Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UIN
Kab/Kota: Senayan, Yogyakarta
Tokoh Terkait
![Gus dur](/images/default-avatar.png)
Gus dur
Air Membersihkan Pertanyaan
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Air Membersihkan Pertanyaan](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2024/06/Agus-Widiey.jpg?quality=60)
Yang cukup menyebalkan setiap Desember adalah ketika masih ada perdebatan di media sosial tentang hari Natal sampai-sampai ada yang mengafirkan orang lain, bahkan ada yang mengatakan goblok kepada yang tidak sependapat.
Kini patut disyukuri perdebatan tak perlu tersebut intensitasnya kian berkurang. Dalam perspektif optimistis, ini bisa jadi tanda-tanda bahwa semangat bertoleransi kita makin menguat dan pemahaman kita tentang keberagaman makin konstruktif.
Perdebatan yang tak perlu seperti itu memang ironis sekali. Natal adalah hari perayaan kaum krisitiani, namun justru yang ramai membahas adalah umat beragama lain. Jika tidak ingin ikut merayakan semestinya cukup diam saja.
Menghargai setiap keberagaman lebih berharga daripada mempersoalkan suatu hal yang hanya menyebabkan ketidakharmonisan. Menghargai setiap keberagaman, termasuk keberagaman dalam beragama, akan memperkuat rasa kemanusiaan.
Yang tidak kalah menyebalkan adalah orang-orang yang mudah menghakimi orang lain dengan keyakinan tentang kebenaran agamanya sendiri, padahal agama orang lain juga memiliki kebenaran.
Kita tidak bisa membuktikan secara pasti karena apa yang kita nyatakan hanya sebuah klaim kebenaran, bukan kepastian. Kita tidak bisa memaksakan kebenaran yang kita yakini kepada orang lain yang juga punya keyakinan tentang kebenaran.
Perlu kiranya kita ketahui pada perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional pada 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan, Jakarta, K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menyampaikan pidato yang sangat berharga untuk kita apresiasi dan kita ingat.
Substansi pidato itu layak kita ingat dan renungkan lagi setiap kali saudara kita sebangsa-senegara umat kristiani merayakan Natal. Waktu itu, Gus Dur menyatakan peringatan Natal berarti memperteguh kembali ikatan semua pihak sebagai bangsa Indonesia yang beragam.
Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lama hidup di lingkungan pesantren, Gus Dur mengaku sedih ketika melihat perbedaan keyakinan atau perbedaan agama justru menjadi sekat dan alasan untuk saling mengotak-kotakkan.
Gus Dur menyebut keyakinan atas satu agama bukan halangan untuk bertoleransi. Ia mengatakan dirinya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama yang dia anut, tetapi ini tidak menghalangi dirinya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat manusia.
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy'ari, itu dalam pidato tersebut mengatakan dirinya sejak kecil merasa walaupun tinggal di lingkungan pondok pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai, tetapi tidak pernah sedetik pun merasa berbeda dengan yang lain.
Keyakinan tidak boleh mencerai-beraikan masyarakat Indonesia. Keberagaman tidak perlu diseragamkan karena yang diharapkan dalam setiap nilai-nilai agama adalah kedamaian. Bukankah agama lain juga memiliki perayaan? Begitu pula dengan umat kristiani.
Mereka melaksanakan perayaan suci sebagai momentum penting untuk memperkuat toleransi dan keharmonisan dalam bermasyarakat. Di Indonesia, kita tahu dengan keragaman agama dan budaya yang cukup banyak, toleransi menjadi fondasi yang memungkinkan kita hidup berdampingan secara harmonis.
Adapun Masehi tidak ada kaitannya dengan agama karena sistem penanggalan yang dipakai asli produk sains dan budaya. Hanya saja kadang sebagian di antara kita masih mengait-kaitkan sistem penanggalan itu dengan keyakinan beragama.
Penanggalan tersebut pada mulanya dibuat untuk menandai sebuah peristiwa. Manusia kerap memberi sebuah tanda pada setiap peristiwa yang terjadi. Yang perlu dicatat dalam hati dan pikiran kita bahwa menghargai agama orang lain yang berbeda dengan agama kita adalah cara terbaik untuk menghindari kebobrokan moral.
Dengan mengucapkan selamat kepada mereka yang merayakan Natal adalah wujud penghargaan kita terhadap yang berbeda agama. Ini bukan urusan intervensi pada keyakinan beragama.
Penyakit akut mempersoalkan perayaan umat beragama lain masih berkabut hingga hari ini. Saya tidak ingin ikut arus dalam perspektif yang hanya dibungkus dogma. Kita punya akal yang berfungsi untuk berpikir, salah satunya memikirkan perasaan orang lain.
Sederhananya begini, bagaimana jika yang dipersoalkan adalah agama kita? Tentu kita tidak terima, bukan? Kita harus memiliki sikap dan sifat toleran karena merayakan Natal bagi umat kristiani berarti merayakan keberagaman.
Toleransi sebagai jalan tengah untuk menjembatani kedamaian adalah keistimewaan yang kita punya, selebihnya sebagai manusia yang berakal dan memiliki hati seperti kita, bukankah lebih mencintai kedamaian ketimbang kerusuhan?
Saya teringat pada bait puisi Joko Pinurbo tentang agama: Apa agamamu? Agamaku adalah air yang membersihkan pertanyaanmu.
Semoga pada setiap perayaan agama apa pun kita dibersihkan dari pertanyaan yang menyebalkan, pertanyaan yang tidak menghargai keberagamaan kita yang beragam.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Desember 2024. Penulis adalah pembelajar akidah dan filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sentimen: neutral (0%)