Sentimen
Positif (100%)
23 Des 2024 : 09.38
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Ancol, Kramat, Situbondo, Surabaya

Kasus: covid-19

Partai Terkait
Tokoh Terkait

Kemelut Jam’iyah dan MLB NU

23 Des 2024 : 09.38 Views 9

Rmol.id Rmol.id Jenis Media: Nasional

Kemelut Jam’iyah dan MLB NU


Kala itu, Rais ‘Am Syuriah PBNU, Kiai Miftahul Akhyar, dan Katib ‘Am Syuriah PBNU, Gus Yahya (begitu panggilan populernya), dengan dibantu beberapa tokoh, gencar menggelorakan spirit Muktamar, yang memang tersendat. Kenapa? Karena kala itu, negara belum pulih dari serangan wabah dunia, Covid-19.

Maka itu, event untuk mengumpulkan orang banyak, belumlah siap. Itu pula teman-teman Perserikatan Muhammadiyah, tak serta merta melakukan muktamar, meski sejujurnya, kedua ormas besar Islam di nusantara itu, sama-sama sudah habis masa kepengurusannya.

Saya sendiri, kala itu, yang masih berstatus sebagai Katib Syuriah PWNU Kalimantan Selatan sejak 2018, kemudian ijtihad, konsultasi sana-sini, meminta saran dan nasehat dari para masyayikh dan ulama-ulama pesantren, menyikapi pro kontra terhadap akan dilaksanakan Muktamar. Tanpa terasa, saya langsung teringat kejadian 2008, saat bergeloranya spirit Muktamar PKB Ancol, saingan Muktamar PKB Parung. Saya hadir di Ancol itu, yang berujung, Muktamar PKB, yang kemudian diakui negara.

Bercermin dari kejadian itu, saya ikut menggelorakan Muktamar NU yang dimotori elite Syuriah NU, Rais ‘Am PBNU Kiai Miftahul Akhyar, dan Katib ‘Am Gus Yahya. Apalagi mereka sudah menunjuk salah satu Ketua PBNU dan Wakil Sekjen PBNU, untuk hal-hal yang terkait dan berurusan dengan posisi institusi Tanfidziah PBNU. Setelah sempat beberapa hari ada polarisasi jajaran Syuriah dan Tanfidziah, akhirnya ada kesepakatan, Muktamar dilakukan bersama, dan Lampung sebagai lokasinya.

Andai saja Ketua Umum PBNU kala itu, Prof KH Said Aqil Siraj dan jajaran beliau, bersikeras tanpa kompromi, maka polarisasi PBNU pasti berkepanjangan, bertahun-tahun. Kiai Said berjiwa besar atas gerakan elite Syuriah itu, hingga kini beliau diam saja ketika kelompok mereka tersingkirkan.

Kondisi ini berbeda jauh saat PBNU dilanda konflik pasca Pemilu 1982. Pengabaian pimpinan PPP (John Naro cs), partai era Orde Baru yang didirikan NU, terhadap tokoh-tokoh NU, membuat para kyai hebat kala itu mendatangi Ketua Umum PBNU, Allah yarham KH Idham Chalid, di Cipete. Kiai Idham Khalid selain Ketua Umum Tanfidziah PBNU, juga merangkap Presiden PPP, lembaga strategis di partai Islam tersebut

Tetapi karena posisi Kiai Idham tidak mampu berhadapan dengan pimpinan PPP lainnya, maka para kyai itu meminta Ketua Umum PBNU selama 27 tahun itu untuk mundur.

Sebagai santri, tokoh NU asal Kalimantan Selatan itu pun mundur, melalui secarik kertas. Masalahnya, sehari setelah berita kemunduran politisi NU itu muncul di media, sejumlah pendukungnya tak terima. Kyai Idham Chalid pun diminta mencabut pengunduran diri itu. Sejak itu, polarisasi di tubuh NU antara Kelompok Cipete (Kiai Idham dkk) versus Kelompok Situbondo (pendukung Kiai sepuh) tak terhindarkan. Hingga terjadilah Muktamar NU ke-27 di Situbondo, berakhirlah masa kepemimpinan politisi tiga zaman tersebut.

Apa yang terjadi hari ini adalah sebuah kilas balik. Ya buat jam’iyah NU, juga buat elite PBNU hari ini. Jika mereka mencintai NU dengan tulus dan ikhlas, ikutlah jejak Kiai Idham Chalid. Meski dilanda dilema yang sulit, ia memilih damai. Walau ia sudah mencabut surat pengunduran dirinya, itu semata agar para pendukungnya, salah satu aktornya politisi Kiai Chalid Mawadry, tidak rusuh. Padahal Kiai Idham Chalid belum tentu bersalah. Tetapi ia memilih damai, di arena muktamar pun beliau tak hadir ke Situbondo. Beliau Cuma sampai Surabaya, buat mendinginkan pendukungnya.

Lantas bagaimana seharusnya? Ya, seharusnya Kiai Miftahul Akhyar dan Gus Yahya, menyadari suasana sosiologis yang berkembang hari ini. Baik yang terkait dengan situasi lapangan, atau yang berkaitan dengan relasi kenegaraan. Di saat psikologi mayoritas umat Islam di negeri ini, terlebih jamaah NU, serta mayoritas warga nusantara, mulai ada kesadaran terhadap rasa nasionalisme yang baik, dengan memberikan penghargaan pada tokoh-tokoh negeri yang sudah mulai nampak prestasinya, justru kedua elite PBNU itu masih berpikiran model masa lalu. Contoh dalam kasus eksistensi kaum habaib, jelas-jelas betapa banyak perilaku mereka yang tak patut buat dijadikan uswah hasanah, kedua elite NU itu malah suka meng-“goblok-goblok”-an ummat sendiri, yang nanya argumen logis untuk mempercayai narasi-narasi yang diajarkan kaum habaib, yang secara akal sehat (tak usah kita tinjau dari sisi doktrin agama), tidaklah nalar.

Bagi jam’iyah NU, elite PBNU hari ini bukan tipe leader yang berhajat membina umat dengan baik dan ikhlas. Ini jelas dari sikapnya yang sejak memimpin PBNU tak ada agenda tour keliling nusantara, misalnya penguatan jam’iyah, ekonomi, sosial politik, atau ideologi ahlussunnah wal jamaah (Aswaja), dan sebagainya. Sesuatu yang berbeda jauh jika dibanding dengan model kepemimpinan almarhum Kiai Hasyim Muzadi dan Kiai Said Aqil Siraj, yang rela berkunjung ke pelosok-pelosok pedalaman, yang jalan menuju daerah itu saja sangat susah, bahkan ada yang harus naik kapal kecil. Kedua pemimpin yang disebut terakhir ini sangat tegas menjaga ideologi aswaja bersama warga NU. Apa yang mereka lakukan, selain kepentingan jam’iyah, juga kepentingan dakwah, yang memang tak boleh mati. Melalui dakwah, akan selalu ada penguatan doktrin dan ideologi NU.

Sementara Ketua PBNU hari ini, sejak sosialisasi “melamar pekerjaan” di PBNU, memilih mendatangi jamaah NU dengan naik pesawat jet pribadi. Paradok jauh dengan para ulama kampoeng, yang umumnya masih naik motor butut.

Ironisnya, itu juga milik seorang pengusaha tambang, yang belakangan bermasalah secara hukum. Diduga, kesediaan pengusaha tersebut, yang belakangan sempat menjadi Bendahara Umum PBNU, semata karena ada kepentingan “udang di balik batu” dalam ber-NU. Karena ternyata, karier NU-nya, bukan dimulai dari IPNU atau PMII.

Kejengkelan para tokoh NU daerah lainnya, selain mereka yang berstatus sebagai aparat PNS Kemenag, adalah penyingkiran dan penganuliran terhadap tokoh-tokoh potensial di daerah, hanya karena dianggap berpeluang “susah diatur”. Itu sebabnya, ada beberapa kejadian, konferensi wilayah atau cabang yang kemudian dianulir, dibatalkan, dibuat nggantung. Kondisi ini jelas menggambarkan, tak ada niat elite PBNU hari ini untuk menyelamatkan NU dari berbagai rintangan. Karena mereka memilih ada daerah yang dibiarkan vakum, tanpa kepemimpinan, selama belum ada orang yang selalu full sami’na wa atha’na pada mereka.

Dalam konteks bernegara pun mereka sedang tak dalam posisi baik-baik saja. Lihat saja rezim Prabowo-Gibran sekarang. Hajat mereka agar perpanjangan tangan mereka masih ada di kabinet tak kesampaian. Padahal, untuk suksesnya muktamar Lampung 2021 lalu, karena ada sebuah departemen yang mereka gunakan, buat konsolidasi dukungan.

Oleh karena itu, harus ada kesadaran dari semua elemen NU di seluruh nusantara, bahkan seluruh dunia, untuk menyelamatkan NU dari beragam kendala dan handicap yang bisa membuat NU menjadi setback ke belakang, ke tahun yang kita menjadi susah bersama, jam’iyah dan jamaah. Kehadiran “Penyelamat Organisasi” NU yang dimotori sejumlah tokoh NU Nusantara, seperti Gus Salam (Pimpinan Pesantren Denanyar, Jombang) dan lainnya, bisa disebut iradah Allah SWT, ketimbang NU kembali memunculkan banyak masalah.

Pilihan Muktamar Luar Biasa (MLB) menjadi jalan keluar terhadap sekian problema yang kini melanda NU. Kekecewaan para tokoh NU daerah yang jarang diterima elite PBNU saat mereka silaturahim ke Kramat Raya, saatnya dihentikan. NU tetap menjadi milik umat, dan selalu melayani umatnya. Insya Allah, MLB menjadi solusi mengatasi beragam aneka kemunduran yang kini sedang melanda jam’yah Nahdlatul Ulama, Insya Allah. Wallahu a’lam bi as-shawab!


*Penulis adalah Anggota Presidium Penyelamat Organisasi NU, Ketua PWNU Kalsel Periode 2007–2017, Katib Syuriah PBNU Periode 2021-2026 

Sentimen: positif (100%)