Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: Perum BULOG
Grup Musik: APRIL
Hewan: Ayam, Sapi
Kab/Kota: Kediri, Kelapa Gading, Penggilingan
Tokoh Terkait
Pemerintah Harus Jaga Harga Pangan Stabil Tak Cuma di Hari Besar
Tirto.id Jenis Media: News
tirto.id - Para pejabat Kabinet Merah Putih memastikan pasokan dan harga pangan menjelang Libur Hari Raya Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 (Nataru) aman dan terjaga rendah. Bahkan, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, memastikan tidak akan ada kenaikan harga pangan, utamanya beras saat Nataru.
Sebab, pada periode libur panjang ini sudah ada stok 2 juta ton beras di gudang Perum Bulog.
“Insyaallah Nataru seperti yang Ibu Ketua sampaikan, aman. Stok kita terbesar selama lima tahun terakhir. Saat ini, Bulog melaporkan memiliki stok 2 juta ton beras, sesuai laporan dalam Ratas," kata Amran menanggapi wanti-wanti Ketua Komisi IV DPR RI RI, Titiek Soeharto dalam Rapat Kerja, di Gedung Parlemen, Rabu (4/12/2024).
Sementara menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan alias Zulhas, baik di tingkat masyarakat maupun pedagang masih ada stok beras sebesar 8 juta ton. Stok beras melimpah inilah yang membuatnya percaya diri pasokan pangan jelang Nataru dalam kondisi aman, meski di tengah situasi cuaca ekstrem.
Tak cuma beras, pasokan garam konsumsi, gula, produk pertanian, dan perikanan pun dalam kondisi yang sama, aman.
“Ketersediaan pasokan pangan untuk Natal dan Tahun Baru aman. Beras cukup, garam cukup, begitu juga dengan daging ayam, telur, dan gula,” beber Zulhas di sela-sela acara Indonesia Marine and Fisheries Business Forum di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Perlu diketahui, berdasarkan catatan Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), produksi garam lokal tahun ini dapat mencapai 2,2 juta ton, sedangkan permintaan untuk garam rumah tangga hanya sebesar 400 ribu ton.
Sementara untuk gula, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sesuai Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 379.1/TS.03.03/K/11/2023 Tentang Jumlah, Standar Mutu, dan Harga Pembelian Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraan CPP Tahun 2024 menarget, stok gula konsumsi akan mencapai 25 ribu ton sampai akhir tahun 2024, dengan kebutuhan gula konsumsi diramal sebesar 2,4 juta ton.
“Kami berani menyatakan tahun depan kita tidak akan mengimpor beras karena produksi kita mencapai 32 juta ton. Hal yang sama berlaku untuk garam konsumsi karena stoknya cukup. Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir,” tegas Zulhas.
Meski sudah ada kepastian dari pemerintah, namun data Panel Harga Bapanas, Rabu (11/12/2024) menunjukkan masih adanya kenaikan harga bahan pangan pokok. Di tingkat pedagang eceran, harga beras premium tercatat sebesar Rp15.380 per kilogram, turun 0,06 persen dari hari sebelumnya dan harga beras medium masih berada pada tingkat harga yang sama, yakni Rp13.470 per kilogram.
Pun untuk gula konsumsi yang turun 0,06 persen menjadi Rp17.940 per kilogram, kedelai impor turun 0,10 persen menjadi Rp10.460 per kilogram, dan ikan bandeng turun 0,24 persen menjadi Rp33.550 per kilogram.
Sementara itu, untuk beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) justru naik 0,24 persen menjadi Rp12.520 per kilogram, bawang merah naik 0,30 persen jadi Rp39.980 per kilogram, bawang putih bonggol naik 0,19 persen ke Rp42.200 per kilogram, cabai merah keriting naik 1,19 persen ke Rp31.480 per kilogram, cabai rawit merah naik 1 persen menjadi Rp39.340 per kilogram.
Kemudian, daging sapi murni tercatat naik menjadi Rp135.020 per kilogram (0,16 persen), daging ayam ras menjadi Rp36.620 per kilogram (0,16 persen), telur ayam ras di harga Rp29.190 per kilogram (0,83 persen).
Selain itu, minyak goreng kemasan sederhana naik 0,22 persen jadi Rp18.620 per kilogram, tepung terigu curah Rp10.140 per kilogram naik 0,20 persen, minyak goreng curah Rp17.370 per liter naik 0,40 persen, ikan tongkol Rp31.620 per kilogram atau naik 0,51 persen, dan garam halus beryodium naik 0,09 persen jadi Rp11.550 per kilogram.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan, Zulkifli Hasan di pergudangan Bulog Sunter Timur, Kelapa Gading, Jakarta, Senin (4/11/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.
Tugas Pemerintah Jaga Stabilitas Harga Pangan di Setiap Waktu
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, mengatakan wajar saja pemerintah menjaga pasokan dan harga bahan pangan menjelang hari-hari besar. Apalagi, pada momen tersebut permintaan terhadap bahan pangan bakal menjadi lebih tinggi.
Menurutnya, sudah menjadi tugas pemerintah memastikan semua lapisan masyarakat memperoleh dan mengonsumsi pangan yang sehat dan bergizi, namun dengan harga yang terjangkau.
“Salah satu caranya tentu dengan memastikan harga pangan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat,” kata Ayip Said kepada Tirto, Rabu (11/12/2024).
Sayangnya, menjaga harga pangan rendah tak fokus dilakukan pemerintah saat hari-hari biasa. Pengendalian dan penekanan harga hanya dilakukan pada saat Nataru maupun momen Lebaran saja, salah satunya melalui Operasi Pasar dan SPHP. Padahal, seharusnya pemerintah dapat melakukannya di sepanjang tahun, tanpa menunggu momen besar.
Sebagai contoh, untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok saat Nataru 2022, Bulog menyalurkan beras sebagai bagian Operasi Pasar sebanyak 220 ribu ton. Sementara pada periode OktoBER-Desember 2023, Bulog menyalurkan beras SPHP sekitar 379 ribu ton untuk mengantisipasi lonjakan harga.
Sedangkan pada April 2024 lalu, Bapanas bersama pemerintah daerah menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) Serentak di 294 titik di seluruh Indonesia untuk menjaga harga pangan pokok tetap murah saat Lebaran dan Idul Fitri.
“Tentu ini patut terus dilakukan. Namun, harusnya kewajiban ini juga berlaku sepanjang waktu tidak hanya pada hari hari besar saja karena konsumsi pangan masyarakat sepanjang waktu walaupun kita memahami bahwa pada hari besar permintaan pangan umumnya naik hingga dua kali lipat,” ujar Said.
Sementara itu, menurut Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori, pengendalian harga pangan telah dilakukan pemerintah di sepanjang tahun melalui Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi yang diinisiasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) setiap pekan. Tak hanya pada hari-hari besar keagamaan saja.
Namun, diakuinya, rakor ini hanya efektif mengendalikan tingkat inflasi agar tetap rendah, namun, tidak dengan harga pangan yang tetap saja tinggi.
“Pemerintah tampak spartan mengendalikan dan menjaga inflasi tidak tinggi. Sepanjang 10 tahun era (Presiden) Joko Widodo, salah satu catatan impresif ya inflasi yang terjaga rendah. Terlepas itu baik atau tidak. Bahwa di momentum pergantian tahun sepertinya ada effort yang lebih, ya itu wajar,” kata Khudori, kepada Tirto, Rabu (11/12/2024).
Pada November 2014 misalnya, saat Jokowi pertama kali menjabat, tingkat inflasi secara bulanan (month to month/mtm) tercatat sebesar 1,50 persen, sementara secara tahunan (year on year/yoy) mencapai 6,23 persen. Namun, lima tahun berselang, pada November 2019 inflasi dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 0,14 persen (mtm) dan turun menjadi 3,00 persen (yoy).
Pada November 2024, secara tahunan inflasi tercatat hanya sebesar 1,55 persen dan 0,30 persen secara bulanan.
Sementara dari catatan BPS, harga beras pada November 2014 menyumbang inflasi 0,06 persen dengan perubahan harga 1,47 persen. Selain itu, cabai rawit juga berkontribusi 0,09 persen dari total inflasi nasional, dengan perubahan harga mencapai 65,49 persen.
Satu dekade berselang, komponen harga bergejolak alias volatile food masih menjadi penyumbang inflasi terbesar, dengan andil 0,17 persen. Dengan bahan pangan yang berkontribusi terhadap inflasi bulanan adalah bawang merah, tomat, daging ayam ras, bawang putih, dan ikan segar.
Kali ini, beras dan rawit merah tak masuk dalam kelompok ini, karena harganya cukup terkendali. Beras misalnya, pada November 2024 tercatat sebesar Rp12.567 per kilogram atau turun 1,23 persen di tingkat penggilingan. Asal tahu saja, pada Oktober 2024 harga beras di tingkat penggilingan masih sebesar Rp12.724 per kilogram.
“Ini memang ada masalah. Masing-masing komoditas beda-beda masalahnya. Kinerja pengendalian inflasi memang impresif yang ditunjukkan inflasi nasional yang rendah. Tapi kalau dilihat dari sumbernya, inflasi yang rendah itu sebagian besar disumbang oleh inflasi pangan (volatile food),” jelas Khudori.
Warga membeli beras program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) saat pasar murah di Kediri Jawa Timur, Selasa (5/11/2024). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/nym.
Masalah-masalah tersebut antara lain adalah ada bahan pangan yang meski pasokannya surplus, namun harga di tingkat konsumen tetap tak terkendali. Biasanya, ini terjadi saat produksi musiman, namun untuk menjaga pasokan, pemerintah sudah kadung mengimpor dari negara produsen lainnya.
“Tapi karena tata kelola impor tidak baik, harga relatif tetap fluktuatif. Bahkan bertahan tinggi,” terangnya.
Khudori pernah mencoba menghitung dengan menggunakan kategori tingkat fluktuasi coefisien variation/CV) rendah (CV 9 persen) kepada 17 komoditas pangan. Hasilnya, sejak 2019-Juli 2024, 11 komoditas pangan di antaranya tercatat memiliki tingkat fluktuasi tinggi.
Adapun komoditas tersebut antara lain, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, tepung terigu, kedelai, GKP di petani dan GKP di penggilingan, beras medium, dan gula. Sedangkan 4 komoditas, beras premium, telur ayam ras, daging sapi, dan jagung pipil masuk kategori sedang dan hanya 2 komoditas: daging ayam ras dan daging kerbau yang tergolong kategori fluktuasi harga rendah.
“Padahal, tiga dari komoditas ini, yakni beras, gula, dan minyak goreng, diatur lewat HET. HET itu mengikat publik. Kalau tidak dipatuhi ada sanksinya. Harga beras (medium + premium), gula dan migor itu sudah berbulan-bulan di atas HET. Tapi apa ada yang ditindak?” katanya.
Khudori pun menyayangkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah untuk komoditas beras, gula dan minyak goreng sama sekali tak efektif mengendalikan harga ketiga komoditas tersebut agar tak bergerak liar.
Padahal, ketika harga komoditas yang telah dipatok HET di tingkat konsumen lebih tinggi dari yang ditetapkan, pemerintah wajib menyelidikinya dan menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang mematok harga tinggi tersebut.
Karenanya, dengan tidak efektifnya HET terhadap fluktuasi harga komoditas pangan, ia pun menyarankan agar pemerintah menghapus saja aturan tersebut. Apalagi, HET justru membuat produsen tak berinovasi.
“HET itu sebaiknya hanya berlaku buat pemerintah lewat Bulog. Dan level harga nggak perlu disampaikan ke publik. Ketika pemerintah menetapkan HET, beras misalnya, cukup masuk kantung. Level harga itu akan jadi pedoman Bulog untuk intens masuk ke pasar jika harga sudah terlampaui,” tegasnya.
Sementara itu, Ayip Said Abdullah, saat pemerintah menggerakkan tangannya untuk mengendalikan harga pangan jelang hari-hari besar hanya fokus kepada konsumen. Sehingga, saat harga di konsumen berhasil diturunkan atas campur tangan pemerintah, harga komoditas pangan di tingkat petani atau produsen akan turut jatuh. Sehingga, produsen pun merugi.
Sebagai contoh, pada Desember 2023, NTP (Nilai Tukar Petani) nasional Desember 2023 sebesar 117,76 atau naik 0,88 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 1,29 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,40 persen.
Namun, usai libur Nataru rampung, pada Februari 2024, NTP nasional dapat mencapai 120,97 atau naik 2,28 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP dikarenakan It naik sebesar 2,89 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Ib sebesar 0,59 persen.
“Dari sisi petani, kerap dilihat adanya ketimpangan karena pemerintah selalu berusaha menjaga harga di konsumen tidak naik. Sementara ketika harga jatuh di tingkat petani cenderung diabaikan. Dengan harga di pasar murah di tingkat petani bisa lebih murah, karena petani tidak langsung jual ke konsumen tapi ke para pedagang,” kata Said.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan petani atau produsen pula saat berupaya mengendalikan harga pangan di tingkat konsumen. Pasalnya, keberlanjutan terjaganya harga pangan juga akan ditentukan oleh kesejahteraan produsen.
Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu menindak tegas mafia-mafia yang kerap menimbun bahan pangan sehingga mengakibatkan harga bertahan tinggi.
“Perlu dilakukan upaya pengawasan dan penindakan terhadap pelaku penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga. Dalam jangka panjang tentu masmtikan produksi yang cukup dan distribusi merata. Distribusi yang tidak merata menyebabkan terjadinya kenaikan harga pada wilayah tertentu,” tegas Said.
Sentimen: positif (66.7%)