Sentimen
Undefined (0%)
14 Des 2024 : 13.55
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Bangka

Bahasa Gaul

14 Des 2024 : 13.55 Views 10

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Bahasa Gaul

Belum lama ini, anak saya bercerita di sekolahannya ada anak “sigma”. Selain itu, ada pula beberapa temannya yang “skibiddi”.

“Apa itu sigma? Apa itu skibiddi?” saya bertanya penasaran.

Anak saya hanya tertawa, lalu menjelaskan dua istilah itu merupakan bahasa gaul generasi alfa [dari bahasa Yunani “alpha”]. Generasi alfa lahir pada 2010 hingga 2025.

Anak saya lahir pada tahun 2011. Dia termasuk dalam kategori generasi alfa.  Selain pengguna media sosial, anak saya dan sebagian temannya mulai menggunakan beberapa bahasa gaul atau slang baru. 

Ia mengaku mendapatkan perbendaharaan bahasa gaul dari berselancar di Tiktok. Saya mencari-cari makna “sigma” dan “skibiddi” di Internet. 

Beberapa sumber menjelaskan “sigma” adalah istilah untuk menggambarkan seseorang yang dominan, jiwa kepemimpinannya tinggi, atau sosok yang keren dan populer.

“Skibiddi” lebih berkonotasi negatif. “Skibiddi” kerap digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang jahat atau buruk. Masih banyak kata-kata gaul lain yang dipakai generasi alfa.

Lain generasi alfa, lain pula generasi Z yang lahir pada 1997-2012. Generasi Z juga memiliki bahasa gaul sendiri. Sebut saja istilah “flexing”, “ghosting”, “healing.”

“Flexing” menggambarkan seseorang yang doyan pamer biar terlihat keren di mata orang lain. “Ghosting” menggambarkan ketika seseorang tiba-tiba menghentikan semua bentuk komunikasi tanpa alasan atau penjelasan yang jelas. 

"Healing" adalah istilah dalam bahasa gaul yang sering digunakan oleh generasi Z untuk menggambarkan proses pemulihan atau penyembuhan. Biasanya lebih ke arah menjaga kesehatan mental.

Bagaimana dengan bahasa gaul generasi milenial yang lahir pada 1981 hingga 1996? Kita tentu cukup familier dengan istilah baper, kids zaman now, kuy, julid, unfaedah. 

Banyak generasi milenial menggunakan istilah itu di kehidupan sehari-hari atau saat beraktivitas di media sosial agar terkesan lebih kekinian.

Istilah “baper” singkatan dari terbawa perasaan. Istilah “kids zaman now” digunakan untuk mengomentari kelakuan anak-anak zaman sekarang. “Kuy” merupakan kebalikan dari “yuk”. 

“Julid” digunakan untuk menyebut seseorang yang sering nyinyir atau terlalu pedas dalam mengomentari sesuatu. Istilah “unfaedah” diartikan sebagai sesuatu yang tidak berguna atau bermanfaat.

Diakui atau tidak, perkembangan teknologi yang begitu cepat memengaruhi cara tiap generasi berkomunikasi, termasuk perkembangan bahasa gaul yang khas. 

Generasi muda cenderung menggunakan singkatan, kata-kata baru, atau frasa yang unik dalam berkomunikasi sehari-hari. 

Dengan intensitas penggunaan media sosial yang tinggi, istilah-istilah tersebut cepat menyebar dan menjadi bagian bahasa gaul mereka.

Sangat dimungkinkan istilah-istilah populer yang digunakan anak muda di media sosial terus berkembang seiring perubahan tren dan kebutuhan komunikasi mereka di dunia maya.

Bagi penganut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seperti saya, penggunaan bahasa gaul ala anak generasi Z hingga generasi alfa tentu menjadi tantangan tersendiri dalam membangun pola komunikasi antargenerasi. 

Situasi lucu pernah terjadi ketika anak saya berbincang dengan ibu mertua saya. Percakapan antara cucu (generasi alfa) dengan neneknya (baby boomer) ini menjadi salah satu contoh realitas kecil pertemuan bahasa beda generasi. 

Waktu itu, sang cucu menyebut “chat” (percakapan), tapi nenek langsung menangkapnya sebagai “cat” (pewarnaan) karena pelafalannya mirip ketika diucapkan dalam bahasa Jawa. 

Arah pembicaraan dua insan beda generasi itu enggak nyambung sama sekali. Itu baru percakapan dengan sedikit bumbu bahasa asing. Bagaimana dengan penggunaan bahasa gaul ala generasi alfa kepada generasi baby boomer? Bisa-bisa mereka langsung roaming.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memang tidak bisa lepas dari penggunaan bahasa. Bahasa adalah komponen yang sangat penting bagi manusia. 

R. Devianty dalam Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan yang terbit di Jurnal Tarbiyah (2017) menyatakan bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam bentuk ide, pikiran, maupun perasaan yang ditujukan kepada orang lain.

Diperlukan upaya mengasah keahlian dan meningkatkan keterampilan penggunaan bahasa bagi setiap orang untuk memperlancar kegiatan dalam berkomunikasi. 

Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memiliki variasi yang sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi perkembangan zaman yang semakin pesat dan maju, termasuk masifnya penggunaan media sosial oleh generasi muda.

Problematika bahasa Indonesia kian kompleks. Percakapan maupun interaksi antarpengguna media sosial dari generasi alfa, generasi Z, generasi milenial, akhirnya mengaburkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Muhammad Rizandi dan Sujia Aprisari dalam Analisis Kesalahan Penggunaan Bahasa Dalam Forum Jual Beli Bangka Belitung pada Media Sosial Facebook yang terbit di Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha Volume 12 Nomor 1 Tahun 2022 menyimpulkan kesalahan penggunaan bahasa dalam media sosial.

Kesalahan itu meliputi penggunaan bahasa gaul, bahasa daerah, singkatan-singkatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kesalahan penulisan huruf kapital, kata tidak baku, akhiran, nominal harga, istilah asing, dan tanda baca.

Kebanyakan dari mereka abai dengan EYD atau Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yaitu pedoman resmi yang digunakan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

EYD merupakan tata bahasa terpenting dalam bahasa Indonesia yang mengatur penggunaan huruf, kata, unsur serapan, dan tanda baca. Nyatanya, interferensi terus terjadi, bahkan dalam situasi formal sekalipun. 

Interferensi yaitu fenomena masuknya unsur-unsur bahasa pertama ke dalam penggunaan bahasa kedua atau sebaliknya dan menimbulkan kesalahan berbahasa.

Bahasa gaul tercampur dengan penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi formal. Rasanya generasi muda lebih asyik menggunakan bahasa gaul daripada menggunakan bahasa Indonesia.

Melihat tren yang ada, tiap generasi pasti melahirkan bahasa gaul sendiri. Generasi baru setelah generasi alfa bisa jadi akan melahirkan bahasa-bahasa gaul pula. Generasi setelahnya pun demikian.

Jika tidak ada perhatian serius terhadap realitas ini, derajat bahasa Indonesia bakal menurun. Bukan tidak mungkin eksistensi bahasa Indonesia pada masa depan juga terancam tergantikan bahasa gaul.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 Desember 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)