Sentimen
Undefined (0%)
20 Des 2024 : 19.37
Informasi Tambahan

Brand/Merek: Bata

BUMN: PLN

Grup Musik: iKON

Kab/Kota: Boyolali, Klaten

Asale: Sudah Berusia 101 Tahun, Ini Asal Sejarah Sumur Umum Kridanggo Boyolali

20 Des 2024 : 19.37 Views 12

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Asale: Sudah Berusia 101 Tahun, Ini Asal Sejarah Sumur Umum Kridanggo Boyolali

Esposin, BOYOLALI – Di tengah-tengah jantung kota Boyolali, berada di median jalan berbentuk segitiga tepatnya seberang pojok timur ikon Simpang Lima Boyolali, terdapat sebuah sumur umum dengan air jernih. 

Konon, sumur tersebut telah ada sejak zaman Belanda dan airnya belum pernah surut.

Warga bahkan pedagang sekitar Simpang Lima Boyolali silih berganti mengambil air dari sumur untuk kebutuhan pribadi hingga berjualan.

Sumur tersebut pada bagian atasnya berbentuk persegi bukan bulat, air di dalamnya jernih dan orang yang menimba hanya perlu waktu beberapa detik untuk mengambil air. 

Air terlihat jelas dari permukaan dan terlihat mudah dijangkau. Bahkan, air dalam sumur tersebut tak pernah habis walau warga sering ngangsu atau mencari air di sana.

Usut punya usut, sumur tersebut dibangun pada zaman pemerintahan Bupati KRMT Suronagoro. 

Espos.id melakukan penelusuran soal sejarah sumur umum Kridanggo yang dibangung pada 1920-an tersebut sampai menemukan anak laki-laki dari Suronagoro yaitu Soerjoagoest (Suryoagus).

Pria 88 tahun tersebut tinggal di Jalan Merapi, Pulisen, Boyolali. Pengalaman sebagai anak bupati dan pensiunan pegawai PLN, Agoest (Agus) dipilih warga sekitar menjadi RW. 

Pada usianya yang sudah mencapai 88 tahun, rambutnya wajar telah memutih, akan tetapi perawakannya masih tegak, wajahnya juga tak banyak keriput, dan yang terpenting ingatannya masih kuat mengingat peninggalan pembangunan sang bapak.

Agoest menceritakan Kasunanan Surakarta menugaskan ayahnya pada 1917 sebagai Kliwon atau bupati anom untuk mencari daerah yang bakal dijadikan kabupaten Boyolali. 

Mencari wilayah untuk Boyolali seperti Sawit, Banyudono, Simo, Wonosegoro, Selo, bahkan Prambanan, Klaten untuk disatukan menjadi kabupaten Boyolali hingga 1922. 

Sebelumnya, wilayah Boyolali hanya berada di sekitaran jantung kota saat ini.

Lalu, pada 1922 KRMT Suronagoro diangkat menjadi bupati Boyolali dengan wilayah yang lebih luas. 

Pada saat itu, beberapa pembangunan dilaksanakan dari kantor pemerintahan yang saat ini dikenal sebagai kantor kabupaten lawas, saat ini digunakan sebagai rumah dinas bupati Boyolali, masjid agung Boyolali, hingga pengairan di wilayah kota dengan membangun sumur, salah satunya Sumur Umum Kridanggo.

Ditemui di kediamannya, Agoest menceritakan ayahnya menjabat dari 1922-1940. 

Sumur Kridanggo dibangun oleh ayahnya pada 1923 atau setahun setelah menjadi bupati Boyolali. Sehingga, sumur tersebut telah berusia 101 tahun.

“Masyarakat dulu kan susah air, jadi dibuat ngangsu masyarakat. Mencari airnya kalau dulu pakai orang pintar, mana yang tahu sumber airnya banyak terus digali manual, dibuatnya hanya dua hari,” kata dia ditemui di rumahnya, Kamis (5/12/2024)

Semen yang digunakan dalam pembuatan sumur, tutur Agoest, yaitu bata merah yang ditumbuk dicampur air dan pasir untuk nglepo dinding sumur.

Ia menyampaikan hingga saat ini, warga masih menggunakan sumur tersebut untuk kebutuhan sehari-hari.

Tak hanya membuat sumur umum Kridanggo, sang ayah juga membuat sumur umum di kampung Sumberlerak, Siswodipuran.

Selain membangun sumur, Agoest menceritakan Suronagoro awalnya berkantor di rumah dinas dan kantor di Gedung PKK Boyolali. 

Ia lalu, membeli tanah dan membangun kantor bupati di jalan Merapi dengan nama Sengosewayan.

Mengetahui hal tersebut, Kasunanan Surakarta saat itu memerintah mencari tempat untuk dibuat kantor kabupaten. 

Setelah meditasi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa, ditunjukkan untuk membuat kantor kabupaten di Jalan Merbabu.

“Kantor pertama bupati ya itu [Sengosewayan] di Jalan Merapi [sisi selatan], lalu pindah ke kantor bupati yang ada di Jalan Merbabu [utara]. Bentuk keduanya juga sama, karena arsiteknya itu bapak semua, 1929 dibangung terus 1930 jadi, lalu kabupaten pindah ke Jalan Merbabu,” kata dia.

Setelah 1940, Suronagoro ditarik kembali ke Kasunanan Surakarta sebagai bupati nayoko penampingan atau menteri pertahanan di keraton. 

Saat itu posisi patih di Kasunanan Surakarta kosong, sehingga Suronagoro merangkap tugas sebagai patih.

Suronagoro akhirnya meninggal dunia pada 1961 dan dimakamkan di Desa Kiringan, Kecamatan Boyolali.

Sementara itu, terpantau pada Kamis pagi seorang pria sedang menimba air dari sumur umum Kridanggo. 

Ia membawa beberapa jeriken yang akan ia angkut dengan sepeda motornya.

Pria tersebut bernama Istar Abadi, ia mengaku sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek pangkalan yang biasa nongkrong di Pasar Boyolali Kota dan RS PKU Singkil Boyolali. 

Ia mengatakan setiap hari mengambil air dari sumur umum untuk dijual ke beberapa pedagang kaki lima.

Kegiatan tersebut dilakoni pria 57 tahun tersebut sejak 15 tahun lalu saat anak pertamanya masuk SMP, ia merasa membutuhkan uang lebih banyak. 

Saat itu, ia juga dimintai tolong pedagang kaki lima untuk mencarikan air. Dari satu warung, akhirnya warung-warung lain ikut meminta.

“Saya menyekolahkan tiga anak dengan tambahan uang dari menjual air ini, sehari dapat sekitar Rp80.000. Air ini saya hargai Rp3.000 per jeriken,” kata pria asal Karangkepoh, Banaran, Boyolali tersebut.

Ia menyebutkan banyak sekali warga yang juga mengambil air untuk dijual lagi atau kebutuhan sehari-hari. 

Bahkan, Istar menyebut pedagang kaki lima sekitar Simpang Lima Boyolali juga memanfaatkan air tersebut.

“Sumur ini sejak saya kecil sudah ada, sampai sekarang masih, airnya belum pernah habis, selalu ada. Katanya sih sumur ini sudah ada sejak zaman Belanda. Ada juga sumur umum di Sumberlerak, saya ambil di sana kalau di sini antre tapi airnya deras sini,” kata dia. 

Sentimen: neutral (0%)