Sentimen
Undefined (0%)
18 Des 2024 : 10.07
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Indonesia

Tokoh Terkait
Nila Moeloek

Nila Moeloek

Dampak Medsos di Balik Masalah Kesehatan Mental Anak Muda

18 Des 2024 : 10.07 Views 4

Espos.id Espos.id Jenis Media: Lifestyle

Dampak Medsos di Balik Masalah Kesehatan Mental Anak Muda

Esposin, JAKARTA — Studi terbaru oleh HCC dan sejumlah pihak terkait menunjukkan 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental, dengan 3 dari 10 pelajar sering marah-marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.

"Data temuan 34 persen risiko gangguan mental emosional ini merupakan indikasi gangguan kesehatan jiwa remaja di kota besar seperti Jakarta dan dapat dijadikan angka prevalensi, namun yang lebih penting adalah hasil skrining ini menggambarkan indikasi gangguan emosional dan kesehatan mental pelajar SMA di Jakarta," kata Peneliti Utama Health Collaborative Center (HCC) dr. Ray Wagiu Basrowi, Selasa (17/12/2024) seperti dilansir Antaranews.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Ray menambahkan terdapat 10 persen pelajar SMA yang merasa rentan dengan kondisi status kesehatan mentalnya. Hal ini didasarkan dari perspektif dan pemaknaan remaja terkait risiko kerentanan diri untuk mengalami masalah gangguan kesehatan mental.

Kondisi ini, katanya, menjadi tanda bahwa kesadaran diri remaja terhadap kesehatan mental sebenarnya masih rendah, meskipun sudah banyak informasi mendalam yang tersedia mengenai kesehatan mental.

Sejumlah temuan penting lainnya, kata dia, para pelajar SMA yang menjadi responden pada penelitian ini juga cenderung lebih memilih teman untuk menjadi tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka, bukan guru di sekolah.

Bahkan, dia menambahkan, hampir 7 dari 10 (67 persen) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang Bimbingan Konseling (BK), terlebih untuk melakukan konseling, padahal guru sadar akan risiko gangguan emosional dan kesehatan jiwanya.

"Ini membuktikan bahwa peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi," katanya.

Dalam keterangan yang sama, Peneliti dari lembaga Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) Prof. Nila Moeloek menilai pendekatan peran teman sebaya sebagai teman konseling perlu dilakukan secara hati-hati, karena pelajar usia remaja tetap merupakan individu yang masih perlu bimbingan.

"Sehingga konsultasi antarsesama tetap harus disiasati ruang lingkup sebagai saluran bercerita saja dan bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling, karena nantinya akan ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat sebab mereka tetap harus dibimbing, dan ini juga merupakan tugas orang tua, keluarga, serta guru di sekolah,” kata Nila.

Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN Heru Komarudin mengatakan hasil penelitian tersebut dijadikan basis rekomendasi untuk Zona Mendengar Jiwa, sebuah institusi pendidikan, yang harapannya dapat diterapkan oleh pihak sekolah terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, dan konseling sebaya serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah.

"Rangkaian ini sejalan dengan upaya negara dalam membentuk generasi muda yang sehat fisik dan mental dalam menyongsong Indonesia Emas 2045," ujar Heru.

Dampak Medsos

Sebelumnya, tim peneliti kedokteran komunitas dari Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan pemanfaatan media sosial dan jejaring informasi dunia maya yang tidak terkontrol mengancam kesehatan jiwa anak muda Indonesia.

Anggota tim peneliti kedokteran komunitas Ray W. Basrowi di Jakarta, Selasa, mengatakan pemanfaatan media sosial yang tidak terkontrol berimplikasi pada kesehatan jiwa anak muda, umumnya pada rentan pada usia 17-27 tahun ke atas.

Bahkan pada indikator lainnya di banyak penelitian, kalangan dokter menemukan penggunaan media sosial pada gawai pintar juga berimplikasi dalam melambatnya tumbuh kembang kognitif anak usia pertumbuhan 0-1000 hari pertama.

Salah satunya, ia mencontohkan, gangguan kesehatan jiwa akibat pemanfaatan media sosial tak terkontrol dialami oleh seorang berinisial B.

B yang merupakan konten kreator cukup populer itu, atas keterlibatan yang aktif, didiagnosa oleh dokter mengalami gangguan bipolar atau bipolar suicide conideration.

Gangguan bipolar adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan ekstrem dalam suasana hati, energi, dan tingkat aktivitas.

Orang dengan gangguan bipolar dapat mengalami episode mania (suasana hati yang sangat tinggi dan penuh energi) dan depresi suasana hati yang sangat rendah dan tidak berenergi.

Ray menyebutkan akibat penyakit bipolar tersebut yang bersangkutan harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup, jika tidak akan memengaruhi konsentrasi atau aktivitas sehari-hari.

"Yang bersangkutan adalah salah satu contoh dari banyak penyintas lainnya. Data dari banyak penelitian di dalam negeri juga menemukan 25 persen mahasiswa baru mengalami ansietas, 32 ibu muda mengalami depresi post-partum bahkan 32 persen kasus perceraian disebabkan akibat gangguan jiwa ini," kata dia.

Peredaran informasi dengan tingkat kredibilitas minim yang masif terkait suatu penyakit juga menimbulkan sikap self-diagnosis juga menjadi indikator penyebab tingginya kasus gangguan jiwa di masyarakat.

Menurut dia, sebanyak 82 persen responden yang terdiri dari akademisi, psikolog, dokter spesialis, praktisi kesehatan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, sosio-antropolog, budayawan menyatakan bahwa isu kesehatan jiwa sangat penting.

Oleh sebab itu tim peneliti kedokteran komunitas menilai pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis bersama para ahli kesehatan dan sosio-antropolog untuk mengatasinya jangan sampai pemanfaatan media sosial atau informasi di dunia maya mengganggu semakin banyak kesehatan anak muda.

"Bagaimanapun anak muda adalah aset yang harus dilindungi sebagai modal untuk mencapai Indonesia emas 2045," kata dia.

Komunikasi

Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan orang tua perlu menciptakan komunikasi yang baik dengan anak guna mencegah dampak buruk penggunaan media sosial yang mengkhawatirkan.

"Pendampingan orang tua masih diperlukan. Sekarang banyak fitur dI media sosial atau aplikasi yang bisa mempermudah pengawasan orang tua. Namun yang lebih penting adalah menjalin komunikasi langsung dengan anak," kata Vera seperti dilansir Antara beberapa waktu lalu.

Menurut Vera, orang tua perlu menciptakan komunikasi rutin yang hangat dan terbuka dengan anak termasuk membicarakan apa saja yang anak temui di media sosial. Sebaliknya, orang tua juga menceritakan apa yang ditemui di media sosial guna tercipta komunikasi dua arah yang menyenangkan.

"Saling bertukar cerita santai saja, dengan harapan anak dapat mendengarkan masukan dari orang tua tentang dampak-dampak media sosial dengan lebih terbuka," ujar Vera.

Vera juga mengatakan, menciptakan komunikasi yang baik dengan anak akan sangat mungkin memudahkan orang tua untuk mengajarkan bahwa mereka harus menggunakan media sosial dengan bijak sebab apapun yang ditulis dan diunggah akan menjadi konsumsi publik. Dengan demikian, orang tua juga akan mudah menerapkan batasan-batasan dalam bermedia sosial.

"Adapun yang perlu dibatasi adalah durasi berapa lama boleh main media sosial, kapan waktu yang diperbolehkan, dimana saja boleh dan tidak boleh main media sosial, lalu seleksi konten yang bermanfaat, serta apa tujuan memiliki media sosial," ujar Vera.

Senada dengan Vera, psikolog Samanta Elsener juga mengatakan hal serupa. Menurut dia, orang tua perlu melihat, mengamati, mengawasi, dan mengarahkan anak-anak supaya mengonsumsi konten-konten mendidik yang berguna bagi kemajuan mereka.

Selain itu, pengawasan juga penting guna mencegah anak memiliki perilaku destruktif akibat terlalu banyak bermain media sosial.

"Menggunakan media sosial yang terlalu berlebihan itu menimbulkan perilaku destruktif kalau memang kita menggunakan media sosial ini tanpa ada batasan dan tanpa ada filtering. Kalau batasan dan filtering-nya sudah dilakukan, artinya kita juga mengkonsumsi konten-konten yang bagus buat kita dan itu tidak akan menimbulkan perilaku destruktif," ujar Samanta.

"Contohnya, anak-anak remaja banyak yang meluapkan emosinya dengan curhat di media sosial, menyakiti dirinya sendiri, dan teman-temannya lihat itu lalu ngikutin. itu kan perilaku destruktif. Pencegahannya ya orang tua perlu melakukan hubungan yang baik dengan anak-anaknya," sambungnya.

Selain itu, menurut Samanta, penting juga bagi para orang tua untuk lebih melek dengan fitur-fitur yang ada di media sosial yang bisa digunakan untuk mengawasi aktivitas anak dan mencegah anak mengonsumsi konten-konten negatif.

"Kita bisa cegah dampak negatif itu dengan cara punya satu kesepakatan dengan anak. Misalnya anak baru usia 15 tahun, kita boleh ada akun parents yang mengontrol aktivitas akun anak, jadi akunnya dikoneksikan. Jadi nantinya aktivitas anak di media sosial akan ada di bawah pengawasan kita," kata Samanta.

Sentimen: neutral (0%)