Sentimen
Undefined (0%)
22 Des 2024 : 07.35
Informasi Tambahan

Kasus: PHK

Tokoh Terkait

Yakin Perekonomian Tetap Terkendali Meski PPN 12 Persen, Ini Alasan Pemerintah

22 Des 2024 : 07.35 Views 8

Espos.id Espos.id

Yakin Perekonomian Tetap Terkendali Meski PPN 12 Persen, Ini Alasan Pemerintah

Esposin, JAKARTA — Pemerintah menjamin perekonomian tetap terkendali seusai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, menjelaskan inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di level 1,5–3,5 persen.

"Inflasi saat ini rendah di 1,6 persen. Dampak kenaikan PPN ke 12 persen adalah 0,2 persen," ujar Febrio.

Sementara terhadap pertumbuhan ekonomi, Febrio menyebut dampak kenaikan PPN tak begitu signifikan.

Dia optimistis pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5 persen.

Sedangkan untuk 2025, pertumbuhan ekonomi bakal dikejar untuk sesuai target APBN sebesar 5,2 persen.

Salah satu faktor pendorong optimisme itu adalah berbagai stimulus yang telah disiapkan Pemerintah.

"Tambahan paket stimulus bantuan pangan; diskon listrik; buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur tidak bayar pajak penghasilan (PPh) setahun; pembebasan PPN rumah; dan lain-lain akan menjadi bantalan bagi masyarakat," tutur Febrio.

Sementara itu, Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

Terkait stimulus, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

Tidak Cukup

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen.

“Insentif yang sudah diberikan sebagai kaitannya dengan PPN 12 persen itu dibutuhkan, tapi menurut saya itu tidak cukup menjawab semua permasalahan yang ada sekarang,” ujar Mohammad Faisal di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan permasalahan yang muncul di industri sekarang adalah menurunnya permintaan akibat menipisnya jumlah kelas menengah yang merupakan pendorong konsumsi dalam negeri.

Selain itu, ia menyoroti periode pemberian insentif yang terlalu pendek, misalnya hanya dua bulan untuk diskon tarif listrik sebesar 50 persen.

“Potongan tarif listrik 50 persen untuk (pengguna daya listrik) 450 VA (voltampere) sampai 2200 VA, kalau tidak salah ya, nah itu sebetulnya bagus, karena (kebijakan) itu sudah menyasar kelas (menengah), tapi sayangnya (hanya) dua bulan gitu,” ucapnya.

Faisal menuturkan insentif yang diberikan untuk industri padat karya juga diperkirakan belum cukup untuk meredam dampak kenaikan PPN tersebut karena sudah terlalu banyak sektor industri yang terpuruk, seperti industri tekstil dan industri alas kaki.

Meskipun pemerintah memberikan insentif khusus untuk industri padat karya, ia menyatakan bahwa daya beli masyarakat yang masih lemah membuat pemberian insentif tersebut menjadi tidak banyak berdampak.

Ia mengatakan kondisi tersebut tidak ditangani secara hati-hati, maka kenaikan PPN tersebut bisa saja meningkatkan potensi PHK.

Tidak hanya insentif, Faisal menuturkan bahwa diperlukan juga kebijakan yang dapat melindungi produk-produk dalam negeri agar permintaannya tidak semakin menurun.

Berdasarkan kajian pihaknya, barang-barang impor dari China banyak yang dibanderol separuh atau bahkan kurang dari separuh harga produk dalam negeri.

Dia pun meminta pemerintah untuk memperketat kontrol terhadap produk-produk impor agar produk dalam negeri masih dapat bersaing.

“Karena di sana [China] sendiri kan ada subsidi, ada dumping bahkan begitu ya. Belum lagi yang masuk lewat cara tidak benar, nah masalahnya kan masuknya itu bukan hanya legal, tapi juga ilegal,” imbuh Faisal.

Sentimen: neutral (0%)