Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Ada Puluhan Ribu Kasus HIV Baru di Indonesia
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, JOGJA—Sepanjang Januari-September 2024, muncul 47.896 kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) baru di Indonesia. Temuan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini bukan serta merta menunjukkan lonjakan kasus, namun juga kesadaran dari masyarakat untuk memeriksakan kondisinya.
Berdasarkan data Kemenkes, jumlah tes HIV mengalami lonjakan pasca-pandemi Covid-19. Ada tambahan sekitar satu juta tes per tahun sejak 2022 hingga saat ini. Dengan tingginya jumlah orang yang sadar melakukan pemeriksaan, maka jumlah kasus pun semakin mudah terdeteksi.
Di tahun ini pada periode Januari-September 2024, ada lebih dari lima juta orang yang melakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Hasilnya, ditemukan sebanyak 47.896 kasus baru pada tahun ini. Jumlah tersebut hampir setara dengan total laporan kasus yang terjadi pada tahun 2023.
Dari total kasus HIV baru, sekitar 71% di antaranya terjadi pada pria, dengan mayoritas berusia produktif antara 20 hingga 49 tahun. Sementara itu, remaja yang berusia di bawah 20 tahun menyumbang sekitar 6% dari keseluruhan kasus HIV yang tercatat.
Beberapa wilayah di Pulau Jawa masih mendominasi kasus HIV di Indonesia. DKI Jakarta menempati posisi pertama penyumbang kasus HIV terbesar, disusul dengan Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Setelah itu, kasus HIV terbanyak berada di daerah Sumatera utara, Bali, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau. Sebelas provinsi tersebut menyumbang sekitar 76% dari total kasus HIV di Indonesia.
HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Saat terpapar virus ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi penyakit akan semakin melemah. Sementara AIDS merupakan kondisi saat infeksi HIV sudah dalam tahap akhir. Dalam kondisi ini, tubuh tak lagi mampu melawan infeksi apa pun yang ditimbulkan.
Dosen Imunologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR), Agung Dwi Wahyu Widodo, mengatakan salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada usia produktif yaitu perilaku drug use dan free sex. “Salah satu faktornya adalah penyebaran oleh pengguna obat-obatan (drug use) yang menular lewat injeksi jarum suntik. Selain itu, juga dapat menyebar lewat perilaku free sex,” kata Agung, beberapa waktu lalu.
Aspek Mikrobiologi dan Imunologi
Agung menerangkan dalam aspek mikrobiologi bahwa HIV-1 memiliki sifat laju penularan yang tinggi. Sehingga hal tersebut dapat mudah menyebar termasuk di Indonesia. “HIV-1 merupakan retrovirus yang lebih berat, namun mudah menular,” katanya.
Dalam aspek imunologi, Agung mengatakan bahwa HIV/AIDS menyerang sel CD4 dalam sistem kekebalan tubuh hingga melemahkan sistem imun. Respons sistem imun dalam menghadapi infeksi HIV, antara pasien usia produktif dan lainnya, sama.
Penularan HIV/AIDS dapat tersebar melalui kontak cairan tubuh yang terinfeksi. Oleh karena itu, drug use dan free sex menjadi sorotan Agung sebagai jalur utama penyebaran HIV/AIDS pada usia produktif. “Drug use sangat berbahaya. Mereka menggunakan obat golongan morfin yang dapat memicu pertumbuhan virus HIV ini lebih cepat. Belum lagi dengan jarum suntik yang mereka pakai bergantian,” kata Agung.
Agung menekankan bahwa satu virus HIV pada saat berpindah ke tempat lain akan mengalami proses mutasi dan proses glikosilasi. Ini merupakan dua mekanisme yang membantu HIV untuk bertahan dalam tubuh, menghindari respons imun, dan tetap menular meskipun dalam kondisi yang berbeda. “Hal ini tidak kalah penting dan menunjukkan proses penyebaran yang cukup berbahaya pada kalangan usia produktif,” katanya.
Upaya Pencegahan
Guna mencegah lonjakan kasus HIV/AIDS pada kalangan usia produktif, Agung menyarankan strategi pencegahan efektif. Menurutnya, upaya yang bisa dilakukan sedini mungkin adalah dengan memberikan edukasi dan informasi yang benar terkait cara mencegah HIV/AIDS. “Khususnya pada gen Z, mahasiswa dan usia produktif. HIV/AIDS kita bisa cegah dengan kampanye ABC,” kata Agung.
Kampanye ABC, sambungnya, terdiri dari abstinence atau sikap berhenti atau menahan aktivitas seksual, terutama pada masyarakat yang belum menikah. Kemudian be faithful atau setia, menekankan kesetiaan pada mereka yang telah berpasangan. Dan yang terakhir adalah condom. “Kampanye penggunaan kondom, bukan berarti kita mengajarkan sesuatu yang tidak benar (melegalkan seks bebas),” katanya.
Penguatan Sistem Kesehatan untuk Capai Eliminasi HIV
Perlu penguatan sistem kesehatan di Indonesia untuk mencapai eliminasi HIV pada 2030, terutama terkait target 95 persen ODHIV yang on ART tersupresi virusnya.
Peneliti Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan BRIN, Mirna Widiyanti, mengatakan beberapa poin pentingnya berupa peningkatan kapasitas laboratorium untuk pengujian viral load dan resistensi genetic. Di samping itu, masalah distribusi obat antiretroviral (ARV) juga perlu semakin baik sistemnya. Pemerataan distribusi obat penting dilakukan untuk memastikan ketersediaan ARV di seluruh fasilitas kesehatan termasuk di daerah terpencil.
Menurut data yang dihimpun, Mirna menyebutkan bahwa saat ini tersedia sebanyak 301 untuk tes cepat molekuler dan 42 layanan yang memiliki alat bermerek Abbott untuk pemeriksaan viral load. “Yang terpenting adalah kolaborasi semua pihak. Kita upayakan bersama, agar eliminasi HIV di tahun 2030 dengan perwujudan three-zero, yakni nol infeksi baru, nol kematian akibat HIV, dan nol diskriminasi pada ODHA itu akan bisa terjadi di tahun 2030,” kata Mirna, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, strategi pengendalian HIV berupa penyebarluasan edukasi dan informasi yang benar di masyarakat juga masih perlu untuk dikuatkan. Hal ini demi mencapai penghapusan stigma pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Menurutnya, kesalahpahaman masyarakat mengenai cara-cara penularan virus HIV merupakan akar dari masih adanya stigma pada ODHA. Penularan HIV tidak terjadi melalui makan bersama, berenang bersama, menggunakan toilet bersama, atau aktivitas lainnya yang tidak berkaitan.
Mirna menegaskan bahwa virus HIV hanya dapat ditularkan melalui darah, hubungan seks, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, serta penularan dari ibu kepada bayinya saat kehamilan, persalinan, ataupun menyusui. “Stigma ini menjadi target eliminasi 2030, itu adalah nol stigma. Jadi paling tidak dari tahun 2024, stigma itu seharusnya sudah mulai harus berkurang karena 2030 itu diharapkan sudah tidak ada stigma lagi kepada orang dengan HIV/AIDS,” kata Mirna.
UNAIDS telah menetapkan target eliminasi HIV pada 2030 melalui strategi 95-95-95, yakni 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV mendapatkan pengobatan ARV, serta 95 persen ODHIV yang sudah mendapatkan ARV mengalami penurunan viral load atau virus tersupresi. Pencapaian target tersebut juga menjadi komitmen bagi pemerintah Indonesia.
Pernikahan Dini Menurun, Hubungan Seks Meningkat
Pernikahan dini menurun atau rata-rata usia menikah di Indonesia semakin meningkat. Di sisi lain, hubungan seksual di luar nikah semakin banyak di kalangan remaja.
Hal ini menurut keterangan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dibanding 10 tahun lalu, BKKBN menyatakan usia pernikahan pada perempuan semakin meningkat. Dahulu, perbandingan pernikahan usia dini 40:1.000. Sementara saat ini perbandingan pernikahan dini 26:1.000. Hasto mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 26 dari 1.000 orang menikah pada usia 15 hingga 19 tahun.
"Bisa dibayangkan kalau setiap 1.000 perempuan itu yang hamil di usia 15-19 tahun itu ada 26. Kalau 100.000 sudah ada 2.600. Kalau sejuta sudah 26.000 ribu. Apa enggak diatasi seperti itu? Kan harus diatasi," kata Kepala BKKBN periode sebelum ini, Hasto Wardoyo, belum lama ini.
Apabila dahulu perempuan rata-rata menikah pada usia di bawah 20 tahun, kini rata-rata mereka menikah pada usia 23 tahun. Namun masih banyak orang hamil dan melahirkan pada usia kurang dari 19 tahun. "Makanya bagus, hanya yang perlu dikritik itu hubungan seksnya itu maju," katanya.
Rata-rata usia remaja mulai berhubungan seks pada usia 15 hingga 19 tahun meningkat. Pada perempuan, tercatat lebih dari 50% yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara pada laki-laki angkanya lebih tinggi yaitu di atas 70%. "Menikahnya rata-rata 22 tahun, tetapi hubungan seksnya 15-19 tahun, jadi perzinahan kita meningkat. Ini pekerjaan rumah untuk kita semua," kata Hasto.
Menggunakan Alat Kontrasepsi
Hasto menyarankan bagi orang yang menikah pada usia kurang dari 20 tahun untuk menggunakan alat kontrasepsi ketika melakukan hubungan seksual. Perempuan dengan usia kurang dari 20 tahun berisiko saat hamil. Hal itu berdampak pada banyaknya bayi lahir prematur, kematian bayi, dan kematian ibu karena pendarahan.
"Jadi kematian bayi dan ibu tinggi kalau masih banyak orang hamil dan melahirkan di bawah 20 tahun," katanya.
BKKBN sudah sejak lama membagikan alat kontrasepsi kepada masyarakat secara gratis. Alat kontrasepsi itu dibagikan melalui klinik, rumah sakit, dan bidan praktik mandiri yang bekerja sama dengan dinas kesehatan di kabupaten atau kota. "Kegiatan itu sudah jalan. Jadi tidak ada masalah, tinggal dikuatkan," kata Hasto.
Dukungan Moral Keluarga Bagi Penderita HIV/AIDS
Dokter spesialis neurologi dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON), Adisresti Diwyacitta, mengatakan dukungan moral dari keluarga sangat dibutuhkan bagi penderita HIV/AIDS, terutama yang mengalami komplikasi, sehingga dapat meringankan beban psikis mereka.
“Pasien itu mengetahui penyakit HIV sendiri sudah berat, apalagi mengalami masalah neurologis (komplikasi neurologis) misalnya kelemahan satu sisi tubuh di mana untuk bergerak saja sulit. Jadi, bantuan moril dan bantuan secara fisik dari keluarga itu sangat dibutuhkan,” kata Adis.
Keluarga dapat membantu memantau tingkat kepatuhan penderita dalam meminum obat ARV dan obat-obat pendukung lainnya serta memastikan asupan gizi pada penderita tercukupi. Adis juga mendorong pihak keluarga untuk memiliki kemampuan mencari ilmu pengetahuan yang valid dan tepat terkait dengan pengobatan HIV/AIDS.
“Kalau untuk masyarakat sendiri, sama. Sebenarnya dukungan moril juga dibutuhkan. Maksudnya, jangan sampai mengucilkan atau memandang sebelah mata pasien-pasien HIV. Diharapkan juga bisa memberikan kesempatan yang sama terhadap pasien-pasien HIV layaknya orang normal. Jangan sampai karena HIV, jadi tidak berhak untuk bekerja,” ujar Adis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: positif (100%)