Sentimen
Paradoks Transisi Energi Bersih
Espos.id
Jenis Media: Kolom
![Paradoks Transisi Energi Bersih](https://imgcdn.espos.id/@espos/images/2024/12/20241218214348-martin-dennise-silaban.jpg?quality=60)
Perubahan iklim adalah ancaman terbesar abad ini yang mendorong dunia mempercepat transisi energi bersih. Negara-negara mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Transisi ini diharapkan menjadi solusi krisis iklim.
Ironisnya, kebijakan ini sering kali menciptakan masalah baru, terutama bagi masyarakat adat di kawasan eksplorasi energi terbarukan. Sebagai negara dengan potensi energi panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia menargetkan kapasitas 23.965 MW dalam proyek strategis nasional (PSN) guna mendukung ambisi energi terbarukan.
Energi geotermal dianggap solusi transisi karena emisinya lebih rendah dibanding bahan bakar fosil, namun proyek-proyek ini sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Tanah adat diambil alih demi pembangunan; meminggirkan budaya, spiritualitas, dan keberlanjutan masyarakat adat.
Blair et al. (2023) menjelaskan fenomena ini sebagai "ekstraktivisme hijau," yakni eksploitasi sumber daya alam yang dibungkus narasi keberlanjutan.
Proyek-proyek geotermal sering menyebabkan deforestasi, pencemaran air, hingga pemindahan paksa. Ironisnya, masyarakat adat, penjaga harmoni alam, menjadi korban dari kebijakan yang diklaim "ramah lingkungan."
Kurangnya penerimaan sosial (social acceptance) terhadap proyek energi bersih sering memicu konflik. Penolakan masyarakat bukan hanya soal lingkungan atau teknis, tetapi mencerminkan ketidakadilan sistemik dalam perencanaan transisi energi.
Negara kerap menanggapi penolakan dengan represif, mengabaikan suara masyarakat yang hidup di tanah leluhur mereka. Ironi transisi energi bersih berakar pada fondasi ideologis triple eexus ideologi, yakni perpaduan high-modernity, green-developmentalism, dan new-developmentalism.
Dalam Seeing Like a State (1998), James Scott menggambarkan high-modernity sebagai keyakinan pada rasionalitas teknokratis yang mengabaikan dinamika lokal.
Ideologi ini didasarkan pada keyakinan kuat bahwa pengetahuan ilmiah dan teknis merupakan cara paling efektif untuk mengatur masyarakat dan menciptakan kemajuan.
Para perencana negara, birokrat, dan ahli yang terobsesi dengan prinsip rasionalitas ilmiah sering mengabaikan dinamika sosial dan kultural yang kompleks di masyarakat lokal.
Mereka melihat komunitas adat bukan sebagai subjek yang memiliki pengetahuan lokal yang berharga, melainkan sebagai objek yang harus "diperbaiki" agar sesuai dengan visi pembangunan yang dirancang secara teknokratis.
Ideologi ini kemudian berkembang menjadi green-developmentalism yang memadukan keberlanjutan lingkungan dengan agenda ekonomi. Meski terdengar mulia, pendekatan ini sering menjadi alat negara untuk memperkuat kontrol atas sumber daya.
Proyek geotermal, misalnya, bukan hanya menghasilkan energi, tetapi menopang kawasan wisata prioritas, seperti dalam paradigma new-developmentalism bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran dan deregulasi kebijakan sebenarnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial hanya menjadi klaim normatif tanpa implementasi nyata. Ketika triple nexus ideologi ini bersinergi, ketiganya menciptakan kerangka kebijakan yang menjadikan negara sebagai aktor utama dalam proyek transisi energi.
Fokus utamanya bukan pada keadilan sosial atau keberlanjutan ekologi, melainkan pada hasil ekonomi yang dihasilkan dari proyek-proyek tersebut.
Dalam praktiknya, paradigma ini tidak hanya mengabaikan masyarakat lokal, tetapi juga menghalalkan tindakan koersif untuk mengamankan proyek pembangunan energi bersih.
Di berbagai wilayah, proyek geotermal yang menghadapi penolakan dari masyarakat adat sering kali direspons dengan kriminalisasi, tindakan represif, dan bahkan kekerasan oleh aparat negara.
Narasi energi bersih menjadi ironi: solusi global untuk menyelamatkan bumi justru memperburuk kerusakan sosial dan ekologis di tingkat lokal.
Dekonstruksi terhadap triple nexus ideologi ini menjadi langkah penting untuk membuka ruang bagi pendekatan alternatif dalam transisi energi.
Sebuah transisi yang tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi dan efisiensi teknis, tetapi juga menghargai keberagaman sosial, budaya, dan ekologi.
Dengan memahami ironi ini, kita dapat mendorong dilakukannya dekolonisasi narasi energi bersih dan masyarakat lokal tidak lagi menjadi objek pembangunan, tetapi subjek yang berdaulat atas sumber daya mereka sendiri.
Pendekatan transisi energi saat ini terlalu teknokratis, memusatkan perhatian pada efisiensi teknis dan keuntungan ekonomi. Arturo Escobar melalui konsep dekolonisasi menawarkan kritik terhadap narasi dominan ini.
Proyek energi bersih sering kali mereplikasi logika eksploitasi industri fosil, mengorbankan manusia dan alam lokal demi tujuan pembangunan. Dekolonisasi berarti membebaskan transisi energi dari hegemoni modernitas kolonial.
Perspektif ini mengakui bahwa masyarakat adat memiliki cara pandang unik terhadap energi—bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi bagian integral dari ekologi dan spiritualitas. Energi harus dikelola dengan hati-hati, menghormati keseimbangan alam.
Dekolonisasi juga menantang struktur kekuasaan yang memusatkan kendali pada negara dan korporasi besar. Demokratisasi energi adalah kunci, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, sekaligus memperkuat kapasitas mereka mengelola sumber daya.
Proyek berbasis komunitas, seperti mikrohidro dan biomassa, bisa menjadi solusi kontekstual jika dirancang dengan partisipasi lokal. Dekolonisasi transisi energi bukan sekadar soal kebijakan, melainkan perubahan paradigma.
Energi bersih harus menjadi langkah nyata menuju keadilan sosial, bukan solusi palsu yang mengorbankan masyarakat rentan.
Dengan membongkar narasi hegemonik, kita dapat mendorong transisi yang menghargai keberagaman budaya, sosial, dan ekologi, serta memperjuangkan kesejahteraan bersama.
Hanya dengan cara ini transisi energi dapat benar-benar adil, manusiawi, dan inklusif, melibatkan masyarakat adat sebagai aktor utama, bukan korban kebijakan. Energi bersih harus menjadi simbol harmoni, bukan instrumen eksploitasi baru.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Desember 2024. Penulis adalah peneliti di SHEEP Indonesia Institute)
Sentimen: neutral (0%)