Pelajaran Demokrasi dari Korea Selatan
Detik.com Jenis Media: News
Jakarta - Krisis politik yang terjadi di Korea Selatan berpuncak pada proses pemakzulan terhadap Presiden Yoon Suk Yeol menjadi salah satu momen penting yang menunjukkan dinamika dan tantangan yang dihadapi sebuah negara demokratis. Presiden Yoon memutuskan untuk mendeklarasikan keadaan darurat militer dengan dalih menjaga stabilitas keamanan nasional di tengah situasi yang ia klaim semakin genting. Namun, langkah tersebut segera memicu reaksi keras dari berbagai kalangan.
Masyarakat sipil turun ke jalan dalam demonstrasi besar-besaran yang memadati pusat-pusat kota, sementara parlemen merespons dengan cepat melalui prosedur pemakzulan formal. Saat ini, keputusan akhir berada di tangan Mahkamah Konstitusi, lembaga independen yang memegang otoritas tertinggi dalam menentukan keabsahan tindakan presiden tersebut. Kasus ini menjadi refleksi mendalam mengenai kekuatan sistem checks and balances di Korea Selatan.
Meski presiden adalah kepala negara dan pemerintahan, tindakannya tidak kebal terhadap pengawasan legislatif dan yudikatif. Mekanisme pengawasan yang kuat ini menunjukkan bahwa demokrasi Korea Selatan tidak hanya bergantung pada legitimasi pemilihan umum, tetapi juga pada peran berbagai lembaga yang berfungsi menjaga tatanan konstitusional. Namun, peristiwa ini mengingatkan bahwa demokrasi tetap rentan ketika seorang pemimpin mencoba menggunakan alasan darurat nasional untuk memperkuat posisinya secara sepihak.
Kuatnya Masyarakat Sipil
Peran lembaga independen dan kuatnya masyarakat sipil menjadi kunci utama dalam menghadapi krisis ini. Parlemen, yang merepresentasikan kehendak rakyat, bersikap tegas dengan memulai proses pemakzulan. Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal hukum tertinggi, akan memutuskan apakah tindakan presiden melanggar konstitusi.
Di luar lingkup lembaga formal, masyarakat sipil tampil menonjol melalui demonstrasi yang berkelanjutan serta kritik tajam dari media dan akademisi. Kesiapan masyarakat untuk bersuara menentang potensi penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan bahwa demokrasi hidup tidak semata pada aturan tertulis, tetapi juga pada kesadaran dan partisipasi publik.
Di Korea Selatan, tingkat literasi politik yang relatif tinggi serta tradisi masyarakat yang teredukasi secara politik telah membentuk kultur demokratis yang kuat. Hal ini menciptakan lingkungan di mana pelanggaran konstitusi atau tindakan otoriter sulit diterima tanpa perlawanan. Respons cepat dan terorganisasi dari publik menegaskan bahwa kekuatan demokrasi terletak pada kombinasi antara kelembagaan yang kokoh dan masyarakat yang sadar hak dan tanggung jawabnya.
Mengambil Pelajaran Berharga
Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari dinamika krisis di Korea Selatan. Salah satu poin utama yang dapat diadopsi adalah pentingnya memperkuat sistem checks and balances agar tidak mudah ditembus oleh kepentingan sepihak.
Jika parlemen, peradilan, dan lembaga penegak hukum di Indonesia dapat menjaga independensi serta memperkuat integritasnya, maka setiap tindakan eksekutif yang menyimpang dapat direspons secara konstitusional. Hal ini berarti penguatan peran lembaga-lembaga demokrasi yang bebas dari intervensi politik jangka pendek, sekaligus mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
Selain itu, literasi politik yang tinggi di kalangan masyarakat Korea Selatan menunjukkan bahwa pendidikan politik yang intensif dapat membantu menciptakan warga negara yang aktif dan kritis. Bagi Indonesia, hal ini menjadi pelajaran penting untuk memperluas akses pendidikan politik melalui berbagai saluran, seperti sistem pendidikan formal, pelatihan masyarakat, diskusi terbuka di ruang publik, hingga pemanfaatan media digital dan sosial.
Dengan meningkatkan tingkat literasi politik, masyarakat akan lebih peka terhadap ancaman otoritarianisme dan mampu menuntut akuntabilitas dari para pemimpin politik. Partisipasi aktif ini dapat mengurangi potensi manipulasi informasi atau tindakan-tindakan represif yang dapat menggerus demokrasi secara perlahan.
Tidak Mudah
Meski Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman Korea Selatan, proses penerapan tidaklah mudah. Tingkat literasi politik di sejumlah daerah di Indonesia masih rendah menjadikan sebagian masyarakat rentan terhadap disinformasi atau propaganda politik. Selain itu, kelembagaan demokrasi di Indonesia, meski telah berkembang sejak era Reformasi, masih menghadapi tantangan dalam menjaga independensi.
Intervensi elite politik, kepentingan ekonomi, serta pengaruh kelompok kepentingan tertentu dapat melemahkan kemandirian lembaga-lembaga tersebut. Polarisasi politik yang semakin tajam juga menjadi tantangan serius. Pertarungan narasi antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan seringkali menciptakan kebuntuan dialog, membuat proses checks and balances tidak dapat berjalan optimal.
Akibatnya, meskipun sistem demokrasi formal ada, penerapan prinsip-prinsipnya dapat tersendat oleh dinamika politik yang sarat kepentingan sempit. Dalam konteks ini, penting bagi Indonesia untuk mendorong dialog inklusif dan membangun semangat keterbukaan, sehingga proses pengawasan kekuasaan dapat berfungsi lebih baik.
Perbaikan Berkelanjutan
Pelajaran dari krisis Korea Selatan adalah bahwa demokrasi merupakan proses dinamis yang memerlukan pemeliharaan dan perbaikan berkelanjutan. Indonesia perlu memperkuat institusi-institusi penegak hukum dan konstitusi, memastikan transparansi dalam pengambilan keputusan, serta menumbuhkan budaya politik yang sehat. Hal ini mencakup penguatan hukum, pelatihan bagi pejabat publik, peningkatan profesionalisme birokrasi, serta penegakan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang merongrong prinsip demokrasi.
Upaya tersebut harus diiringi dengan mendorong masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam kehidupan politik. Melalui pendidikan politik yang merata dan dukungan media yang independen, masyarakat akan lebih berdaya untuk menilai kebijakan publik, mengkritisi tindakan pejabat, serta mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya menjadi sistem pemerintahan, tetapi juga menjadi nilai yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari rakyat.
Krisis politik di Korea Selatan menunjukkan bahwa demokrasi dapat menghadapi ancaman serius jika pemimpinnya berupaya memanfaatkan keadaan darurat demi memperkuat kekuasaan. Namun, peristiwa ini juga membuktikan bahwa dengan sistem checks and balances yang efektif, institusi yang independen, serta masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokrasi dapat bangkit dan bertahan.
Bagi Indonesia, pelajaran ini menegaskan bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang statis atau selesai setelah pemilihan umum. Sebaliknya, demokrasi adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan kesadaran, komitmen bersama, serta usaha konsisten dalam memperkuat institusi dan meningkatkan literasi politik. Dengan mengadopsi nilai-nilai dan praktik-praktik positif yang ditunjukkan oleh Korea Selatan, Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih kuat, tangguh, dan responsif dalam menghadapi tantangan zaman.
Arif Darmawan dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman
(mmu/mmu)
Sentimen: positif (94.1%)