Sentimen
Undefined (0%)
21 Des 2024 : 07.30
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam, Bebek

Kab/Kota: Boyolali, Jati

Kasus: pengangguran

Kemangi

21 Des 2024 : 07.30 Views 6

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Kemangi

Aku akan berkisah yang semoga berujung hikmah. Sebuah kisah yang sungguh-sungguh terjadi. Perihal peristiwa demi peristiwa selama sembilan tahun pernikahanku.

Istriku bernama Kemangi. Benar, sederet huruf itu tertulis di kartu KTP-nya yang berlaku seumur hidup. Sebuah nama yang jarang ada dan baru kalian dengar.

Salah besar jika kalian mengira aku jatuh cinta padanya karena nama itu. Justru, aku jengah akan nama sok-sokan unik bin misterius itu. Setelah kupikir lagi, bukan salahnya juga punya nama itu. Bukankah orang tua yang memberinya nama?

Berat hati demi menghargai seorang kawan yang telah mengenalkannya padaku, aku berjanji bertemu dengan Kemangi. Memang waktu itu aku dikejar orang tua agar segera menikah. Sebetulnya, aku punya pacar dan beberapa perempuan yang dekat. Hanya, aku tidak yakin ingin menikahi mereka.

Tidak seperti namanya yang cukup cantik, Kemangi bagiku perawan tua yang jelek. Perawakannya pendek, kerempeng, bibir tebal, gigi tonggos, dan berkulit sawo matang. Meskipun katanya Kemangi sarjana, pula anak orang kaya, aku tidak bisa membohongi diri. Jelek tetaplah jelek.

Namun, entah mengapa, saat kali pertama berjumpa, aku yakin sekali nantinya harus menikah dengan perempuan itu. Walau saat itu aku tidak tahu alasan apa yang bisa memaksaku memperistri Kemangi.

Ini dimulai dari beberapa malam saat aku bermimpi aneh. Aku berada di meja makan dengan berbagai hidangan lezat. Ayam bakar, gurami bakar, lele goreng, bebek goreng, dan banyak lagi lainnya. Namun, bukannya lekas makan, aku malah mencari-cari kemangi. Sampai terbangun, aku tidak menemukan apa yang aku cari.

Satu bulan berselang setelah aku kenal Kemangi, aku putus dengan salah satu pacarku. Padahal pacarku yang satu itu kuunggulkan menjadi calon istriku. Sayangnya, ia seorang sanguinis yang suka bersenang-senang. Ia mudah bergaul dan senang bertualang. Mudah menyukai sesuatu dan mudah bosan.

Belum tentu aku menikahinya saja, ia sudah kerap berkisah tentang resepsi pernikahan mewah dari sepupu-sepupunya. Acap kali ia bercerita mengenai mahar dan seserahan saat teman-temannya menikah.

Kubayangkan apabila aku berumah tangga dengannya, aku akan dijadikannya mesin uang untuk mewujudkan keinginannya yang macam-macam. Apalagi kuyakini ia tidak akan bisa membuang kepribadiannya yang ingin selalu menjadi pusat perhatian.

Menurut artikel-artikel yang membahas mengenai karakter, aku yang seorang koleris seharusnya memilih wanita plegmatis sebagai istri. Si penyabar akan selalu meredakan ledakan kemarahanku. Si bijaksana yang akan membuatku lebih berhati-hati dalam bertindak. Si lamban yang akan membuatku sedikit mengurangi kecepatanku dalam melaju. Koleris dan plegmatis adalah kombinasi pasangan sempurna.

Aku kemudian memantap-mantapkan hati memilih Kemangi. Walaupun aku tidak menginginkan Kemangi, faktanya dialah yang aku butuhkan. Aku pun menghibur diri dengan berpikir bahwa rupa Kemangi yang jelek adalah keberuntunganku.

Perempuan semacam Kemangi tidak akan neka-neka. Apa pun yang akan dilakukan suami, ia akan dapat menerima. Hanya itu yang kubutuhkan dari seorang istri. Buktinya sewaktu aku melontarkan pertanyaan jebakan, ia bisa lolos dengan mudah.

"Aku tidak bisa memberimu uang. Kau tetap mau menikah denganku?" tanyaku selayak personalia mewawancarai calon karyawan.

"Soal uang, bisa kita cari bersama," jawab dia.

Memang sebuah jawaban klise. Perempuan lain yang tergila-gila padaku pasti juga menjawab serupa. Hanya saja, aku yakin ia tak asal menjawab. Kemangi punya potensi menjadi orang yang berdaya secara ekonomi. Jauh dari kesan wanita perampok harta suami dengan dalih nafkah, uang belanja, dan jajan anak.

Jebakan kedua juga dilewati mulus olehnya. Aku menceritakan tentang pacar-pacarku sebelumnya yang selalu melempar sinyal tentang mahar perkawinan. Hampir terang-terangan mereka memasang ambang batas. Jujur aku tak berkenan dengan keterusterangan seperti itu.

"Menurutku mahar itu hak prerogatif mempelai pria, jadi aku tidak akan ikut campur," tukas Kemangi menanggapi ceritaku.

Sekeliling menuduhku menikahi Kemangi lantaran latar belakang keluarganya. Bapaknya mantan kepala desa, sawah ibunya luas, kakak-kakaknya sukses. Sama sekali semua itu bukan poin utama.

Bagiku latar belakang keluarganya adalah diskon kecil. Tidak ada pun tak mengapa. Namun, jika ada tentu hanya keuntungan kecil yang tidak berarti. Toh saat kupersunting, Kemangi adalah pengangguran. Hampir tujuh tahun lontang-lantung mencari pekerjaan.

Selepas dua bulan, aku mantap menikahi Kemangi. Mahar pernikahan kami hanya seperangkat alat salat berbahan nilon tipis, berharga murah serta dibungkus tiada istimewa. Pula seserahan yang keluargaku bawa serbaminimalis yang cukup ditata di sebuah meja kecil.

Uang antaran yang kupersiapkan di amplop juga tidak seberapa. Aku sengaja berbuat seperti itu sebagai konsekuensi atas jawaban Kemangi.

Setelah menikah, aku semakin tahu bahwa Kemangi terlalu rendah diri. Aku memakluminya karena selain kekayaan dari orang tuanya, ia tidak memiliki hal lain untuk dibanggakan. Walau perihal soal kekayaan pun, Kemangi tiada sekali-kali berani membanggakan karena menurutnya itu semua bukan miliknya.

Selang sebulan pernikahan, kami mulai sering bertengkar. Bermula dari hal remeh-temeh hingga membesar. Kadang aku merayunya lebih dulu walau tanpa sepatah maaf. Kadang, ia yang sadar diri mengiba maaf sembari mencium kakiku. Seringnya kami berbaikan dengan sendirinya.

Cara keras memang aku pilih untuk mengajarnya. Ia tidak akan sadar dan belajar apabila menggunakan cara lembut. Cacian, makian, serta hinaan senantiasa kuberikan untuk menempa mentalnya. Tak mau tahu, ia harus bisa beradaptasi dengan cara hidupku.

Tiap kali kulihat Kemangi kemudian tersedu-sedu di kamar. Menulis paragraf penuh kemarahan yang tidak terungkapkan di sebuah buku catatan. Tulisannya itu lalu disimpan di bawah kasur busa yang mudah kutemukan, tetapi tidak akan pernah kubaca. Kerap ia pegangi perut buncitnya dengan tangisan sendu. Mengajak bicara janinnya yang baru berumur empat pekan dengan terpatah.

Seringkali ia pulang ke rumah orang tuanya. Berjalan kaki atau minta jemput kakaknya karena ia tidak bisa mengendarai motor. Tiga hari atau sepekan kemudian ia baru kembali. Itulah mengapa ia kusebut manja juga pemarah karena yang kuucapkan langsung dia masukkan ke hati.

Setahun umur putri kecil kami, pertengkaran ganas tidak terelakkan. Lagi, ia pulang ke rumah orang tuanya. Sepertinya ia bertekad tidak akan kembali. Katanya ia sudah sakit hati betul hingga geming saat kutawarkan perubahan. Bahkan janjiku menafkahi tidak dihiraukan.

Lima tahun kami berpisah rumah walau masih terikat pernikahan. Kami tidak mengunjungi satu sama lain. Aku tidak berinisiatif menyelesaikan, ia pun berpangku tangan.

Dalam lima tahun itu, Kemangi mencari kerja kembali. Ia membuang jauh gengsi gelar sarjananya. Ia rela bekerja sebagai buruh pabrik. Hingga kemudian, ia mendapat posisi cukup bagus sebagai anggota staf.

Seperti dugaanku, Kemangi tumbuh menjadi wanita mandiri. Dengan pemikiran yang telah berubah, ia datang kembali membawa lembaran baru. Ini bukan lagi soal aku dan Kemangi. Namun, ini lembaran baru bagi putri kecil kami. Rosemary butuh pengasuhan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Pemikiran Kemangi berkembang jauh lebih bijak. Sekali lagi, Kemangi menolak nafkah yang kutawarkan. Ia mengatakan soal materi bisa mencari sendiri. Bahkan, ia membuktikan itu dengan tak pernah mencoba meminta hal-hal sekecil apa pun padaku.

Jika kuberi, ia menerimanya. Tetapi jika tidak diberi, ia diam saja. Suatu kali ia menyatakan kesetujuannya bahwa istri adalah orang lain bagi suami. Ia mengasumsikan dirinya sebagai suami yang belum tentu ikhlas memberikan hasil jerih payahnya secara cuma-cuma kepada orang lain yang kebetulan dijadikan istri. Hanya saja ia selalu menekankan bahwa Rosemary adalah darah daging yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.

Kemangi pada akhirnya memang menjadi sebagaimana kemangi yang bermanfaat menghilangkan bau tak sedap. Ia akan berhati-hati berbicara denganku, takut menyinggung atau menyakitiku. Ia akan bersikap sewajarnya di mata tetangga. Seolah-olah rumah tangga kami normal sebagaimana rumah tangga lain.

Hampir dua tahun kami tidak bertengkar. Hingga tiba-tiba ia memutuskan resign tanpa bermusyawarah. Jelas aku kecewa. "Mau makan apa kalau kau berhenti kerja?" makiku. Kutegaskan, aku masih bukan seorang yang dermawan.

Kemangi diam. Tidak protes. Ia tak banyak bicara kecuali menekankan berusaha membangun bisnis sendiri. Aku pesimistis dengan perjuangannya walau di belakang layar aku mendoakan. Aku jadi lebih sering memberikan uang kepada Rosemary walau masih dengan jumlah yang kecil. Aku tidak suka dituntut apalagi diandalkan.

Belakangan, entah aku merasa Kemangi seolah-olah memberiku peluang langka. Seakan-akan ia menguji kepantasanku menjadi ayah dari Rosemary. Sengaja ia beberapa waktu meninggalkan Rosemary bersamaku, sementara ia pura-pura tidak peduli.

Tentu saja caraku mengasuh Rosemary tidak akan sama sebagaimana selama ini Kemangi melakukannya. Sandang, pangan, dan sekolah yang kuberikan sesuai tabiatku. Apabila ada yang gratis atau murah selagi pantas, buat apa membuang-buang uang dengan janji kualitas.

Namun, cara pandangku patah pada hari itu. Siang itu, aku menutup warungku karena hendak mengunjungi Rosemary. Hampir tiga bulan aku tidak berjumpa dengannya. Betapa terperanjat aku ketika ibu mertuaku mengatakan Rosemary sudah pindah ke Jerman sebulan lalu. Seorang kerabat yang tinggal di Jerman dan belum memiliki keturunan menawarkan diri sebagai orang tua asuh. Sungguh kelancangan, aku sebagai ayah tidak diberi tahu.

Sementara Kemangi? Ia berani mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Ia memasang behel, menyulam alis, dan melakukan perawatan tubuh menyeluruh. Ia aktif di berbagai komunitas demi mencari jati diri dan relasi. Bisnis yang dimulainya dari nol sudah menunjukkan kemajuan yang pantas.

Entah, di antara rasa geram, muncul ketakutan Kemangi dan Rosemary akan meninggalkanku. Dua orang yang kusia-siakan namun sejatinya aku takut kehilangan.

 

Endang S. Sulistiya menetap di Boyolali. Alumnus FISIP UNS. Tergabung dalam komunitas DSI (Diskusi Sahabat Inspirasi). Menulis cerpen berbahasa Indonesia maupun cerpen berbahasa Jawa. Cerpen-cerpennya dimuat di media cetak dan online.

 

Sentimen: neutral (0%)