Sentimen
Undefined (0%)
13 Des 2024 : 19.45
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo, Yogyakarta

Bahasa dan Kepribadian

13 Des 2024 : 19.45 Views 9

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Bahasa dan Kepribadian

Menarik bagi saya menyimak tulisan Sulistyaningtyas di harian ini yang terbit Rabu, 20 November 2024. Temuan Sulistyanintyas tentang generasi muda sekarang yang lemah pada kemampuan berbahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Jawa, tentu juga menjadi keperihatinan banyak orang.

Harus kita akui bersama dewasa ini bahasa  Jawa yang merupakan bahasa terbesar kedua di negeri ini sedang mengalami penurunan penggunaan dan penerapan. 

Untuk menjaga keberadaan bahasa ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerapkan kebijakan menempatkan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib pada kruikulum sekolah menengah.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah  Nomor 57 tahun 2013 dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 19 tahun 2014. 

Payung hukum tentang penetapan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di sekolah dari SD sampai SMA/SMK tentu sangat diperlukan sebagai upaya menjaga keberadaan bahasa Jawa yang menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa.

Walakin, seperti yang ditulis Sulistyaningtyas, bahwa hal itu juga harus didukung oleh semua pemangku kepentingan atau stakeholders, yaitu melalui pembiasaan di lingkungan keluarga. Kita semua menyadari bahasa merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan ide, perasaan, dan juga nilai-nilai hidup bersama.

Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa juga bisa menjadi cermin kepribadian. Terlebih lagi bahasa Jawa dalam penggunaannya mengenal ada beberapa tingkatan yang jika salah dalam penerapan bisa menunjukkan unsur ketidaksopanan si pengguna.

Hal  tersebut tidak hanya terbatas pada cara pengungkapan, tetapi juga dari jenis tingkatan bahasa Jawa yang harus digunakan. 

Misalkan saja ketika kita mendengar ada seorang siswa yang berbicara dengan seorang guru dengan bahasa Jawa ngoko, meskipun siswa tersebut menyampaikan dengan nada yang halus, namun penggunaan bahasa Jawa ngoko oleh siswa kepada guru tentu menimbulkan kesan ketidaksopanan siswa kepada guru atau kepada orang yang lebih tua. 

Di sinilah tampak bahwa bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa juga merepresentasikan nilai-nilai kehidupan dari kelompok masyarakat yang menjadi pendukung. 

Berkaca dari contoh tersebut, tentu kita tidak hanya mengatakan bahwa anak-anak sekarang tidak tahu akan unggah-ungguh. 

Hal terbesar yang harus kita sadari bersama bahwa anak-anak kita sekarang sedang berada pada arus perubahan global yang tidak bisa dihindari. 

Perubahan di tingkat global mau tidak mau harus kita yakini memberikan kontribusi terhadap penurunan penggunaan bahasa Jawa dan juga nilai-nilai kepribadian bangsa.

Terlebih lagi ketika berbicara tentang bahasa Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan budaya. Tentu bukan merupakan hal yang mudah untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi bahasa Jawa dalam perdaban modern ini. 

Niat baik mempertahankan budaya Jawa dengan segala potensinya melalui kurikulum sekolah hanya salah satu cara. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana lingkungan berani memberikan ruang kepada anak-anak untuk mendapatkan gambaran tentang nilai luhur yang terkandung dalam budaya Jawa yang antara lain tercermin dalam bahasa Jawa.

Berbicara tentang penggunaan bahasa Jawa di lingkungan sekolah tentu saja kita tidak hanya berkata bahwa itu adalah tanggung jawab seorang guru bahasa Jawa. 

Dengan demikian, yang disampaikan Sulistyaningtyas bahwa salah satu langkah untuk mengenalkan pengunaan bahasa Jawa ini harus diawali dari lingkungan keluarga adalah hal yang sangat mendasar.

Hal-hal lain yang perlu kita perhatikan agar keberadaan bahasa Jawa dengan segala nilai-nilai yang terkandung tetap terjaga dan sekolah yang juga diberi tanggung jawab untuk turut mengenalkan dan mempertahankan maka sekiranya perlu juga dilakukan hal-hal berikut ini. 

Pertama, bahasa Jawa sebenarnya menjadi bagian dari budaya Jawa yang cukup kompleks maka perlu diperhatikan terkait dengan pengajaran bahasa Jawa di sekolah. 

Mata pelajaran yang diberikan adalah bahasa Jawa, tetapi kenyataan dalam pelajaran sekolah tidak hanya menyangkut tentang kebahasaan, namun juga usur kebudayaan lainnya. 

Perlu dipikirkan kembali tentang penekanan materi dalam mata pelajaran Bahasa Jawa. Misalnya saja untuk tingkat SD lebih fokus pada berbahasa dan mengenak aksara Jawa. Di tingkat selanjutnya difokuskan pada penrapan dengan aturan tata bahasa dan seterusnya.

Kedua, alangkah bijak jika di lingkungan sekolah semua guru turut mengawal anak dalam berbahasa dan khususnya bahasa Jawa. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengarahakan anak untuk berbahasa Jawa yang benar atau mengarahkan anak untuk berbicara dengan bahasa Indonesia dahulu daripada anak menggunakan bahasa Jawa ngoko ketika sedang berbicara dengan guru. 

Alasannya tentu jelas, bukan guru mau dihormati berlebih, tetapi ketika itu terjadi secara etika Jawa hal tersebut seperti melanggar etika kesopanan berbicara. Ketiga, perlu dukungan semua stakeholders dalam menjaga dan mempertahankan bahasa Jawa sebagai cerminan budaya Jawa yang bernilai luhur. 

Sinergi dari semua pihak adalah benteng terkuat untuk menjaga dan mempetahankan budaya Jawa yang adiluhung.  Apa yang didapatkan oleh siswa di sekolah tentu akan tidak bernilai ketika anak tidak melihat penerapannya dalam masyarakat dan keluarga. Semoga. 

(Esai ni terbit di Harian Solopos edisi 11 Desember 2024. Penulis adalah Guru SMA Pangudi Luhur St. Yosef, Kota Solo, Jawa Tengah)

Sentimen: neutral (0%)