Sentimen
Undefined (0%)
16 Des 2024 : 09.50
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Semarang

Kasus: HAM, penembakan

Hentikan ”Prosedur” Menutupi Realitas

16 Des 2024 : 09.50 Views 5

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Hentikan ”Prosedur” Menutupi Realitas

Ajun Inspektur Polisi Dua Robig Zainudin, polisi yang menembak siswa SMKN 4 Semarang hingga meninggal, telah menjalani sidang kode etik dengan putusan akhir dipecat dengan tidak hormat dari Polri. 

Dia mengajukan banding. Tanggung jawab dia tak selesai di sidang kode etik. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan lewat proses hukum pidana karena tindakannya menyebabkan seorang pelajar SMKN 4 Semarang meninggal.

Kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam Social Movement Institute (SMI) menyatakan Indonesia saat ini menghadapi darurat kekerasan oleh polisi. 

Tindakan Robig adalah satu dari tindak kekerasan polisi yang melanggar hak asasi manusia. Jamak yang mengemuka ketika polisi melakukan tindak kekerasan, seperti yang dilakukan Robig, adalah prosedur institusi menutup-tutupi tindakan melanggar hukum tersebut. 

Selama beberapa hari setelah siswa SMKN 4 Semarang itu meninggal, yang mengemuka dari institusi kepolisian adalah “membenarkan” tindakan Robig sebagai wewenang kepolisian. Belakangan ketahuan itu hanya tindakan menutup-tutupi realitas kesewenang-wenangan seorang polisi.

Tindak kekerasan oleh polisi telah menelan banyak korban luka fisik maupun korban jiwa. Amnesty International mencatat terdapat 579 warga sipil yang menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian unjuk rasa pada 22-29 Agustus 2024 di sejumlah provinsi. 

Organisasi HAM internasional itu juga mencatat 115 kasus kekerasan terjadi di berbagai wilayah Indonesia sepanjang periode Januari-November 2024 dengan pelaku polisi.

Sejauh ini sangat minim tindakan investigasi yang memadai sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. 

Jamak yang mengemuka malah pembelaan diri dan institusi juga menutup-tutupi tindak kekerasan yang terjadi dengan mengemukakan argumentasi sebagai tindakan yang sesuai prosedur operasional standar kepolisian.

Kasus penembakan siswa SMKN 4 Semarang itu menemukan titik terang karena, salah satunya, keterlibatan masyarakat sipil yang terus-menerus menguliti kejanggalan keterangan institusi kepolisian hingga berujung titik terang kasus tersebut. 

Sekali lagi, no viral no justice. Tentu saja realitas demikian ini jelas sesuatu yang buruk di negara hukum. Kalau tidak viral, tidak dibicarakan banyak orang, tidak diungkap substansi peristiwa pelangggaran hukumnya.

Penegakan hukum berjalan karena desakan massa lewat media sosial. Ini sangat buruk bagi ikhtiar menegakkan hukum, buruk bagi ikhtiar mewujudkan supremasi hukum, jelek bagi ikhtiar menghentikan praktik impunitas aparatur negara.

Transparansi dan akuntabilitas yang rendah dan ketiadaan penghukuman yang tegas bagi pelaku dari pemimpin komando di kepolisian adalah penyebab utama aneka tindak kekerasan terus terjadi. 

Kepolisian tampak memandang tuntutan masyarakat tentang perbaikan Polri, peningkatan profesionalitas polisi, sebagai ancaman. Sanksi etik jelas tak memadai, tak relevan lagi. Sanksi pidana harus diberikan. Reformasi Polri harus dilanjutkan sepenuhnya.

Sentimen: neutral (0%)