Sentimen
Undefined (0%)
16 Des 2024 : 21.03
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak, Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Solo

Kasus: KKN, korupsi, nepotisme

Tokoh Terkait
Firdaus

Firdaus

Pilkada oleh DPRD, Guru Besar UNS Solo: Antara Efisiensi Anggaran & Potensi KKN

16 Des 2024 : 21.03 Views 10

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Pilkada oleh DPRD, Guru Besar UNS Solo: Antara Efisiensi Anggaran & Potensi KKN

Esposin, SOLO — Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sunny Ummul Firdaus, mengatakan perlu ada kajian yang mendalam dengan menimbang kelebihan dan kekurangan jika pemilihan kepala daerah (pilkada) hendak diubah dari pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD.

Salah satu kelebihan pilkada oleh DPRD adalah efisiensi anggaran. Namun di sisi lain, ada potensi korupsi kolusi dan nepotisme atau KKN karena pilkada oleh DPRD rawan menyuburkan politik transaksional. Sunny mengatakan Indonesia pernah memiliki pengalaman kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Sebelum 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD.

Menurutnya, dasar hukum pelaksanaan Pilkada yakni ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis.

“Istilah dipilih secara demokratis ini mencakup mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat atau mekanisme lain yang sesuai dengan prinsip demokrasi,” kata dia kepada Espos melalui sambungan telepon, Senin (16/12/2024).

Menurutnya, skema kepala daerah yang dipilih oleh DPRD tidak melanggar prinsip demokrasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Meski begitu, Sunny menekankan perlunya menimbang kelebihan dan kekurangan jika kepala daerah tidak lagi dipilih langsung melainka oleh DPRD.

“Jika mau diterapkan lagi harus ada kajian karena ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu sistem itu yang sempurna,” kata dia.

Dia mengatakan memang ada kelebihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pertama, terkait efisiensi anggaran. Tidak bisa dimungkiri Pilkada dengan sistem pemilihan langsung memerlukan biaya yang sangat besar.

“Pilkada oleh DPRD ini tidak memerlukan biaya besar seperti Pilkada langsung yang membutuhkan biaya kampanye, logistik, dan lainnya. Sehingga pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk program lain,” kata dia.

Selain itu nilai plus jika kepala daerah dipilih oleh DPRD adalah bisa meminimalkan konflik di tengah masyarakat akibat ketegangan politik dan perbedaan pilihan. Di sisi lain, proses pemilihan pun akan berlangsung lebih cepat.

Namun, menurut Sunny, ada nilai minusnya ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD yakni bisa melanggengkan politik transaksional. Bukan tidak mungkin calon kepala daerah itu membayar anggota legislatif agar bisa menang dalam pelaksanaan Pilkada.

Mereduksi Kedaulatan Rakyat

“Kalau pengalaman yang lalu itu, ini [pemilihan kepala daerah oleh DPRD] bisa memunculkan politik transaksional. Kandidat [kepala daerah] ini membayar anggota DPRD untuk memenangi pemilihan. Sehingga ini bisa berpotensi terjadinya korupsi bahkan sejak awal kandidat itu terpilih,” kata dia.

Dia melanjutkan menurut perspektif tata negara, sistem pemilihan oleh DPRD bisa mereduksi kedaulatan rakyat. Sebab hak politik rakyat dalam memilih kepala daerah secara langsung sudah tidak ada.

“Akibatnya ini bisa muncul kemungkinan pemimpin itu terpilih tidak benar-benar kehendak dari rakyat,” kata dia.

Selain itu, sistem tersebut berpotensi memunculkan satu partai politik yang dominan. Hal itu juga membuat semakin dekatnya relasi antara kepala daerah dengan DPRD. Ini berpotensi memunculkan praktik kolusi dalam pengelolaan anggaran daerah dan kebijakan publik.

“Jadi jika kepala daerah ini dipilih oleh wakil rakyat [DPRD] kelebihannya memang efisiensi biaya dan pengurangan konflik. Tetapi kekurangannya sangat signifikan karena mengurangi kedaulatan rakyat, meningkatkan risiko korupsi, sampai melemahkan akuntabilitas pimpinan daerah,” kata dia.

Sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, sejak awal kemerdekaan selalu dipilih oleh DPRD. Termasuk ketika era Presiden Soeharto yang mana pemilihan kepala daerah tetap dilakukan oleh DPRD namun dikontrol oleh pemerintah pusat.

Sehingga, terjadi sentralisasi kekuasaan yang mengakibatkan partisipasi publik sangat minim. Kepala daerah yang terpilih pun merupakan orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Baru setelah reformasi 1998, Indonesia mulai menyusun pemilihan kepala daerah secara langsung. Partisipasi publik ditingkatkan dengan semangat desentralisasi kekuasaan. Ini sekaligus sebagai antitesis terhadap terhadap praktik yang dilakukan pada masa Orde Baru.

Peraturan pertama yang terbit untuk mengakomodasi hal itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan itu rakyat bisa memilih kepala daerah melalui Pilkada langsung.

Selanjutnya terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 yang memunculkan istilah Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Bupati (Pilbup), dan Pemilihan Wali Kota (Pilwakot).

Sentimen: neutral (0%)