin. Gestur saya selalu kaku, terpengaruh perasaan bersalah karena masih bernyawa. Seperti anak peronda malam sejati, tidur saya cuma sedikit, itu pun tidak nyenyak. Saya sering panik karena berpikir saat memejamkan mata, saya akan terjatuh ke palung yang membuat saya lupa nama sendiri.
Menjelang Ramadaan, ibu mengajak saya menziarahi kuburan Darus di permakaman umum. Bagi saya yang masih belia, hari itu adalah masa ketika saya bersembahyang bukan menghadap kiblat. Saya menatap birunya langit, embusan angin yang membangkitkan gairah pada diri saya. Pekuburan itu saya anggap taman bermain. Meskipun, konon setiap malam Minggu akan menjadi tempat mangkal para buronan dan pemabuk.
Saya malah menduga – semoga dugaan saya salah – bahwa Darus pun dulu pernah nongkrong dan mabuk-mabukan di sekitar tempat itu, bersama rekan-rekannya yang pada gilirannya kelak menjadi pekuburannya sendiri.
***
Setelah Darus meninggal, ibu terlihat begitu sensitif. Coba bayangkan, sejak muda dia dipaksa kawin dengan laki-laki yang tak pernah dia kenal yang kemudian justru meninggalkannya.
Di sisi lain, dia tergolong wanita yang seakan mampu menghidupkan hantu, bahkan menenggelamkan siapa pun ke arus narasi yang diciptakannya. Padahal, dia tidak mahir membaca, tetapi lihai mengisahkan kronologi kematian Darus anak kandungnya, sesuai versi yang diciptakannya.
Ya, saya jamin dia tidak semata-mata berbohong tanpa alasan yang jelas. Juga bukan laiknya penguasa yang mengarang-ngarang kisah Lubang Buaya untuk merebut tampuk kekuasaan.
Saya percaya, ibu berbohong bukan untuk dusta atau munafik, tetapi mengoreksi realitas serta mengurangi absurditas yang menghajar dunianya dan dunia saya juga. Wafatnya Darus benar-benar menghancurkan hatinya ditambah fakta sulitnya mencari kebenaran perihal kematiannya.
Dalam waktu yang cukup lama, kelakuannya membuat saya merasa malu, namun di sisi lain, kemahirannya bercerita dalam berbagai versi telah membangun kesadaran saya akan kekayaan bahasa yang dimiliki, meskipun bahasa itu tidak harus sama dengan saya.
Saya menyadari kemampuan visual yang dia sampaikan dengan penuh vitalitas, improvisasi, dan katarsis mengagumkan. Kesedihan yang dialaminya memang berlarut-larut sampai ia memerlukan berbagai idiom baru untuk mengungkapkannya.
Cara bicaranya bagaikan alkemis yang berjuang merekrut jamaah yang akan berempati secara dadakan. Kadang ia berteriak penuh amarah kepada hal-hal yang melalap kehidupannya, kepada angin yang menelan suaminya, kepada air yang menelan putra sulungnya.
Ketika saya diadopsi tuan tanah kemudian melanjutkan perguruan tinggi, saya menjadi seorang mahasiswa yang serius dan tekun. Buku-buku secara bertahap mampu membuat saya menamai hal ihwal, untuk mengorganisasi dunia ini dengan kata-kata saya sendiri.
Di lingkungan kampus, saya juga menemukan pepohonan dan langit yang nyaris bisa saya sentuh. Saya menemukan teman akrab yang sama-sama pendiam. Itu membantu perhatian saya teralihkan dari hanya memikirkan ibu dan dari caranya mengamati saya makan dan tumbuh besar dengan tatapan yang tidak mengenakkan. Itulah tahun-tahun ketika saya dianggap sebagai kambing yang sedang digemukkan untuk dijadikan kurban pada Hari Idul Adha.
Saya merasa hidup ketika memasuki bangku perguruan tinggi kemudian bekerja di perusahaan ternama di Kota Cilegon. Sampai sekarang pun, saya masih terus memupuk dan mengasah kedewasaan agar tidak menyia-nyiakan waktu dengan kesibukan mengasah pisau dendam. Saya bertekad menjadi manusia baik serta mengabarkan pada Anda tentang pentingnya makna kebaikan.
Sentimen: neutral (0%)